TintaSiyasi.id -- Guru memiliki peran utama dan ruang kontribusi terbesar dalam merealisasikan tujuan negara yang termaktub dalam UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Tak ayal, julukan "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" disematkan pada para guru. Maka dari itu, peran mulia guru ini sepatutnya membuat mereka mendapatkan balasan yang layak dan setimpal dengan apa yang telah dikerjakan. Mengingat, mendidik anak tak semudah membalikkan telapak tangan.
Kenyataannya, banyak kabar tidak menyenangkan yang merebak di berbagai platform media mengenai kondisi guru hari ini, baik dari kesejahteraan hidup, upah, maupun perlakuan yang diterima para guru dalam praktik kerjanya. Dewasa ini marak terjadi kriminalisasi dan intimidasi terhadap guru di berbagai penjuru Indonesia. Pasalnya, beberapa upaya dalam mendidik dan mendisiplinkan murid sering disalahartikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak. Padahal, yang mereka (para guru) lakukan masih dalam batas wajar sesuai aturan dan norma yang berlaku bagi anak didik mereka.
Banyak guru yang terpaksa mencicipi dinginnya jeruji besi, menerima intimidasi, hingga penganiayaan dari wali murid. Bahkan tak sedikit yang terseret ke meja hijau lantaran diperkarakan oleh wali murid yang tidak menerima perlakuan guru kepada anaknya saat menerapkan metode pembelajaran.
Sebagaimana dilansir dari VIVA (01/11/2024), Sambudi, guru SMP Raden Rahmat, Balongbendo, Sidoarjo, pada 2016 diperkarakan oleh orang tua murid berinisial SS, yang merupakan anggota TNI, lantaran Sambudi mencubit SS karena tidak melaksanakan salat berjamaah di sekolah, sehingga cubitan tersebut menimbulkan luka memar. Alhasil, dalam persidangan pada 14 Juli 2016, Jaksa Penuntut Umum menyatakan Sambudi bersalah dan melanggar Pasal 8 Ayat 1 UU Perlindungan Anak sehingga menuntutnya dengan pidana 6 bulan penjara dan 1 tahun masa percobaan.
Baru-baru ini, kasus serupa juga dialami oleh Ibu Supriyani yang mencuat di jagat media sosial. Ibu Supriyani, guru honorer SDN 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan, dilaporkan oleh orang tua murid yang merupakan anggota polisi atas tuduhan penganiayaan pada April 2024. Berdasarkan keterangan Aipa Dibowo, orang tua murid, laporan ini diajukan setelah ia melihat luka memar di paha anaknya akibat dipukul oleh Supriyani dengan sapu ijuk pada 24 April. Akhirnya, Supriyani sukses dijebloskan ke penjara pada 16 Oktober 2024.
Tak hanya dua kasus tersebut, masih banyak kasus serupa yang dialami oleh berbagai guru di Indonesia yang tidak tersorot media. Hal ini memiliki probabilitas tinggi terjadi karena perbedaan persepsi antara wali murid dan guru dalam hal mendidik anak. Banyaknya UU Perlindungan Anak pun siap menjadi tameng ketika para murid mendapatkan hukuman dari gurunya karena melakukan kesalahan.
Fakta lainnya adalah bahwa lembaga pendidikan berbasis sekuler menghasilkan siswa yang hanya pandai dalam akademik tetapi tidak dengan akhlak. Ilmu yang didapat di sekolah hanya bersifat teoretis tanpa disertai pengamalan dalam kehidupan nyata. Wajar jika akhlak dan pemahaman mereka (para siswa) sering kali berseberangan.
Di sisi lain, mereka juga tidak menyadari peran besar tak terlihat dari keridhoan guru, yang menjadi salah satu kunci sukses dalam pembelajaran. Akibatnya, mereka menganggap didikan para guru yang terwujud dalam berbagai bentuk, misalnya cubitan ketika mereka melakukan kesalahan, sebagai sesuatu yang tidak dapat ditoleransi, dan merasa sang guru harus mendapatkan balasan setimpal. Hal ini pun sering mereka laporkan kepada orang tua mereka.
Ironisnya, orang tua mereka sering kali menanggapi dan menganggap hal tersebut sebagai perkara pidana, meskipun pada kenyataannya, para guru hanya menjalankan tugasnya dalam mendidik dan mengajar anak didik demi kebaikan generasi mendatang. Alhasil, saat ini para guru ragu dan takut dalam menjalankan perannya, khususnya dalam menasihati siswa.
Menyikapi hal ini, Mahkamah Agung dalam putusannya bernomor 1554 K/PID/2013 menyatakan bahwa guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap muridnya. Perlindungan bagi guru juga muncul melalui PP No. 19 Tahun 2017 tentang Perubahan PP No. 74 Tahun 2008 tentang Guru. Namun, kenyataannya, peraturan tersebut tidak memberikan hasil nyata, selama di Indonesia masih berlaku hukum yang berpijak pada sekuler kapitalis. Siapa yang memiliki uang, dialah yang menang.
Lain halnya dengan Islam. Islam, akidah aqliyyah yang melahirkan berbagai peraturan sesuai dengan fitrah manusia dan berasal dari Pencipta, Allah SWT, akan menjadikan manusia berlapang hati dalam menjalankan aturan Allah di berbagai bidang kehidupan.
Melalui negara berbasis Islam, yaitu Khilafah yang memiliki kekuatan besar dalam mengatur kehidupan sesuai syariah, negara akan memiliki berbagai upaya dalam menyejahterakan kehidupan guru. Dalam Islam, guru memiliki posisi mulia dan diharuskan untuk mendapatkan perlakuan yang baik.
Agar bekerja dengan optimal dan melaksanakan amanahnya dengan baik, negara akan menjamin kehidupan mereka dengan sistem penggajian terbaik. Negara juga akan memberikan pemahaman kepada semua pihak akan sistem pendidikan Islam, yang kurikulumnya tidak hanya bersifat teoretis tetapi juga memastikan pribadi setiap individu bersyaksiyah Islam.
Keridhoan guru menjadi titik penting yang harus didapat dalam pembelajaran melalui adab murid terhadap gurunya. Dengan demikian, tidak mungkin didapati murid yang bersikap kurang ajar terhadap guru. Justru mereka akan bersikap ta’dzim kepada gurunya. Orang tua juga akan memiliki pemahaman yang sama dengan guru dalam mendidik anak, karena memiliki satu tujuan yang sama dalam mencetak generasi berkepribadian Islam.
Pendidikan Islam memiliki tujuan yang jelas dan meniscayakan adanya sinergi semua pihak, baik murid, wali murid, maupun guru, sehingga menguatkan tercapainya tujuan pendidikan dalam Islam. Kondisi ini akan menjadikan guru merasa tenang dan optimal dalam menjalankan tugas dan perannya, karena terlindungi dalam mendidik siswa. Wallahu a’lam.
Oleh: Darisa Mahdiyah
Aktivis Muslimah