TintaSiyasi.id-- Aktivis Muslimah Ustazah Iffah Ainur Rochmah mengajak umat Islam untuk memperhatikan tiga poin dalam konferensi intelektual di Sarajevo, Bosnia. Hal tersebut disampaikan dalam World View: Dunia Arab Menuju Demokrasi Seutuhnya, Menuju Kesejahteraan atau Kesengsaraan? di kanal YouTube Supremacy, Sabtu (16/11/2024).
Konferensi yang diberi judul Era Demokrasi di Dunia Arab: Peta Jalan Menuju Demokrasi ini berbicara tentang perkembangan demokrasi di dunia Arab atau di Timur Tengah. Mereka yang mengaku sebagai intelektual ini membahas mengenai solusi praktis untuk krisis yang terjadi di dunia Arab berupa adanya Tirani atau penindasan dan tiadanya keadilan sosial serta mengkaji tantangan intelektual dan politik yang ditimbulkan oleh perang di Gaza.
Pertama, demokrasi. Ustazah Iffah mengatakan demokrasi di dunia Arab ternyata dialamatkan kepada rezim-rezim yang sangat pro kepada barat. Hal ini terbukti dari rezim yang sengaja dimunculkan oleh barat sebagai model negara di Timur Tengah itulah yang akan dinamai sebagai rezim demokrasi. Mereka juga menyebut satu-satunya negara di Timur Tengah yang sudah berdemokrasi secara sempurna adalah Israel.
“Karena mereka menganggap Israel sebagai negara sedangkan kita tidak boleh mengakui Israel sebagai Negara. Ini adalah entitas bengis yang melakukan invasi dan kemudian melakukan genosida terhadap saudara-saudara kita di Palestina,” ujar Ustazah Iffah.
Bukan hanya itu, Ustazah Iffah mengatakan bahwa mereka yang mengaku para intelektual ini tidak canggung atau bahkan tidak malu menyebut Israel sebagai negara demokrasi. Hal ini dibuktikan dengan rangking Israel secara berkala setiap tahun menempati urutan ke-30 menurut The Economist.
Ustazah Iffah mengajak kita untuk mengulik dimanakah letak standar demokrasinya. Ia mengatakan, apakah memang demokrasi ini hanya dilihat dari sisi adanya pemilu, adanya perhatian terhadap suara rakyatnya sendiri tanpa peduli benar dan salah?
“Apa yang dilakukan oleh Israel ini adalah sebuah contoh negara demokrasi? dimana dengan demokrasinya rakyatnya setuju untuk dilakukan pembantaian demi pembantaian terhadap sesama manusia yang sejatinya manusia-manusia yang dibantai itu adalah pemilik sah atas tanah yang mereka duduki,” tegasnya.
Kedua, para pelaku dalam konferensi ini. Ustadzah Iffah menjelaskan bahwa mereka yang mengatakan dirinya intelektual termasuk penggagas konferensinya yaitu mantan presiden Tunisia Monsev Marzuki nyatanya tak bisa membuktikan keberhasilan demokrasi di negerinya. Ia digulingkan pada tahun 2011 dengan keadaan rakyatnya yang berada dalam frustasi kekurangan. Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi pejabat negara yang bermewah-mewahan.
“Seharusnya ini digarisbawahi, demokrasi tidak bisa memberikan kesejahteraan bahkan demokrasi menjadi pintu makin terbukanya kesengsaraan dan jurang perbedaan yang menganga antara pejabat-pejabat dan kroni-kroninya dengan kesengsaraan rakyat. Kalaupun ada kesejahteraan itu hanya dinikmati oleh segelintir orang yang disebut sebagai one percent atau kelompok minoritas satu persen yang menikmati kekayaan seluruh negeri itu,” jelasnya.
Ketiga, para intelektual muslim harusnya berpikir bahwa demokrasi ini tak layak diperjuangkan.
Ustazah Iffah menyebut salah satu intelektual yang turut hadir dalam konferensi yakni Tawakkul Karman muslimah penerima nobel perdamaian dalam pidatonya menyampaikan beberapa kritiknya terhadap demokrasi. Ia mengatakan bahwa saat ini kita tidak dapat menyaksikan bahwa demokrasi memberikan kebaikan-kebaikan. Bahkan ia juga mengatakan keterlibatan rezim Barat dalam genosida di Palestina berkontribusi pada makin hilangnya kepercayaan rakyat Arab terhadap demokrasi. Rakyat juga menganggap ideologi barat telah kehilangan semua kredibilitas.
Menanggapi pidato Tawakkul Karman tersebut, Ustazah Iffah mengatakan sesungguhnya sangat mudah bagi para intelektual untuk membongkar kebusukan sistem demokrasi. Namun sayangnya, seorang Tawakkul Karman pun masih berharap dan berjuang untuk terealisasikannya demokrasi yang lebih baik.
“Kalau Anda objektif, Anda jujur pada intelektualitas Anda, maka Anda akan mengatakan bahwa sistem demokrasi ini bukan sistem yang akan menjadi solusi bagi problem dunia,” cecar Ustazah Iffah.
“Para intelektual Muslim lainnya seharusnya Anda juga takut pada Allah. Kalau Anda hanya bisa berkomentar mengkritik praktik demokrasi yang tidak sanggup untuk memberikan solusi atas krisis genosida di Gaza, seharusnya dengan intelektualitas Anda, Anda bisa berkata lantang bahwa genosida yang terjadi di Palestina, genosida yang menimpa saudara-saudara kita di Gaza sesungguhnya terbuka lebar dan akan sempurna dengan bercokolnya sistem demokrasi,” lanjutnya.
Dari apa yang terjadi saat ini, Ustazah Iffah mengajak kita untuk melihat bahwa saat ini dunia sedang menggiring umat untuk mengakui bahwa demokrasi adalah satu-satunya sistem kenegaraan terbaik untuk mengatasi problem-problem dunia. Meskipun faktanya, telah tampak bopeng-bopeng dan kerusakan dari praktik sistem demokrasi. Namun ia senantiasa dikampanyekan bahkan disokong oleh suara intelektual muslim yang seolah-olah tutup mata terhadap keburukan demokrasi.
“Tentu ini adalah challenge atau tantangan bagi kita kaum muslimin dan muslimah yang memiliki pemahaman dan kesadaran politik Islam. Sesungguhnya ini adalah PR besar bagi kita bagaimana kita memahamkan umat Islam hanya dengan sistem yang bersumber dari Allah Ta’ala kita bisa mendapatkan kebaikan bahkan hanya dengan hukum-hukum Allah yang dipraktikkan secara total secara kafah di dalam sebuah sistem pemerintahan Islam yakni khilafah, dunia akan mendapatkan satu model pemerintahan terbaik,” pungkasnya.[] Hima Dewi