Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Menilik Estafet Proyek Gagal Food Estate

Sabtu, 02 November 2024 | 19:52 WIB Last Updated 2024-11-02T12:52:48Z
Tintasiyasi.id.com -- Krisis pangan menjadi persoalan familiar yang ditemui masyarakat dari masa ke masa, tak terkecuali Indonesia, baik itu pada masa penjajahan maupun pasca kemerdekaan. Dan sikap yang diambil pemerintah pada masa itulah yang menjadi kunci keberhasilan dalam menangani kasus krisis pangan tersebut. 

Dengan masyarakat Indonesia yang bahan pangan utamanya adalah beras, pemerintah mencanangkan proyek food estate yang tujuan hasil utamanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan pangan pokok masyarakat, yakni beras. 

Tak heran banyak lahan-lahan kosong yang dialih-fungsikan menjadi sawah guna menunjang keberhasilan program tersebut, yang pada akhirnya hanya kegagalan yang dipanen dan timbulnya banyak persoalan lainnya.

Hal ini dimulai di era Soeharto yang mencanangkan adanya proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar di Desa Palingkau Asri dan Desa Palingkau Jaya, Kalimantan Tengah yang dialihfungsikan untuk penanaman padi dan nyata nya berujung pada kegagalan (Bbc.com 18/10/2024).  

Bahkan disebutkan, proyek tersebut mengakibatkan karhutla besar karena ditinggalkan setelah sawah gagal dicetak (betahita.id 16/10/2024).

Presiden Joko Widodo, pada masa pemerintahannya melanjutkan estafet proyek gagal tersebut dengan mencanangkan proyek food estate di bekas lahan PLG yang merupakan salah satu Program Strategis Nasional (PSN) tahun 2020-2024 yang dilaksanakan di beberapa lokasi termasuk di provinsi Kalimantan tengah, terkhusus di kabupaten pulang pisau dan kabupaten Kapuas. 

Dikatakan, program ini melibatkan dua kegiatan utama, yakni intensifikasi lahan dan ekstensifikasi lahan dengan optimalisasi lahan rawa bekas PLG. Namun, selang tiga tahun berjalan, Pantau Gambut mengungkapkan bahwa ribuan hektar lahan proyek food estate di Kalimantan tengah terbengkalai. bahkan, lahan yang telah dibuka kini ditumbuhi semak belukar.

Pantau gambut juga menyebutkan terdapat lahan food estate yang tumpang tindih dengan dengan izin Hak Guna Usaha (HGU). Padahal, berdasar peraturan menteri lingkungan hidup dan kehutanan no 24 tahunn 2020, izin HGU semestinya hanya diperbolehkan berada di Area Penggunaan Lahan Lain (APL) tidak boleh berada Di Kawasan Hutan Untuk Ketahanan Pangan (KHKP).

Para petani juga mengaku menyerah menanam padi di lahan food estate setelah beberapa kali gagal panen. Hal ini terjadi bukan tanpa sebab. Tanah yang digunakan merupakan faktor utama dalam menunjang keberhasilan. 

Adapun dalam proyek ini, pemerintah justru menggunakan tanah gambut yang hanya 1 persen cocok untuk pertanian, sebab lahan gambut memiliki tingkat keasaman ph tinggi. Sedangkan untuk penanaman padi dibutuhkan tanah dengan tingkat keasaman netral.

Kondisi lahan gambut yang sudah rusak pun membuat tak mampu menyerap air saat terjadinya luapan sungai. Dan adapun varietas padi unggul yang diberikan pemerintah, memiliki batang yang lebih pendek sehingga sulit bertahan dan mudah terbenam. Padahal varietas padi unggul yang biasa digunakan oleh petani setempat, yakni padi berbatang tinggi sehingga dapat bertahan walau terbenam di lahan gambut.

Bukannya mengevaluasi, Jokowi malah memperluas area food state, bahkan Kementrian Pertanian justru berencana mencetak sawah di Kalimantan tengah dengan target seluas 621.684 hektare (bbc.com 18/10/2024).

Tak cukup sampai disitu, program serupa presiden susilo bambang Yudhoyono (SBY) berjudul Merauke Integrated Food And Energy Estate (MIFEE), yang nyatanya gagal dan menyisakan kerusakan hutan di papua, dilanjutkan pula oleh Jokowi dalam proyek food estate dan memperluasnya ke berbagai daerah. 

Hasilnya, yang ada justru menuai kontroversi denngan penduduk setempat akibat adanya perampasan lahan yang mengatasnamakan ketahanan pangan nasional. Kerusakan lahan dan deforestasi pun terjadi dan justru proyek besar ini mengancama keberadaan pangan lokal. Kendati demikian proyek ini akan dilanjutkan oleh presiden baru 2024, yaitu Prabowo Subianto.

Inilah bentuk pembangunan ketahanan pangan sistem kapitalisme yang lagi-lagi hanya berorientasi pada keuntungan dengan cara semena-mena tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat. Yang menjadi fokus hanyalah kepentingan para oligarki yang menjadi penyokong pembiayaan utama dalam pembangunan ketahan pangan, sehingga segalanya asal dilakukan tanpa adanya perhatian di berbagai aspek mengenai dampak yang terjadi selanjutnya dan asalkan menguntungkan para oligarki.

Lain halnya dengan negara yang mengunakan sistem Islam sebagai asasnya akan memiliki mafhum raawiyah, sehingga menganggap pengurusan negara sebagai amanah yang nantinya di pertanggung jawabkan oleh Allah. Sehingga dalam melaksanakan tugasanya, negara tidak akan main main dan berbuat semena-mena.

Dalam ketahanan pangan, negara akan melakukan pembangunan dengan memerhatikan berbagai aspek, termasuk kestabilan kehidupan sosial dan kelestarian lingkungan terlebih dalam penyediaan bahan pangan yang merupakan kebutuhan pangan rakyat.

Negara Islam akan memiliki kemandirian dalam pembiayaan pewujudan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. Tidak bergantung pada asing maupun swasta, sehingga negara akan bergerak tanpa disetir kepentingan oleh mereka dna fokus untuk menyejahterahkan rakyat. 

Pembiayaan tersebut dapat dilakukan karena Islam memiliki sumber pemasukan yang banyak, yang mana pendapatan tersebut didapatkan dengan syari melalui pengelolaan harta kepemilikan umum, zakat, jizyah, khumus, fai, dan kharaj juga memiliki aturan dalam pemanfaatannya yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

Hanya dalam naungan Islam, rakyat dapat hidup sejatera, sehingga dari sini, tak layak bagi kita untuk terus bertumpu di sistem kufur dan sudah saatnya kembali pada syariat Islam. Wallahu a’lam bishshawwab.[]

Oleh: Darisa Mahdiyah
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update