Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Fokuslah pada Area di Mana Itu Ada pada Kendali Kita

Senin, 11 November 2024 | 23:38 WIB Last Updated 2024-11-11T16:39:10Z
TintaSiyasi.id-- Fokus pada area yang ada dalam kendali kita adalah prinsip dasar dalam pengembangan diri dan pengelolaan stres. Prinsip ini mengajarkan kita untuk membedakan mana hal-hal yang bisa kita kendalikan dan mana yang berada di luar kendali kita. Dengan melakukan ini, kita dapat mengalokasikan energi, waktu, dan pikiran secara lebih efektif, serta menjaga kesejahteraan mental.

Mengapa Fokus pada Kendali Diri Itu Penting?

Jika kita terlalu fokus pada hal-hal di luar kendali kita—seperti pendapat orang lain, kejadian masa lalu, atau situasi global yang tidak bisa kita ubah—kita rentan mengalami stres dan frustasi. Sebaliknya, fokus pada hal-hal yang ada dalam kendali kita memungkinkan kita untuk:

1. Mengurangi kecemasan: Saat fokus pada apa yang bisa kita lakukan atau ubah, kita tidak terbebani oleh hal-hal yang tidak bisa kita kontrol.

2. Memperbaiki kualitas hidup: Energi yang disalurkan ke area yang bisa kita kendalikan membuat kita lebih produktif dan puas.

3. Meningkatkan rasa percaya diri: Karena merasa bertanggung jawab atas tindakan kita, kita juga merasa lebih percaya diri dalam menghadapi berbagai situasi.

Bagaimana Cara Mempraktikkan Fokus pada Area dalam Kendali Kita?

Berikut adalah beberapa langkah praktis untuk menerapkan prinsip ini:

1. Identifikasi Hal-Hal yang Bisa Dikendalikan
Tanyakan pada diri sendiri, "Apakah saya benar-benar bisa mengubah atau memengaruhi ini?" Hal-hal yang biasanya berada dalam kendali kita meliputi:
• Perilaku pribadi: Tindakan dan reaksi kita terhadap orang lain.
• Pemikiran dan perasaan kita: Cara kita memandang situasi dan mengelola emosi.
• Pilihan kita: Misalnya, memilih untuk tetap tenang, memilih untuk berusaha lebih baik, atau memilih cara kita merespon situasi sulit.

2. Pisahkan yang Bisa dan Tidak Bisa Dikendalikan
Banyak hal di luar kendali kita seperti cuaca, opini orang lain, atau situasi politik. Fokuslah pada apa yang bisa kita lakukan di tengah situasi itu. Misalnya:
• Jika ada perubahan dalam aturan di tempat kerja yang tidak disukai, fokuskan diri pada bagaimana kita bisa menyesuaikan diri atau memanfaatkan situasi tersebut.
• Dalam hubungan interpersonal, kita tidak bisa mengubah orang lain, tapi kita bisa memilih untuk merespon dengan baik atau menjaga batasan sehat.

3. Perkuat Kendali Diri Internal
Kendali internal berarti mengembangkan pemikiran positif, empati, ketenangan, dan kesabaran. Hal ini dapat diperkuat dengan:
• Melatih kesadaran diri: Latihan seperti meditasi atau refleksi diri dapat membantu kita lebih sadar akan pikiran dan perasaan.
• Fokus pada tujuan pribadi: Daripada terganggu oleh hal-hal yang tak bisa diubah, fokus pada langkah-langkah yang mendekatkan kita ke tujuan.

4. Lepaskan Hal-Hal di Luar Kendali
Sering kali, melepaskan hal-hal yang tidak bisa dikendalikan membawa kelegaan. Misalnya, jika kita khawatir akan reaksi seseorang terhadap sesuatu yang kita lakukan, sadari bahwa itu di luar kendali kita, dan alihkan fokus pada cara kita merespon secara positif dan konstruktif.

Contoh Penerapan
Misalnya, jika kita sedang menghadapi proyek besar yang melibatkan banyak orang dengan pendapat berbeda, kita tidak bisa mengendalikan sikap atau respons orang lain. Namun, kita bisa mengendalikan cara kita berkomunikasi, menjaga semangat kerja, dan mengelola waktu dengan baik. Fokus pada hal-hal ini memungkinkan kita untuk memberikan hasil yang baik tanpa terlalu stres akan situasi yang tidak bisa dikontrol.

