TintaSiyasi.id -- Kabar tidak baik datang dari dalam negeri dalam isu kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati atau SMI, memastikan tarif PPN naik menjadi 12 persen per 1 Januari 2025. Kenaikan tarif PPN sering dianggap sebagai langkah cepat pemerintah untuk menambah penerimaan negara guna menutup defisit anggaran.
Kebijakan ini diambil berdasarkan UU Nomor 7 tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pada Bab IV Pasal 7 ayat (1) huruf (b) yang menyatakan bahwa tarif PPN 12 persen paling lambat 1 Januari 2025. Kebijakan ini tidak bijak untuk diterapkan saat masyarakat sedang susah payah membangun daya belinya.(cnbcindonesia.com, 21/11/2024)
Disisi lain, dilansir dari liputan6.com (5/11/2024) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperpanjang insentif pembebasan pajak untuk korporasi atau tax holiday melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2024, hingga 31 Desember 2025.
Dalam aturan sebelumnya, yakni PMK 130/2020, insentif tersebut berlaku hingga 9 Oktober 2024. Namun, demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui fasilitas pengurangan PPh bagi industri pionir Kemenkeu memperpanjang pembebasan pajak tersebut.
Kebijakan tersebut tentu saja mendapat kritik dari berbagai kalangan. Karena kebijakan tersebut dinilai bisa semakin menekan daya beli masyarakat dan mengganggu roda ekonomi dunia usaha di tengah kondisi perekonomian yang sedang lesu.
Ketua umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani mengatakan momentum saat ini tidak tepat untuk menaikkan tarif PPN. Saat ini saja, tanpa kenaikan tarif PPN penjualan di berbagai sektor usaha sudah merosot akibat turunnya permintaan dan lemahnya daya beli masyarakat. Beberapa sektor usaha seperti industri tekstil sedang babak belur bersaing dengan banjir barang impor. Sektor retail dan perbelanjaan juga lesu, meski pengunjung tetap banyak dan mall tetap ramai, namun tingkat penjualan turun. Masyarakat hanya datang berkunjung tanpa berbelanja.(kompas.id, 14/11/2024)
Begitulah, dalam sistem kapitalisme, selain utang, pajak adalah sumber pendapatan tetap bagi negara. Wajar jika negara dengan gigih mempropagandakan bahwa warga negara yang baik adalah yang taat membayar pajak.
Hampir disegala lini dikenai pajak. Bahkan kebutuhan pokok rakyat yang seharusnya dijamin oleh negara pun dikenai pajak. Pajak seringkali dibuat alasan demi peningkatan pendapatan negara, pelaksanaan pembangunan dan pengurangan ketergantungan pada utang, namun faktanya kenaikan pajak ini belum tentu meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi utang. Sementara yang pasti adalah kesengsaraan rakyat, terlebih mereka sedang berada dalam situasi ekonomi yang sulit, seperti maraknya pengangguran, naiknya harga bahan-bahan pokok, sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak dan memadai dan lain sebagainya.
Padahal sesungguhnya, SDA dinegeri kita melimpah ruah, jika dikelola dengan baik akan dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat dan melepaskan diri dari ketergantungan utang. Masalahnya, negeri ini telah salah dalam mengelola SDA. Alih-alih dikelola negara, yang ada justru diserahkan kepada Asing. Alhasil, bukannya memberi kemudahan bagi rakyat, yang terjadi justru rakyat yang nafasnya sudah Senin Kamis (kembang kempis), dipaksa merogoh saku lebih dalam untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar. Sungguh, kebijakan ini merupakan bentuk kezaliman yang nyata dari penguasa atas rakyatnya
Barang siapa yang diserahi kepemimpinan terhadap urusan kaum Muslimin, namun ia menutup diri tidak mau tahu kebutuhan mereka dan kefakiran mereka, niscaya Allah tidak akan memperhatikan kebutuhannya dan kefakirannya pada Hari Kiamat.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Kenaikan pajak juga memperjelas posisi negara bukan sebagai _raain_ atau pengurus segala urusan umat. Negara tampak tidak peduli dengan nasib 25 juta rakyatnya yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bukankah kenaikan pajak akan semakin menjauhkan masyarakat dari kata sejahtera? Mirisnya negara semakin menampakkan keberpihakannya kepada korporat atau pemilik modal. Negara bertindak sebagai regulator dan fasilitator yang siap melayani kepentingan para pemilik modal. Oleh karena itu, sistem kapitalisme tidak layak dijadikan sebagai sistem yang mengatur kehidupan manusia. Sebab sistem ini lahir dari buatan akal manusia. Sehingga bersifat batil dan tidak manusiawi.
