TintaSiyasi.id -- Karhutla atau kebarakan hutan dan lahan merupakan masalah tahunan yang kerap kali terjadi di berbagai wilayah di Indonesia khususnya yang terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).
Sepanjang tahun 2023 lalu, luas lahan karhutla di Kalsel mencapai 300 ribu hektare. Salah satu wilayah penyumbang karhutla terbesar di Indonesia dari total 1,16 juta hektare menurut laporan dari PBB yang menangani kebencanaan, UN Office for Disaster Risk Reduction (UNDRR).
Pada tahun 2024 ini, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalsel mengklaim luas lahan terbakar lebih kecil. Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kalsel, Bambang Dedi menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2024 hingga bulan oktober ini, penanganan karhutla di Kalsel telah mencapai sekitar 600 hektare.
Meski saat ini Kalsel sedang memasuki musim hujan, namun bencana karhutla masih mengancam. Berdasarkan data BMKG, Bulan Oktober 2024 hujan terjadi hampir merata di seluruh wilayah Kalsel, atau sekitar 90,5 persen. Akan tetapi puluhan hektare hutan masih terbakar dibeberapa titik.
Karhutla Bukan Semata Masalah Cuaca
Masalah karhutla yang terjadi dan terus berulang sepanjang tahun ini bukan semata faktor alam saja, namun ada faktor manusia yang bisa jadi merupakan penyumbang terbesar karhutla. Seperti pembakaran lahan, penebangan liar yang menghasilkan lahan kritis, hingga pembakaran dan pembiaran lahan terbakar oleh perusahaan.
Pada tahun 2023, Walhi Kalimantan Selatan mencatat telah terjadi 182 titik api berada dalam lahan konsesi monokultur sekala besar yang tersebar di seluruh wilayah Kalsel. Salah satu diantaranya terjadi di wilayah izin HGU (Hak Guna Usaha) di sejumlah perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran lahan konsesinya.
Lahan konsesi merupakan tanah yang diberikan izin, hak, atau pemberian oleh pemerintah, perusahaan, atau entitas legal lain. Lahan konsesi sendiri tidak boleh dibakar, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja secara tegas melarang pembukaan lahan dengan cara membakar.
Keseriusan Negara Dalam Menangani Karhutla
Berulangnya masalah karhutla ini merupakan akibat penerapan sistem Kapitalisme oleh negara. Paradigma Kapitalisme beranggapan bahwa SDA dalam hal ini adalah hutan boleh dikelola secara bebas oleh swasta atau individu.
Kapitalisasi hutan terjadi atas nama konsesi, yang sejatinya memberikan izin bagi swasta atau individu untuk menguasai lahan dan hutan.
Meski negara telah menetapkan sejumlah kebijakan ketat dalam pengelolaan hutan, tetapi hal itu berjalan sebagai formalitas saja. Karena pada faktanya kerusakan hutan makin meluas akibat pembukaan lahan dan pengalihan fungsi lahan.
Solusi Islam Fundamental
Adapun dalam sistem Islam terdapat pengaturan yang rinci mengenai kepemilikan harta. Diantaranya adalah kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum.
Hutan yang merupakan SDA tidak terbatas termasuk dalam kepemilikan umum, artinya tidak boleh dimiliki oleh individu atau sekelompok orang, tetapi harus dikelola oleh negara yang mana hasilnya akan dikembalikan dan dinikmati oleh masyarakat secara umum.
Negara tidak boleh memberikan kewenangan pengelolaan kepada swasta, tetapi negara masih boleh mempekerjakan swasta untuk mengelola hutan. Akad yang berlaku ialah akad kerja, bukan kontrak karya.
Negara Islam akan mengembangkan kemajuan iptek di bidang kehutanan agar pengelolaan hutan dan lahan dapat dioptimalkan sebaik mungkin tanpa harus mengganggu dan merusak ekosistem.
Negara Islam juga akan memberikan sanksi tegas bagi para pelaku perusakan alam dan lingkungan dengan sanksi hukum Islam yang tegas sehingga berefek jera.
Dalam hukum Islam, pelaku perusakan hutan akan dikenakan sanksi ta'zir, yaitu hukuman yang berupa denda, penjara, cambuk, atau bahkan hukuman mati. Sanksi ini akan diberikan berdasarkan tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku.
Maka penyelesaian karhutla hanya akan tuntas dengan mengganti seluruh perangkat dan produk hukum yang berasas kapitalisme dengan paradigma Islam.
Wallahu'alam bissawab.
Oleh: Nuril Hafizhah
Aktivis Muslimah