Kesimpulan
Mengalihkan perhatian pada area yang ada dalam kendali kita adalah salah satu cara untuk hidup lebih damai, efektif, dan produktif. Saat kita lebih fokus pada kendali diri, kita memiliki lebih banyak energi untuk mengatasi tantangan dan mencapai tujuan hidup kita.

"Kesungguhanmu pada apa-apa yang telah Dia (Allah) jamin bagimu, dan kelalaianmu pada apa-apa yang Dia (Allah) tuntut darimu, merupakan bukti atas lenyapnya bashirah (mata hati) darimu!” ~ Ibnu Athailla

Kutipan dari Ibnu Atha'illah as-Sakandari ini mengandung nasihat mendalam tentang kesadaran diri, keimanan, dan pemahaman terhadap kehendak Allah dalam kehidupan.

Penjelasan Makna

Ibnu Atha'illah menegaskan tentang pentingnya memiliki bashirah, atau "mata hati" yang tajam, dalam menyikapi kehidupan. Bashirah adalah kemampuan melihat segala sesuatu dengan kejernihan hati dan dengan perspektif yang mendalam, terutama dalam konteks spiritual dan hubungan dengan Allah. Bashirah yang tajam memungkinkan seseorang memahami dengan jernih apa yang seharusnya menjadi fokus utama dalam hidup.

Dalam kutipan ini, terdapat dua hal utama yang menjadi pesan utama:

1. Kesungguhan pada Apa yang Sudah Dijamin oleh Allah Maksudnya, manusia sering kali terlalu fokus dan khawatir tentang hal-hal duniawi yang sesungguhnya sudah Allah jamin, seperti rezeki, kesehatan, atau kehidupan kita. Kita mengejar dunia, berusaha keras mendapatkan kemakmuran atau kedudukan, atau khawatir berlebihan tentang apa yang akan terjadi di masa depan, padahal semua ini sudah berada dalam ketetapan Allah.
Mengkhawatirkan hal-hal yang telah dijamin adalah bukti bahwa kita belum sepenuhnya memahami dan mempercayai takdir Allah. Jika kita benar-benar percaya pada kehendak dan kekuasaan Allah, kita tidak akan terlalu sibuk dan cemas akan hal-hal duniawi yang sudah Allah jamin.

2. Kelalaian pada Apa yang Allah Tuntut dari Kita Sementara kita sering begitu serius mengejar hal-hal duniawi, kita justru melalaikan apa yang menjadi tuntutan Allah dari kita. Tuntutan Allah adalah hal-hal yang terkait dengan ibadah, ketaatan, perbuatan baik, dan usaha untuk menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Dengan sibuk pada hal-hal yang sebetulnya sudah terjamin, kita menjadi lalai dari tugas utama kita sebagai hamba-Nya, yaitu menjalani kehidupan sesuai dengan syariat-Nya, memperbaiki akhlak, dan melaksanakan amanah sebagai khalifah di muka bumi.

3. Bukti Lenyapnya Bashirah (Kehilangan Mata Hati) Jika seseorang lebih bersungguh-sungguh mengejar apa yang sudah dijamin dan justru lalai dari apa yang dituntut, ini adalah tanda bahwa ia kehilangan bashirah atau mata hati. Lenyapnya bashirah membuat seseorang kehilangan arah hidup yang sebenarnya dan mengaburkan prioritas. Hatinya tertutup dari kebijaksanaan Ilahi, sehingga ia tidak bisa melihat mana yang sebenarnya penting dan mana yang hanya ilusi sementara.

Hikmah yang Dapat Dipetik
Kutipan ini mengajak kita untuk:

• Menguatkan tawakal kepada Allah: Mempercayai sepenuhnya bahwa segala sesuatu, terutama yang bersifat duniawi, sudah Allah tentukan. Apa pun yang terjadi pada kita, rezeki yang kita peroleh, dan kehidupan kita semuanya sudah Allah atur.
• Memfokuskan upaya pada tuntutan spiritual: Daripada terlalu khawatir akan hal-hal yang sudah ditetapkan, lebih baik kita serius dalam memenuhi tuntutan yang Allah tetapkan dalam hal ibadah, amal, dan kebaikan yang memberi dampak jangka panjang bagi kehidupan akhirat.
• Meningkatkan kesadaran diri (muhasabah): Sering-seringlah melakukan introspeksi diri untuk mengetahui apakah kita sudah menempatkan dunia dan akhirat dalam urutan yang benar. 