Pengaturan Pajak dalam Islam
Dalam Islam, sesungguhnya tidak ada pajak yang diambil dari masyarakat sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme dimana di segala lini, rakyat kena pajak, seperti pajak penghasilan, pajak hiburan, rumah, kendaraan, bahkan makanan. Semua itu karena khilafah adalah negara pengayom, bukan negara pemalak.
Nabi saw. dahulu mengatur urusan-urusan rakyat dan tidak terbukti bahwa beliau memungut pajak atas masyarakat. Tidak ada satu riwayat pun yang menunjukkan bahwa beliau memungut pajak. Bahkan ketika beliau mengetahui ada orang di perbatasan daulah mengambil pajak atas komoditas yang masuk ke negeri, beliau justru melarangnya.
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir bahwa ia telah mendengar Rasulullah saw. bersabda,
“Tidak masuk surga pemungut cukai.”
(HR Ahmad dan disahihkan oleh Al-Hakim).
Shaahib al-maksi merupakan orang yang mengambil pajak perdagangan. Hal tersebut menunjukkan larangan mengambil pajak sebagaimana prinsip kapitalisme.
Islam memiliki sistem ekonomi yang mewajibkan negara menjadi _raain,_ yaitu mengurus rakyat dengan penuh tanggung jawab. Islam menetapkan berbagai pemasukan negara yang melimpah ruah. Sedangkan pajak sendiri bukanlah sumber pemasukan utama negara. Bahkan hanya menjadi alternatif terakhir ketika kas negara dalam keadaan kosong, sementara ada kewajiban atas rakyat yang harus ditunaikan.
Dalam Islam juga dikenal adanya pajak (dharibah). Namun penerapan dan pengaturannya sangat berbeda secara diametral dengan konsep pajak dalam sistem kapitalisme.
Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, halaman 129 mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah Swt kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di baitulmal kaum Muslim untuk membiayainya.
Dalam Muqaddimah Ad-Dustur”, Nizham al-Iqtishadi fil Islam mengatakan bahwa pajak bukanlah sumber tetap pendapatan baitulmal. Pendapatan ini bersifat insidental ketika kondisi kas negara kosong dan hanya dibebankan kepada orang-orang kaya.
Jadi, pajak hanya akan ditarik dari warga negara Muslim yang kaya ketika terjadi kondisi tertentu, semisal adanya bencana alam atau peperangan; ataupun ketika negara harus membayar gaji pegawainya, sedangkan harta di baitulmal tidak ada. Ketika masalahnya telah teratasi, maka penarikan pajak pun harus segera dihentikan. Dengan demikian, pajak dalam Islam, tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya.
Ringkasnya, tidak ada pajak di dalam Islam, kecuali pada kondisi darurat dan sesuai dengan kadarnya tanpa tambahan. Tidak diambil, kecuali dari zhahri ghina (orang kaya) yang dalam sejarah Islam sangat jarang terjadi. Karena sumber-sumber pemasukan tetap negara, seperti fai, kharaj, jizyah, hasil eksplorasi SDA , termasuk bahan tambang dan sebagainya lebih dari cukup untuk menjamin kesejahteraan rakyat.
Oleh: Nabila Zidane
Jurnalis