Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Guru Dikriminalisasi, Nyata dalam Sistem Demokrasi

Kamis, 07 November 2024 | 19:02 WIB Last Updated 2024-11-07T12:02:28Z
‌ 

Tintasiyasi.id.com -- Lagi-lagi terjadi! Kasus guru yang dilaporkan dan dikriminalisasi di negeri ini. Yang terbaru adalah kasus Supriyani, seorang guru honorer di SD Negeri 4 Baito, Konawe Selatan yang didakwa melakukan penganiyaan terhadap muridnya. 

Wibowo Hasyim, orang tua murid yang berstatus polisi dengan pangkat ajun inspektur dua, melaporkan Supriyani ke Polsek Baito. Wibowo menuduh Supriyani telah memukul paha anaknya dengan sapu ijuk yang mengkibatkan anaknya mengalami luka.

Menanggapi persoalan terkait kenakalan atau ketidaktertiban serta upaya guru mendisiplinkan murid, Asep Iwan Iriawan, mantan hakim yang kini menjadi dosen di Universitas Trisakti itu mengatakan seharusnya hal tersebut tidak masuk ke urusan pidana.

Menurutnya, guru berhak merespon sikap dan perbuatan peserta didik dalam batas wajar.
Asep mengatakan kalaupun orang tua murid tidak sepakat dengan cara mendidik yang diterapkan guru, persoalan itu semestinya diselesaikan di sekolah, bukan di kantor polisi atau pengadilan.

Di sisi lain, perkara pidana yang menjerat Supriyani itu membuat banyak guru merasa takut, mereka ragu melerai perkelahian antar murid karena khawatir malah menjadi tersangka penganiayaan oleh wali murid.

Hal itu diungkapkan oleh Abdul Halim Momo, Ketua PGRI Sulawesi Tenggara. Untuk itu , Abdul mendesak pemerintah dan DPR menyusun UU tentang perlindungan guru. Karena, merujuk data PGRI, tidak sedikit juga guru yang menjadi korban penganiayaan orang tua atau wali murid (BBC News, Jum'at 1/11/2024).

Kalau ditelisik lagi, maraknya kasus kriminalisasi terhadap guru disebabkan oleh hal-hal berikut:

Pertama, adanya kesenjangan makna dan tujuan pendidikan antara guru, siswa, orang tua, masyarakat dan negara.

Hal itu karena masing-masing memiliki persepsi berbeda tentang pendidikan. Akibatnya muncul gesekan dari berbagai pihak termasuk langkah guru dalam menasihati siswa.

Kedua, adanya peraturan yang tumpang tindih. Meskipun ada peraturan yang melindungi guru saat menjalankan profesinya, seperti UU no.14 tahun 2005 serta PP no.74 tahun 2008, namun di satu sisi juga ada UU Perlindungan Anak yang mengatur tentang hak-hak anak.

Maka ketika ada guru yang menegur siswa yang melanggar tata tertib atau memberikan hukuman untuk memberikan efek jera, malah dilaporkan orang tua karena dianggap melanggar HAM atau melakukan kekerasan terhadap anak.

Ketiga, rendahnya akhlak anak bangsa akibat dijauhkannya nilai agama dari kehidupan dan masuknya pengaruh budaya barat, hingga terjadi pergeseran nilai. Guru dianggap seperti teman biasa, kehormatan guru sudah tidak dianggap lagi. Bahkan akhirnya nasihat guru hanya dianggap angin lalu. 

Semua ini terjadi akibat diterapkannya sistem demokrasi sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam sistem ini pula, kedaulatan ada di tangan rakyat. Maka rakyat (diwakili oleh DPR) memiliki wewenang untuk membuat peraturan UU. Padahal manusia itu lemah dan tidak sempurna, maka peraturan yang dihasilkan pun sudah pasti lemah dan batil. 

Berkebalikan dengan sistem Islam. Kedaulatan ada di tangan syarak, yakni Allah Swt. sebagai Al-Khalik dan Al- Mudabbir (pencipta dan pengatur) yang sudah pasti aturannya benar dan sempurna. Maka tidak ada yang berhak membuat peraturan selain Allah. 

Dalam Islam, profesi guru sangat dihargai. Guru memiliki kedudukan yang mulia, bahkan diangkat derajatnya karena ilmu yang dimilikinya. Dalam Al Quran surat Al-Mujadilah ayat 11 Allah Swt. juga berfirman : "Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." 

Disebutkan juga dalam kitab Ta'limul Muta'alim bahwa jika seorang guru tersakiti oleh muridnya, maka murid terhalang mendapatkan keberkahan ilmu dan ia tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu itu kecuali hanya sedikit. 

Islam juga sangat menghargai jerih payah guru. Gaji guru sangat diperhatikan. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab misalnya, Khalifah menggaji guru yang mengajar anak-anak di Madinah saat itu dengan 15 dinar perbulan yang diambil dari Baitulmal. Kalau dikonversikan dengan harga emas 22 karat saat ini (1 dinar = 4.250.000), maka 15 dinar setara dengan 63.750.000 rupiah. Dengan gaji yang fantastik ini diharapkan guru lebih fokus menjalankan tugasnya untuk mendidik, membimbing dan mengarahkan siswa sesuai dengan tujuan pendidikan. 

Dalam Islam tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia yang berpola pikir dan berpola sikap IsIam. Hanya akidah Islam yang dijadikan sebagai pijakan dalam menetapkan kurikulum pendidikan. Sehingga tujuan pendidikan untuk menjadikan anak bangsa sebagai generasi yang cerdas secara intelektual dan spiritual akan mudah terwujud.

Islam memandang pendidikan adalah hal yang sangat penting dalam membentuk karakteristik sebuah bangsa. Karena masa depan suatu bangsa tergantung kondisi anak-anak muda saat ini. 

Maka negara-lah sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk menyelenggarakan pendidikan dengan menyediakan infrastruktur yang memadai untuk mendukung terlaksananya pendidikan termasuk menyediakan guru yang berkompeten.

Tidak ada perbedaan antara guru ASN atau guru honorer. Semua sama-sama sebagai aparatur sipil negara yang diberi wewenang dan tanggung jawab untuk mendidik anak bangsa. 

Semua aturan ini bisa terlaksana ketika sistem Islam yang diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Khilafah Rosyidah 'Ala Minhajin Nubuwwah. Wallahu A'lam.[]

Oleh: Ni'matul Afiah Ummu Fatiya
Pemerhati Kebijakan Publik

Opini

×
Berita Terbaru Update