Bashirah yang tajam membutuhkan hati yang jernih dan tujuan hidup yang selaras dengan kehendak Allah.

Kesimpulan

Pesan dari Ibnu Atha'illah ini adalah pengingat agar kita tidak terjebak dalam kekhawatiran duniawi yang sesungguhnya sudah diatur oleh Allah. Sebaliknya, kita harus fokus pada kewajiban kita sebagai hamba-Nya. Bashirah atau mata hati yang tajam akan menuntun kita untuk hidup dengan fokus dan keikhlasan, menjalani kehidupan yang sesuai dengan kehendak-Nya, dan tidak lalai dari tujuan utama kita sebagai manusia.

Fokus Pada Perubahan diri. “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’du: 11

Ayat dari QS. Ar-Ra’d: 11 ini menyampaikan prinsip mendalam tentang perubahan diri yang menjadi dasar dari segala perubahan eksternal. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

Makna Ayat

Ayat ini mengingatkan bahwa perubahan positif di luar, baik dalam hal kondisi sosial, ekonomi, atau spiritual, harus diawali dengan perubahan dari dalam diri setiap individu. Allah memberikan kemampuan dan kebebasan kepada manusia untuk berusaha mengubah diri, dan perubahan yang kita lakukan pada diri sendiri akan diiringi dengan perubahan kondisi yang Allah takdirkan bagi kita.

Ayat ini mengandung beberapa poin penting, yaitu:

1. Perubahan Diri Adalah Awal dari Segala Perubahan Setiap perubahan dalam hidup kita dimulai dari keinginan dan usaha yang ada dalam hati dan tindakan kita. Jika kita menginginkan peningkatan atau perubahan kondisi yang lebih baik, kita perlu memulai dengan memperbaiki apa yang ada dalam diri kita, seperti:
o Mengubah kebiasaan buruk menjadi baik,
o Meningkatkan kedisiplinan,
o Memperbaiki cara berpikir dan pola hidup, serta
o Meningkatkan keimanan dan ibadah.

2. Allah Menginginkan Kita Berperan Aktif dalam Hidup Kita Allah memberi kita kemampuan untuk berusaha, berpikir, dan bertindak. Perubahan tidak akan datang hanya dengan doa dan harapan tanpa diiringi usaha. Allah menghendaki kita untuk mengambil langkah nyata dalam hidup ini, bukan hanya pasrah tanpa tindakan. Dengan mengambil tanggung jawab atas diri kita, kita menunjukkan ikhtiar yang diridhoi Allah.

3. Perubahan Dimulai dari Hati dan Pikiran Perubahan internal bukan hanya dalam bentuk tindakan, tetapi dimulai dari hati dan pikiran. Niat yang tulus, keinginan untuk memperbaiki diri, serta ikhlas dalam menghadapi ujian adalah bagian penting dari proses perubahan. Ketika hati seseorang berubah, tindakan dan kebiasaannya pun akan berubah.

Cara Memfokuskan Diri pada Perubahan Diri
Untuk mewujudkan perubahan diri yang sesuai dengan ayat ini, kita bisa menerapkan beberapa langkah berikut:

1. Muhasabah (Introspeksi Diri) Evaluasi diri atau muhasabah adalah langkah pertama dalam perubahan. Merenungkan tindakan, sikap, dan kebiasaan kita sehari-hari akan membantu kita melihat area yang perlu diperbaiki.

2. Menetapkan Niat yang Ikhlas dan Tujuan yang Jelas Setiap perubahan yang kita inginkan harus dimulai dengan niat yang ikhlas karena Allah. Misalnya, jika kita ingin menjadi pribadi yang lebih sabar, niatkan untuk mendapat ridha Allah, bukan untuk mendapatkan pujian dari orang lain.

