Tintasiyas.id.com -- Di tengah hiruk pikuk pemerintahan baru di negeri kita, masih terus terjadi duka kepedihan genosida atas saudara muslim kita di Palestina dan juga Rohingya. Muslim Palestina masih terus berjuang untuk mempertahankan tanahnya dan muslim Rohingya hingga kini masih terus mencari suaka karena terpaksa terusir dari tanahnya sendiri.
Kabar terbaru, ada sekitar 153 pengungsi Rohingya yang terdampar di Pantai Labu, Deli Serdang, Sumatera Utara pada Kamis (24/10/2024). Meski sebelumnya mengalami penolakan dari warga, namun pada akhirnya diizinkan mendarat setelah selama sepekan terombang-ambing di laut Aceh Selatan.
Ada beberapa alasan warga mengapa menolak kedatangan pengungsi dari Rohingya. Sebelumnya, kedatangan pengungsi Rohingya disambut dan diberi tempat oleh masyarakat Aceh.
Akan tetapi semakin hari jumlahnya semakin banyak hingga mencapai ribuan, itulah mengapa masyarakat Aceh menolaknya. Alasan ke dua, dikarenakan tersebarnya isu-isu negatif yang menjadi pemicu kebencian warga terhadap pengungsi Rohingya.
Alasan lainnya, bahwa masyarakat Aceh menemukan adanya sindikat perdagangan orang yang dilakukan pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan di tengah penderitaan pengungsi Rohingya yang sedang mencari suaka.
Sebagai sesama saudara muslim, tak sepatutnya kita menganggap bahwa masalah Rohingya adalah urusan mereka sendiri yang tidak ada kaitannya dengan Indonesia. Semestinya kita membantu dan memberi perlindungan kepada mereka, karena "Saudara muslim adalah saudara muslim yang lain, ia tidak akan mendzaliminya dan tidak meninggalkannya bersama orang-orang (hal-hal) yang menyakitinya. ..." (HR Muttafaqun 'alaih).
Islam melarang kita untuk membiarkan saudara muslimnya dalam kondisi terdzalimi. Dalam hal ini muslim Rohingya yang menjadi korban genosida oleh Junta Militer Myanmar, haram jika kita sebagai saudara muslim menolak permintaan tolong mereka dan mengusir mereka agar kembali ke negeri asalnya.
Keberadaan Deklarasi Universal PBB tentang HAM yang sudah diratifikasi Indonesia, ternyata tidak memberikan harapan apapun. Dalam deklarasi tersebut, menjadi hak setiap manusia untuk tidak dipindahkan ke negara yang memiliki risiko penganiayaan atau risiko pelanggaran HAM.
Mewajibkan semua negara untuk melindungi orang-orang yang mencari suaka atau orang-orang yang menjadi pengungsi. Indonesia tetap menolak kehadiran pengungsi Rohingya dengan alasan tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951.
Indonesia dengan penduduk mayoritas muslim dan pemimpin yang muslim juga, maka sebagai saudara seakidah selayaknya pemerintah Indonesia menolong, menerima, dan mengurusi pengungsi Rohingya.
Sayang, sekat kebangsaan memutuskan ikatan akidah umat Islam. Indonesia dan negeri-negeri muslim yang lain tidak mampu menghentikan genosida di Myanmar dan membebaskan muslim Rohingya. Sistem Kapitalisme pula yang menjadikan Indonesia hitung-hitungan untung rugi untuk menolong pengungsi Rohingya.
Bahkan keberadaan ASEAN atau PBB serasa tak berguna, tak mampu menjadi junnah (perisai pelindung) bagi muslim Rohingya. Meski ada pembicaraan di tingkat dunia, itu hanya sekedar basa-basi belaka. Tidak ada solusi konkret sehingga genosida di Myanmar terus terjadi berpuluh-puluh tahun lamanya hingga sekarang.
Penampungan pun bukan solusi konkret, karena sejatinya yang dibutuhkan mereka adalah institusi yang mampu melindungi mereka dari ancaman genosida, pengusiran, kelaparan, dan kematian. Solusi itu tidak bisa kita harapkan pada pemimpin-pemimpin di negeri-negeri muslim hari ini atau lembaga perdamaian dunia.
Institusi yang mampu menjadi perisai pelindung muslim Rohingya, sejatinya hanya Khilafah Islamiyah.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ’Alaih).
Atas asas akidah islam, Khilafah memandang Rohingya adalah saudara muslim yang wajib ditolong dan dilindungi keberadaannya. Maka di bawah panji Khilafah Islam, muslim Rohingya akan hidup mulia. Wallahu 'alam bissawwab.
Oleh: Rizky Rachmawati, S.Si
(Aktivis Muslimah)