Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Meneroka Pilgub Jatim 2024 (13): Habis Debat, Siapa Paling Tepat?

Rabu, 13 November 2024 | 08:53 WIB Last Updated 2024-11-13T01:53:30Z

TintaSiyasi.id-- Debat Pilgub Jatim menjadi arena menarik disimak. Kemunculan yang paling pandai bicara, pandai menjawab, hingga pandai bertanya. Sosok calon gubernur pun diuji dengan pertanyaan dari panelis maupun antar-calon. Semenjak demokrasi liberal, debat menjadi panggung uji publik. Tujuannya rakyat bisa terkesima dan menentukan pilihan. Hal yang menjadi catatan bahwa mengenal cara berfikir berbeda dengan cara memerintah.

Rakyat yang masih dalam kebodohan politik diciptakan candu mencintai sosok dan luarnya. Terkadang melupakan perjalan politik dan latar belakangnya. Kondisi ini menandakan politik berada di batas nadhir. Hal menarik ketika ajang debat pilgub dijadikan satu-satunya parameter untuk memilih pasangan Khofifah-Emil, Luluk-Lukman, dan Risma-Gus Hans.

Paradigma Politik

Sebelum lebih jauh dan tidak terlalu masuk ke dalam subyektifitas cagub-cawagub, publik perlu memahami politik. Hal ini penting, karena politik selama ini dinikmati elite politik. Sementara kampanye dan pemilu hanyalah pesta rakyat sementara. Pemaknaan politik perlu dijiwai agar tidak salah arah. Lebih mengejar jabatan Jatim-1, tapi lupa cara mengurusi rakyat dengan arif dan bijaksana. 

Politik hakikatnya mengurusi urusan rakyat secara menyeluruh untuk menghasilkan kesejahteraan. Tentu mengaturnya tidak bisa serampangan dan diambil dari cara manusia yang biasa dan mengedepankan hawa nafsu. Perlu kembali kepada Sang Pemilik Kehidupan agar hidup lebih mapan.

Ketika paradigma politik dimaknai benar, maka jawaban yang terlontar dari pertanyaan akan mudah dijawab dengan teknis dan ideologis. Bukan malah pamer ataupun gagasan yang tidak logis. Publik sebagai penikmat debat jangan cuma menonton, tapi perlu mencermati beberapa hal:

Pertama, memimpin dalam pemerintahan bukan bicara sosok, tapi juga sistem yang dibawa. Orang hanya akan menjalankan sesuai sistem yang diterapkan. Berulang pergantian pemimpin pun akan sama jika sistem tidak berubah. Hal yang berbeda hanya cara memimpin dan pencitraan.

Kedua, jawaban yang berkaitan dengan pengaturan rakyat perlu dicermati seksama. Jangan asal jawab yang sifatnya populis. Malahan jadi bumerang dalam penerapan. Antara bisa atau sekedar wacana. Cara pandang ini mempengaruhi sikap dalam menentukan langkah.

Ketiga, publik perlu memiliki filter kritis agar tidak mudah diperdayai dan terkesima tanpa alasan. Hal ini penting untuk menjaga kewarasan publik tanpa intervensi politik atau paksaan pilihan. 

Keempat, debat publik bukanlah cerminan dalam memerintah ke depan. Ini sebagai wahana penarik publik dalam meramaikan opini di media dan lapangan. Sayangnya, publik sebagai kontrol kekuasaan sering mengabaikan posisi pentingnya. Alhasil, penguasa sering melenceng bahkan tidak menepati janjinya.

Kelima, debat publik bisa menjadi ajang bagi calon untuk merefleksikan visi-misi yang direncanakan. Publik juga perlu menyoroti visi-misinya. Apakah pro rakyat? Atau sulit dipahami rakyat? Atau malah membingungkan dan hanya tulisan tanpa penerapan?

Oleh karenanya, rakyat sebagai obyek dalam politik tak boleh melupakan tugasnya untuk terus mengontrol jalannya kekuasaan. Politik yang saat ini berjalan dalam kerangka demokrasi liberal. Ide politik yang berdasar pada pemisahan agama dari kehidupan (sekuler). Berpijak pada kebebasan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.

Habis Debat, Lalu?

Habis debat, lalu terbitlah perdebatan. Memang ini akan menjadi perbincangan yang dibahas di ragam media. Perbincangan seputar debat publik pun mendapatkan catatan dan analisis dari semua pihak. Rakyat tidak boleh diam. Tugasnya mendorong calon penguasa itu kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal ini menjadi penting, jika pemimpin itu taat pada Allah dan Rasul-Nya, maka akan menjalan sistem yang baik dan membawa rahmat.

Rakyat hendaknya terus bersuara untuk mendorong penguasa peduli kepada urusan kehidupan rakyat. Amanah kepemimpinan itu berat. Pilgub Jatim ini hendaknya menjadi refleksi bagi masyarakat untuk mengkaji kembali syarat-syarat menjadi pemimpin sesuai Islam. Jika tidak, rakyat akan menemui dilema dan terombang-ambing dalam obyek politik demokrasi yang penuh intrik.

Tampaknya kesadaran politik rakyat perlu mendapatkan porsi edukasi di ruang publik. Rakyat jangan sampai anti kepada politik Islam. Justru politik Islamlah yang memiliki makna memuaskan akal, menentramkan jiwa, dan sesui fitrah manusia. Semoga ke depan, pemimpin yang tepat itulah yang melaksanakan syariat.

Oleh. Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)

Opini

×
Berita Terbaru Update