3. Memulai dengan Perbaikan Kecil dan Konsisten Perubahan besar sering kali sulit diwujudkan secara instan. Mulailah dengan langkah-langkah kecil dan konsisten, seperti memperbaiki shalat, melatih kejujuran dalam setiap tindakan, atau meluangkan waktu untuk ibadah lebih khusyuk.

4. Berdoa dan Memohon Kekuatan dari Allah Dalam proses perubahan, kita tetap membutuhkan bantuan dari Allah. Berdoalah agar Allah memberi kekuatan, keteguhan hati, dan keistiqamahan dalam memperbaiki diri. Doa adalah penguat jiwa yang menghubungkan kita dengan Allah dan membuat kita lebih yakin dalam berjuang.

5. Meningkatkan Keilmuan dan Wawasan Perubahan diri sering kali didukung oleh pengetahuan. Dengan memahami ilmu tentang agama, manajemen diri, atau pengembangan karakter, kita akan lebih siap menghadapi berbagai tantangan yang mungkin muncul.

6. Bersabar dalam Proses Proses perubahan diri membutuhkan kesabaran, terutama jika perubahan itu terkait menghilangkan kebiasaan buruk atau membangun kebiasaan baik yang baru. Sabar adalah kunci agar kita tidak mudah menyerah saat menghadapi rintangan.

Hikmah yang Dapat Diambil
Ayat ini menegaskan bahwa perubahan kondisi hidup seseorang atau suatu kaum berada di tangan mereka sendiri, selama mereka bersedia untuk berubah. Dengan kata lain, Allah akan membantu kita mengatasi kesulitan, membuka pintu rezeki, atau memberi kita keberkahan hidup ketika kita berusaha mengubah diri. Ketika kita ingin mendapatkan yang lebih baik, kita harus menjadi pribadi yang lebih baik terlebih dahulu.

Kesimpulan

Ayat ini memberikan inspirasi besar untuk memfokuskan energi pada perubahan diri sebelum mengharapkan perubahan dari luar. Allah memberikan kesempatan kepada setiap manusia untuk memperbaiki nasib mereka dengan memulai dari perubahan batin, karakter, dan tindakan sehari-hari. Jika kita fokus pada perubahan diri dan mengikhtiarkannya dengan sepenuh hati, Allah akan menyempurnakan perubahan itu dengan memberikan kondisi yang lebih baik dalam kehidupan kita.

 “Bagaimana mungkin engkau mendapat hal luar biasa, sementara engkau belum mengubah kebiasaan burukmu.” - Ibnu Athaillah 

Kutipan dari Ibnu Atha'illah as-Sakandari ini mengandung nasihat tajam tentang pentingnya meninggalkan kebiasaan buruk sebagai syarat untuk meraih kemajuan dan kebaikan dalam hidup.
“Bagaimana mungkin engkau mendapat hal luar biasa, sementara engkau belum mengubah kebiasaan burukmu.”

Makna Kutipan

Kutipan ini menyoroti keterkaitan antara perubahan diri dan pencapaian luar biasa. Ibnu Atha'illah menyadarkan kita bahwa hal luar biasa atau kebaikan besar hanya mungkin kita raih ketika kita mau meninggalkan kebiasaan buruk yang menjadi penghalang. Seseorang yang masih bergumul dengan kebiasaan negatif—entah itu dalam tindakan, pikiran, atau perasaan—akan sulit mengalami perubahan signifikan yang membawa kebaikan.

Beberapa poin penting dari kutipan ini antara lain:

1. Perubahan Diri sebagai Syarat Utama untuk Meraih Keberhasilan Untuk mendapatkan pencapaian besar, kita harus memulai dari dalam diri. Kebiasaan buruk sering kali menjadi "penghalang" utama yang menghambat kita untuk berkembang. Misalnya, jika seseorang ingin mendapatkan hasil yang baik dalam pekerjaannya tetapi masih terus menunda-nunda atau malas, maka ia akan sulit mencapai hasil yang diinginkan.

2. Ketidaksesuaian antara Harapan dan Kenyataan Sering kali, seseorang mengharapkan hasil yang luar biasa namun tidak mau mengubah kebiasaan buruk yang justru menjauhkannya dari tujuan tersebut. Misalnya, mengharapkan kedekatan dengan Allah tapi tetap tenggelam dalam dosa, atau mengharapkan sukses dalam karier namun mengabaikan etika dan disiplin. Harapan dan kenyataan yang tak sejalan ini adalah tanda bahwa niat dan usaha belum selaras.

