TintaSiyasi.id -- Serentak! Pilkada dari gubernur-wakil gubernur hingga bupati-wakil bupati bakal digelar bersamaan pada tanggal 27 November 2024, di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota di Indonesia. Calon terpilih akan memimpin pada periode 2024-2029 (kompas.com, 8/11/2024).
Dan seperti Pilkada-pilkada sebelumnya, aroma oligarki masih menguar. Proses kontestasi ini tak pernah lepas dari dinamika oligarki politik yang mengacu pada dominasi segelintir elite pemegang kekuasaan besar dalam pengambilan keputusan politik dan ekonomi. Dalam konteks Pilkada, ini merujuk pada pengaruh kuat kelompok atau keluarga tertentu yang mengendalikan calon yang maju dalam Pilkada.
Bila warna Pilkada masih kental oligarki, bisakah rakyat berharap urusan hidupnya akan lebih diperhatikan oleh pemimpin yang baru? Sementara sudah rahasia umum bahwa cost politik pada Pilkada sangat tinggi. Mau tak mau, pilihannya hanya dua; sang kandidat harus berteman dengan pelaku oligarki untuk membiayai, atau dirinya jadi bagian dari oligarki itu sendiri. Ketika kekuasaan tersandera oleh para oligark, rakyat tak lagi jadi prioritas. Bahkan bisa jadi dikorbankan demi politik balas budi atau melayani kehendak oligarki.
Oligarki di Balik Pilkada: Raih Kekuasaan demi Kepentingan Politik dan Ekonomi
Menkopolhukam Mahfud MD pernah menyatakan bahwa 92% calon kepala daerah dibiayai oleh cukong (cnnindonesia.com, 11/9/2020). Ada beberapa hal yang nampak sebagai indikasi kuatnya eksistensi oligarki dalam Pilkada serentak 2024 yaitu;
Pertama, dominasi calon dari keluarga atau politik dinasti. Banyak calon gubernur atau bupati/walikota berasal dari keluarga politik atau dinasti yang sudah lama berkuasa. Hal ini mengindikasikan bagaimana kekuasaan politik dipertahankan dalam satu keluarga atau kelompok.
Kedua, pengaruh partai politik. Partai politik besar seringkali mengusung calon yang berhubungan dekat dengan elite partai. Calon yang diusung biasanya berlatar belakang kekayaan atau koneksi politik kuat, hingga mereka lebih mudah mengakses sumber daya untuk berkampanye.
Ketiga, politik uang. Pilkada yang melibatkan oligarki sering dibarengi dengan politik uang. Calon jagoan oligarki biasanya memiliki sumber daya finansial yang lebih besar untuk membeli suara atau mempengaruhi pemilih.
Keempat, konsolidasi kekuasaan di tingkat lokal dan nasional. Kekuatan oligarki tidak hanya terbatas pada tingkat daerah, tetapi juga bersinggungan dengan kekuatan politik nasional. Hal ini nampak dalam pola dukungan partai politik terhadap calon tertentu, yang sering melibatkan perhitungan kekuasaan jangka panjang di level nasional.
Dari realitas tersebut nampak demokrasi an sich berjalan secara prosedural. Hanya seremoni kontestasi politik. Sementara kedaulatan, sejatinya tidak berada di tangan rakyat melainkan di tangan para pemodal. Oligarki kekuasaan yang merupakan kolusi antara partai politik dan para pemodal, telah menguasai altar kontestasi Pilkada. Sementara rakyat, hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan yang 'dipaksa' untuk memilih calon pemimpin melalui Pilkada yang telah disediakan dalam etalase politik hasil kolusi tersebut.
Setelah menjadi penguasa, kader partai politik wajib mengabdi kepada partai dan melayani kepentingan para pemodal yang membiayainya. Oleh karena itu suara bisa dibeli dan diarahkan kepada pemenangan calon tertentu. Sistem Pilkada langsung berpotensi menegasikan substansi suara rakyat sekaligus mengkhianati amanat sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Terjadi distorsi kedaulatan rakyat dan Pilkada terjebak dalam prinsip "numeric democracy", demokrasi angka-angka, bukan demokrasi substansial. Dengan sistem pemilihan langsung dalam Pilkada, suara rakyat diambil bukan lagi untuk menggali kebenaran, kebijakan, dan kearifan. Pilkada hanya mengambil legitimasi rakyat dalam bentuk "numeric", seolah-olah dilibatkan dalam menentukan kepemimpinan yang menduduki jabatan kekuasaan.
Demokrasi juga melegalkan kapital untuk membeli suara dan legitimasi dari rakyat dalam kontestasi. Yang dihitung hanyalah jumlah suara yang akan menentukan kemenangan dan melegitimasi kekuasaan. Dengan demikian, bukankah demokrasi telah mati karena praktik pemerintahan dikuasai oleh oligarki?
