Tintasiyasi.id.com -- Fakta yang sedang melingkupi gen z sudah seharusnya menjadi perhatian keluarga, masyarakat dan negara. Persoalan mental hingga berujung bunuh diri justru semakin merebak dan mengkhawatirkan.
Bertambahnya kasus remaja bunuh diri menjadi gambaran kerapuhan gen z. Baru-baru ini, kasus remaja bunuh diri di area parkir Metropolitan Mall, Bekasi, pada Selasa (22/10/2024) belum diketahui identitasnya.
Dari hasil penelusuran, polisi menemukan secarik kertas yang terselip pada topi yang sedang dipakai oleh remaja tersebut, yang tertulis kalimat, "Aku juga ingin bahagia dan memiliki kehidupan normal. Dunia itu indah, tapi tidak dengan duniaku."
Ini bukanlah yang pertama kali. Pada selasa (27/8/2024), seorang remaja berinisial NP (14), mengakhiri hidup di rel kereta api di Stasiun Lemah Abanf, Cikarang Utara. Kabupaten Bekasi. Peristiwa serupa juga terjadi pada SR (13), siswi Sekolah Dasar Negeri 6 Petukangan Utara, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, setelah jatuh dari lantai 4 sekolahnya, pada Selasa (26/9/2023). Ia meninggal dunia ketika dalam perawatan di RSUP Fatmawati, Jakarta Selatan (kompas.id, 24/10/2024).
Sesuai data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 29 Agustus 2024, kasus bunuh diri paling banyak terjadi pada penduduk berusia 15-29 tahun. Sementara generasi Z tahun ini berumur antara 12-27 tahun. Sebagian besar orang muda itu masih sekolah atau kuliah, tetapi ada juga yang sudah masuk pasar kerja, mengawali karier, menganggur, mulai membina hubungan romantis, menikah, bahkan sebagian sudah mengurus anak.
Demikian juga terungkap melalui Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), survey kesehatan mental nasional pertama untuk remaja 10-17 tahun di Indonesia, dimana hasil survey menunjukkam satu dari tiga remaja Indonesia menghadapi masalah kesehatan mental, setara dengan 15,5 juta remaja (timesindonesia.co.id, 17/9/2024).
Survey Kesehatan Indonesia (2023) mengungkapkan bahwa depresi sebagai penyebab utama disabilitas pada remaja, dengan generasi Z (15-24 tahun) tercatat paling rendah dalam mengakses pengobatan. Hal ini dapat memicu peningkatan masalah sosial seperti bunuh diri dan penyalahgunaan zat terlarang (Kemenkes, 2023).
Sekularisme Biang Masalah
Generasi Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, hidup pada masa dimana perkembangan internet dan teknologi digital yang sangat masif.
Sehingga, hal ini membuat mereka lebih pintar dan memiliki akses cepat dan tak terhingga. Hanya saja, bukannya berdampak banyak kebaikan, namun menjadi buah simalakama, justru memicu percepatan tekanan mental, hingga depresi dan bunuh diri.
Individu materialisme adalah hasil dari produk sekuler, yang dituntut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, sementara penguasa tak ubah seperti penjual. Rakyat harus memeras keringat untuk sekedar menyambung hidup.
Sistem sekuler telah membentuk kehidupan penuh tekanan berat. Untuk berobat dan sekolah serba mahal, sulitnya mendapatkan pekerjaan, hunian yang layak, hingga sekadar untuk mendapatkan makanan pengganjal perut yang lapar.
Kehidupan yang hedonis, sengaja ditumbuhsuburkan oleh sistem sekuler ini, menambah daftar beban hidup yang kian berat. Tak ayal, lahirlah jiwa-jiwa yang lemah, yang mudah gelap mata saat kesempitan hidup kian menghimpit.
Fungsi dan kontrol negara sebagai pengayom dan pelayan rakyat belum berjalan sebagaimana mestinya. Berbagai kebijakan dalam mengurusi umat justru lebih banyak demi kepentingan keluarga, golongan dan kalangan elit dan oligarki.
Masyarakat dibiarkan menghadapi sendiri berbagai kesulitan hidup akibat kebijakan yang tak berpihak pada mereka. Harga berbagai kebutuhan hidup yang terus naik, PHK massal, pengangguran, serta tidak adanya jaminan dari negara membuat rakyat makin menderita.
Hal ini berimbas pula pada semakin mengikisnya peran ayah dan ibu sebagai tempat pertama generasi tumbuh dan mengembangkan diri. Ayah yang sulit mencari nafkah dan ibu yang harus turut mencari penghidupan demi membantu ekonomi keluarga.
Sehingga, melupakan peran pentingnya mendidik anak dengan akidah Islam. Ditambah lagi dengan semakin jauhnya dari memperdalam ilmu Islam yang merupakan bekal dalam mengasuh dan membina keluarga. Alhasil, terbentuklah keluarga yang disfungsi dan disharmoni.
Dampak lingkungan juga besar. Kehidupan masyarakat sekuler membuat remaja bebas mengeksplorasi dirinya tanpa perisainagama. Kehidupan bebas menjalar dalam kehidupan, media sosial yang tak ada kontrol, hingga normalisasi maksiat di tengah kehidupan bermasyarakat.
Islam Mengokohkan Jiwa Generasi
Sistem aturan Islam yang diterapkan negara, akan melakukan pengurusan urusan rakyatnya sebagai amanah dari Allah Swt, termasuk perkara kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, yang pemenuhannya dijamin melalui beberapa mekanisme.
Sementara kebutuhan dasar, seperti pendidikan, akan disediakan secara gratis untuk seluruh rakyat. Negara dalam Islam akan menyediakan seluruh sarana prasarana yang mendukung terselenggaranya pendidikan secara optimal, melalui pembiayaan sepenuhnya dari baitul mal, seperti gedung sekolah, perpustakaan, buku, dan lain sebagainya.
Sejarah mencatat perpustakaan Al Aziz Al Fathimiy di Kairo yang kabarnya menyimpan 1.600.000 jilid buku. Begitu pula perpustakaan yang didirikan oleh Khalifah Harun Al Rasyid di Baghdad yang dilengkapi ruang laboratoriun untuk penelitian dan fasilitas lengkap lainnya.
Dengan adanya jaminan fasilitas yang mendukung, disertai dengan sistem pendidikan Islam yang menjadikan akidah Islam sebagai asasnya, maka lahirlah generasi cemerlang. Mereka ditempa dengan akidah dan tsaqofah Islam sehingga terbentuk dalam benak mereka pola pikir Islami.
Selain itu, falsafah ilmu untuk amalpun diimplementasikan dalam kehidupan praktis, sehingga pola sikap Islami pun terbentuk dalam diri setiap individu.
Hal ini pulalah yang akan menjadikan generasi masa kini, termasuk gen z, untuk berperan sebagai agen perubahan dalam membangun sistem kehidupan yang shahih. Sistem kapitalisme demokrasi yang berasaskan sekuler menjauhkan gen z dari perubahan hakiki dengan Islam kaffah, padahal hanya dengan sistem Islam generasi dan umat manusia akan selamat.
Oleh karena itu, gen z membutuhkan adanya partai yang akan membina Gen Z secara shahih untuk mendorong terbentuknya Gen Z berkepribadian Islam, yang akan membela Islam dan membangun peradaban Islam. Wallahua'lam bishshawwab.[]
Oleh: Linda Maulidia, S.Si
(Aktivis Muslimah)