3. Perlunya Kesungguhan dalam Berubah Ibnu Atha'illah mengajarkan bahwa pencapaian besar atau perubahan luar biasa tidak akan datang dengan sendirinya. Diperlukan usaha yang serius untuk memperbaiki diri, meninggalkan kebiasaan buruk, dan menggantinya dengan tindakan positif. Ini membutuhkan komitmen yang kuat untuk berubah, bahkan ketika proses itu terasa berat.

Cara Meninggalkan Kebiasaan Buruk

Berikut adalah beberapa langkah untuk mulai meninggalkan kebiasaan buruk dan mengembangkan diri:

1. Mengenali Kebiasaan Buruk yang Menjadi Penghalang Langkah awal untuk berubah adalah mengenali dan mengakui kebiasaan-kebiasaan buruk yang ada. Kebiasaan buruk bisa beragam, seperti menunda pekerjaan, berbicara kasar, kurang disiplin, atau malas beribadah. Setelah mengenali kebiasaan buruk, kita akan lebih mudah fokus dalam memperbaikinya.

2. Memperkuat Niat dan Komitmen Perubahan tidak akan terjadi tanpa niat yang kuat. Tanyakan pada diri sendiri, mengapa kita ingin mengubah kebiasaan tersebut dan apa manfaat yang akan kita dapatkan. Niat yang ikhlas dan komitmen untuk berubah adalah landasan penting agar perubahan tersebut bisa bertahan.

3. Mengganti Kebiasaan Buruk dengan Kebiasaan Baik Setiap kebiasaan buruk sebaiknya digantikan dengan kebiasaan baik. Misalnya, jika terbiasa menunda pekerjaan, mulailah membiasakan diri menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Jika sulit disiplin dalam beribadah, tetapkan jadwal khusus dan patuhi. Proses mengganti kebiasaan membutuhkan waktu, tapi dengan ketekunan, perubahan akan terwujud.

4. Berdoa dan Memohon Bimbingan Allah Dalam proses perubahan, kita memerlukan bantuan dan petunjuk dari Allah. Berdoa untuk kekuatan dan keteguhan hati adalah langkah penting, karena Allah-lah yang memberi kemampuan untuk mengatasi kelemahan dan kebiasaan buruk kita.

5. Evaluasi Diri secara Berkala Dalam perjalanan berubah, evaluasi diri sangat penting. Dengan muhasabah (introspeksi) secara rutin, kita bisa melihat sejauh mana perkembangan yang kita capai, memperbaiki kekurangan, dan mempertahankan kemajuan yang sudah diperoleh.

Hikmah yang Dapat Diambil

Kutipan ini mengajak kita untuk jujur dengan diri sendiri dalam mengejar tujuan besar. Perubahan yang luar biasa tidak mungkin tercapai tanpa usaha untuk memperbaiki diri. Jika kita ingin memperoleh keberhasilan, kedekatan dengan Allah, atau pencapaian positif lainnya, kita harus rela meninggalkan kebiasaan buruk yang merugikan kita.

Dengan kata lain, hal-hal luar biasa yang kita impikan memerlukan diri kita yang lebih baik, lebih disiplin, dan lebih positif. Allah menginginkan kita berusaha dengan sungguh-sungguh agar layak menerima karunia yang lebih baik. Ini adalah pengingat bahwa setiap kebaikan besar bermula dari perubahan kecil namun konsisten dalam diri kita sendiri.

Kesimpulan

Pesan Ibnu Atha'illah ini menegaskan bahwa kita tidak bisa mengharapkan perubahan besar tanpa komitmen untuk meninggalkan kebiasaan buruk. Setiap pencapaian besar memerlukan kesiapan hati, ketulusan, dan usaha sungguh-sungguh untuk memperbaiki diri. Hanya dengan meninggalkan kebiasaan buruk, kita membuka jalan bagi hal-hal luar biasa yang Allah siapkan untuk kita.

Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo

Opini

×
Berita Terbaru Update