Tintasiyasi.id.com -- Sebanyak 146 pengungsi Rohingya berlayar menggunakan kapal kayu dari kamp pengungsian di Bangladesh. Mereka terombang-ambing di laut selama 17 hari dengan pasokan makanan dan minuman yang sangat sedikit.
Sampai pada akhirnya mereka memutuskan untuk berlayar menuju pantai Nusantara, tepatnya di Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Mereka pun tiba pada kamis (24/10/2024).
Mereka berlayar ke sana dengan membawa segenggam harapan, mudah-mudahan Indonesia dengan penduduknya yang mayoritas muslim berkenan menolong dan memberikan perlindungan kepada mereka.
Namun, kenyataan tidak selaras dengan harapan. Kedatangan 146 pengungsi Rohingya yang terdiri dari 64 pria, 62 wanita, dan 20 anak-anak tersebut kembali mendapatkan penolakan dari masyarakat setempat. Meskipun begitu, mereka tetap dibawa ke Aula kantor Camat Pantai Labu untuk didata lebih lanjut (Medan.kompas.com 24-10-2024).
Indonesia memang tidak ikut serta dalam meratifikasi konvensi pengungsi 1951, oleh karenanya pemerintah Indonesia tidak memiliki tanggung jawab untuk menampung para pengungsi. Namun, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid menganggap bahwa Indonesia tetap memiliki tanggung jawab tersebut karena Indonesia termasuk negara yang memiliki banyak aturan terkait perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
Usman juga memaparkan, bahwa Indonesia termasuk negara yang sudah mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Dimana pada Kovenan tersebut, dalam pasal 6 dan pasal 7 telah diatur secara tegas tentang hak manusia untuk hidup, hak manusia untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan penghukuman lain yang kejam serta tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.
Hal ini mengartikan, jika Indonesia mengusir, memulangkan atau membiarkan pengungsi Rohingya terombang-ambing di perairan laut lepas dengan kondisi perahu seadanya, berikut kondisi mesin, anak-anak dan perempuan. Maka, Indonesia dianggap telah melanggar Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik, khususnya menyangkut hak hidup (nasional.kompas.com 21-11-2023).
Seperti inilah kondisi muslim Rohingya yang terabaikan. Pemberitaan terkait kondisi muslim Rohingya di Indonesia sendiri mulai tenggelam oleh pemberitaan warga muslim Gaza dan pemberitaan lainnya. Sebagaimana perhatian umat, khususnya umat muslim terhadap warga muslim Palestina.
Penting juga bagi umat untuk memperhatikan kondisi muslim Rohingya yang sampai saat ini mereka tidak mendapatkan hak kemanusiaan, bahkan keberadaan mereka tidak diakui oleh pemerintah negara tempat mereka tinggal, yakni Myanmar.
Sebagaimana yang sudah diketahui, muslim Rohingya sudah beberapa kali mengalami genosida di negara tempat tinggalnya. Mereka diburu, dipenjara, disiksa dan dibunuh. Bahkan, sebagian kaum muslimahnya diperkosa oleh militer Myanmar. Rumah-rumah dan masjid-masjid mereka juga turut dimusnahkan.
Akibat kekejaman ini, sebagian warga Rohingya yang selamat dari penyiksaan keji keluar dari sana dan mengungsi ke Bangladesh. Namun, hal ini tidak memberikan dampak positif bagi mereka. Sebab, mereka terpaksa tinggal di penampungan yang kumuh dan berdesak-desakan.
Mereka juga mengalami kekurangan pangan dan ancaman keamanan. Sungguh malang nasib pengungsi Rohingya.
Sejatinya, kondisi pahit yang tengah dialami oleh saudara muslim Rohingya, Gaza dan saudara muslim yang tertindas di berbagai negara lainnya akan segera berakhir jika umat Islam bersatu dalam satu kepemimpinan negara, yaitu Khilafah.
Sayangnya, dunia Islam saat ini terpecah-pecah menjadi negara-negara kecil. Garis nation state telah memisahkan bahkan memutuskan rasa persaudaraan antara muslim di wilayah yang satu dengan wilayah lainnya. Juga menimbulkan rasa persaudaraan setanah air lebih tinggi dibanding rasa persaudaraan seakidah.
Terlebih lagi penguasa-penguasa negeri muslim saat ini sangat terlihat jelas kelemahannya di hadapan penguasa kafir Barat. Mereka lebih menjunjung tinggi peraturan internasional dari pada peraturan yang berasal dari Allah Ta'ala. Buktinya, untuk memberikan perlindungan terhadap saudara seakidah saja mereka saling lempar tanggung jawab.
Dengan dalih tidak ikut meratifikasi konvensi pengungsi 1951. Bagi yang meratifikasi-pun tidak kunjung memberikan perlindungannya terhadap pengungsi Rohingya.
Kalaupun ada negeri muslim yang menerima pengungsi Rohingya, hal ini dilakukan hanya atas dasar kemanusiaan, bukan atas dasar kepatuhan terhadap syariat Allah atau atas dasar kasih sayang layaknya saudara.
Bahkan pemberian perlindungannya pun hanya bersifat sementara dan seadanya. Hal ini disebabkan, mayoritas negeri muslim saat ini mengemban ideologi kapitalis bawaan Barat. Mereka hanya mengeluarkan dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan penguasa dan pendukungnya.
Bagi penguasa yang ikut serta mengemban ideologi ini akan menganggap bahwa menerima pengungsi Rohingya hanya akan menambah beban dan tidak memberikan keuntungan sedikitpun untuk negara.
Oleh sebab itu, berat bagi mereka menampung pengungsi Rohingya, sekalipun mereka sadar bahwa pengungsi Rohingya merupakan saudara seakidah mereka, dan menolongnya merupakan kewajiban yang telah Allah syariatkan.
Sungguh, buruknya kondisi umat Islam saat ini merupakan dampak dari ketiadaan perisai bagi umat Islam, yaitu Khilafah. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda,
"Sungguh Imam (Khalifah) adalah perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikan dia sebagai pelindung." (HR Muslim).
Tidak ada nyawa seorang muslim-pun yang dibiarkan hilang sia-sia dalam naungan Khilafah. Khilafah tidak segan-segan mengirimkan pasukan untuk melindungi satu nyawa kaum muslim.
Oleh sebab itu, keberadaan negara yang menjalankan sistem Islam, yakni Khilafah adalah kebutuhan mendesak. Bahkan tidak hanya bagi umat muslim, tetapi seluruh umat. Sebab hanya peraturan dari Allah sajalah yang mampu memberikan kesejahteraan dan menghentikan segala bentuk penjajahan, penindasan atau kezaliman.
Hanya Khilafah, satu-satunya institusi negara yang mampu membumikan kembali syariat Allah SWT. Wallahu a'lam bishshawwab.[]
Oleh: Sabila Herianti
(Aktivis Muslimah)