TintaSiyasi.id -- Masalah guru yang terjerat pinjaman online (pinjol) ilegal di Indonesia semakin memprihatinkan. Berdasarkan data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sekitar 42% dari korban pinjol ilegal adalah guru, yang rata-rata memiliki utang puluhan juta rupiah per orang. Salah satu penyebab utama fenomena ini adalah rendahnya gaji yang diterima oleh guru, terutama mereka yang belum berstatus pegawai tetap atau honorer.
Gaji guru di berbagai daerah sering kali berada di bawah kebutuhan hidup layak, sementara tekanan ekonomi, baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun pengeluaran lain seperti perlengkapan mengajar, membuat mereka rentan mengandalkan pinjaman online. Permasalahan ini tidak hanya berkutat pada rendahnya gaji, tetapi juga pada literasi keuangan yang masih kurang di kalangan guru. Banyak di antara mereka yang kurang memahami seluk-beluk pinjaman online dan jebakan bunga tinggi serta biaya tambahan tersembunyi yang dihadirkan oleh pinjol ilegal.
Ketidaktahuan ini semakin diperparah oleh mudahnya akses pinjaman melalui aplikasi digital yang sering kali menawarkan kemudahan tanpa memperjelas risiko-risiko yang terkait. Dampaknya, utang awal yang mungkin hanya beberapa juta rupiah, bisa membengkak menjadi puluhan juta akibat bunga yang sangat tinggi dan biaya denda yang akumulatif.
Untuk menanggulangi fenomena ini, pemerintah telah mengupayakan beberapa program untuk meningkatkan kesejahteraan guru, seperti pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan program sertifikasi guru. Namun, program-program ini belum dapat sepenuhnya menyelesaikan akar masalah finansial yang dialami oleh para guru.
Jika berkaca pada kesejahteraan guru dimasa kekhalifahan Islam, kita akan melihat perbedaan yang signifikan dalam hal dukungan negara terhadap profesi ini. Posisi guru dalam Daulah Islam adalah profesi yang sangat dihormati dan dipandang sebagai sosok yang memiliki peran penting dalam membangun peradaban. Negara bertanggung jawab penuh dalam memastikan kesejahteraan guru, yang mencakup gaji yang layak serta tunjangan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Sebagai contoh, dalam kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, guru mendapatkan tunjangan yang diambil dari baitul mal (kas negara). Baitul mal bertugas mengelola sumber pendapatan negara, yang kemudian dialokasikan untuk keperluan publik, termasuk di dalamnya kesejahteraan guru dan ulama. Dengan demikian, para guru tidak hanya dihargai dari sisi profesinya tetapi juga didukung secara finansial, sehingga mereka tidak perlu mencari penghasilan tambahan atau mengajukan pinjaman demi memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Solusi untuk masalah pinjaman online ini, menurut pandangan Islam, mencakup dua aspek utama. Pertama, negara seharusnya memastikan kesejahteraan guru melalui sistem pendapatan yang stabil dan mencukupi, sehingga mereka tidak perlu bergantung pada pinjaman online berbunga tinggi. Dalam sistem ekonomi Islam, bunga (riba) dianggap sebagai beban yang tidak etis dan memberatkan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Kedua, pentingnya literasi keuangan untuk para guru dengan memahami sistem keuangan yang sesuai dengan syariat agar tidak mudah tergoda oleh iming-iming pinjaman mudah dari layanan pinjol. Selain itu, pendekatan Islam menekankan pentingnya menjalankan ekonomi yang berkeadilan dan berkesejahteraan bagi seluruh rakyat. Sistem ini tidak hanya mencegah eksploitasi oleh lembaga keuangan yang tidak bertanggung jawab, tetapi juga memastikan bahwa setiap individu, terutama mereka yang berperan dalam pendidikan generasi muda, dapat hidup layak tanpa beban utang yang menghimpit.
Wallahu'allam Bishowab
Oleh: Lastrilimbong
Aktivis Muslimah