Tintasiyasi.id.com --Kasus kriminalisasi guru datang silih berganti. Baru saja terjadi di Konawe Selatan, Guru Supriyani di laporkan oleh wali murid yang berstatus polisi ke polsek Baito atas tuduhan telah memukul anaknya yang sekolah di SD Negri Baitu (www.bbc.com, 01/10/24).
Kasus lain di Balongbendo Sidoarjo. Pak Sambudi Guru SMP Raden Rahmat diperkarakan akibat mencubit siswanya karena tidak melaksanakan shalat berjamaah di sekolah (www.viva.co.id, 01/10/24).
Adapula kasus Pak Zaharman Guru SMAN 7 Rejang Lebung, mengalami kebutaan setelah diketapel oleh orang tua murid akibat tidak terima anaknya dihukum karena merokok (www.viva.co.id, 01/10/24).
Sungguh ironi, dimana kehadiran guru sangat dibutuhkan karena peranannya yang strategis untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kini seorang yang disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa harus siap dengan berbagai resiko dan potensi dikriminalisasi. Sungguh resiko yang tidak sebanding dengan pengorbanannya sebagai pendidik.
Kriminalisasi pada guru ini adalah malapetaka sebuah peradaban. Pasalnya adab kepada guru yang seharusnya benar-benar dijunjung karena akan menambah keberkahan ilmu.
Guru termasuk dalam daftar orang yang harus kita hormati selain orang tua biologis. Artinya dengan adanya kasus kriminalisasi terhadap guru berarti adab itu telah hilang di tengah orang tua dan generasi.
Kejadian ini sebenarnya tidak lain karena kita hidup dalam sistem kapitalisme. Dimana sistem kapitalisme berdiri atas paham sekulerisme yaitu memisahkan agama dengan kehidupan. Paham ini membahayakan karena manusia tidak lagi menyadari bahwa dirinya adalah makhluk Allah yang harus tunduk pada aturan Allah dalam kehidupannya di dunia.
Termasuk pula dalam sistem pendidikan sekarang. Pada pelajaran sekolah, pendidikan agama tidak menjadi prioritas dan jam pelajarannya makin terkikis. Ilmu agama sebatas menjadi pengetahuan bukan menjadi tsaqofah yang membangun jiwa dan kepribadian.
Keadaan ini diperparah lagi dengan moderasi beragama yang semakin membutakan generasi tentang islam sebagai sistem kehidupan. Pemisahan aturan agama dari kehidupan (sekularisme) telah membuat generasi bersikap amoral dan kehilangan ta’zim (penghormatan) kepada guru. Padahal ta’zim pada guru termasuk hukum syara yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Di kehidupan sekarang yang tumbuh dalam diri individu adalah keegoisan, arogansi dan kebebasan berprilaku. Sehingga nasihat guru tidak lagi diperhatikan malah dianggap sebatas omongan yang mengganggu privasinya.
Inilah buah dari sistem kapitalisme sekuler yang merusak dan menjauhkan umat dari syariat Islam. Bahkan pelaku kriminalisasi tersebut kebal hukum. Sungguh benar-benar ini adalah bencana pada kehidupan kita.
Hal ini berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang berasaskan ideologi shohih yaitu ideologi Islam. Ideologi Islam meyakini bahwa manusia adalah hamba yang wajib taat pada aturan Allah SWT. Keyakinan ini membawa pada keridhoan manusia untuk diatur oleh hukum-hukum Allah termasuk mengatur sistem pendidikan mereka.
Sistem pendidikan Islam dibangun atas landasan aqidah. Strategi pendidikan harus dirancang untuk mewujudkan identitas keIslaman yang memancarkan kepribadian seorang muslim.
Metode pengajarannya berlandaskan tsaqofah Islam berupa aqidah, pemikiran, dan perilaku islam yang membangun akal dan jiwa anak didik.
Pengaitan sistem pendidikan dengan aqidah islam akan menghasilkan generasi berkepribadian Islam nan mulia. Pribadi seperti ini tidak mungkin melakukan kriminalisasi terhadap guru karena memahami sikap hormat pada guru adalah salah satu sebab berkahnya ilmu yang nantinya berguna untuk menjadikan mereka pribadi mulia.
Sistem pendidikan seperti ini tidak akan terwujud apabila masih dalam payung sistem kapitalis sekuler. Maka harus ada sistem ideologi Islam yang menggantikannya sehingga cita-cita mendapatkan generasi mulia, guru yang ikhlas dalam mengajarkan ilmunya dapat terwujud.[]
Oleh: Rizka Afizzatul Umi
(Aktivis Muslimah)