Dampak Pembiayaan Pilkada oleh Oligarki terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Pembiayaan Pilkada oleh oligarki dapat membawa dampak yang signifikan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, baik dari segi kebijakan maupun integritas pemerintahan. Beberapa dampak yang mungkin terjadi antara lain;
Pertama, dominasi kepentingan ekonomi (bisnis) dalam kebijakan daerah. Kandidat yang didanai oleh oligarki cenderung mengakomodasi kepentingan ekonomi dari sponsornya. Hal ini akan memunculkan kebijakan yang lebih berpihak pada kelompok tertentu. Misalnya dalam hal perizinan, pengadaan barang/jasa, atau proyek-proyek infrastruktur yang menguntungkan oligarki, namun merugikan kepentingan publik.
Kedua, korupsi dan penurunan akuntabilitas. Ketergantungan terhadap dana dari oligarki bisa membuka peluang terjadinya korupsi. Kandidat yang terpilih dengan dana besar dari oligarki mungkin merasa harus membayar kembali dengan cara memberikan kontrak atau proyek yang menguntungkan bagi pendukung mereka, alih-alih mengutamakan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran daerah.
Ketiga, menurunnya trust pemilih (rakyat) pada jalannya pemerintahan. Pemilih mungkin merasa pilihan mereka tidak mempengaruhi jalannya pemerintahan karena pemilihan didominasi oleh pemain besar dengan sumber daya yang tidak proporsional. Ini bisa mengurangi partisipasi politik dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pemerintahan.
Keempat, peningkatan ketimpangan sosial dan ekonomi. Pemerintahan oligarkis cenderung mengutamakan kepentingan ekonomi daripada kesejahteraan sosial. Hal ini dapat memperburuk ketimpangan ekonomi di daerah, menghambat distribusi sumber daya yang adil, dan memperburuk kemiskinan.
Kelima, pengaruh terhadap kemandirian pemerintahan daerah. Kepala daerah yang mendapat dukungan finansial dari oligarki mungkin kurang independen dalam pengambilan keputusan. Mereka bisa terjebak dalam hubungan patronase yang mengikat, di mana keputusan strategis lebih dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi tertentu daripada kebutuhan masyarakat.
Secara keseluruhan, pembiayaan Pilkada oleh oligarki berisiko mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan dan merusak kualitas pemerintahan daerah, yang pada gilirannya akan merugikan rakyat.
Strategi Penyelenggaraan Pilkada Ideal agar Pemerintahan Daerah Berjalan Netral Tanpa Pengaruh Oligarki
Pragmatisme politik adalah aspek yang sangat menonjol dalam praktik demokrasi. Sungguh berbeda dengan penerapan politik Islam. Dalam pandangan Islam, politik merupakan aktivitas mengatur urusan rakyat berlandaskan syariat Islam. Jadi tujuan berpolitik bukanlah kekuasaan. Kekuasaan hanya sarana agar hukum Allah SWT bisa diterapkan.
Begitu pula saat seseorang diangkat menjadi pemimpin dalam sistem pemerintahan Islam. Ia mesti memiliki visi melayani, karena posisinya adalah khodimatul ummat (pelayan umat). Yaitu mengatur urusan dan memenuhi kebutuhan (pokok) rakyat, serta menghilangkan perselisihan antarmereka.
Pemimpin Islam menyadari, kekuasaan adalah amanah berat yang harus dipertanggungjawabkan.Tak hanya di hadapan rakyat, pun kelak dihisab di hadapan Sang Maha Penguasa Jagat Raya. Inilah pengendali utama yang membuatnya berhati-hati agar jalannya proses politik senantiasa berada di jalur ilahi.
Pemimpin dalam sistem Islam diangkat berdasarkan syarat in’iqad (sah/wajib): Muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu. Pemimpin yang merdeka yaitu terlepas dari pengaruh dan dikte orang lain. Bagaimana ia mampu mengatur urusan rakyat yang berpihak pada hajat mereka jika ia disetir dan dikendalikan oleh pihak lain? Apalagi jika pengendalinya justru dalam posisi memusuhi umat dan syariah Islam.
Pengangkatan pemimpin dalam Islam juga tidak bertele-tele, dengan prinsip birokrasi sederhana dan berbiaya minimal. Jika ia berposisi sebagai calon khalifah, maka mutlak baginya untuk memperoleh ba’iat sebagai tanda ketaatan rakyat terlebih dahulu. Jika dalam posisi pemimpin (kepala) daerah, maka khalifah berwenang untuk mengangkatnya.
Sebagai kepala negara, Rasul SAW telah mencontohkan pengangkatan pemimpin daerah. Hal yang sama dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin dan telah menjadi ijma’ Sahabat. Berdasarkan dua dalil ini, wali (gubernur) dan ‘amil (setingkat bupati/walikota) ditunjuk dan diangkat oleh kepala negara (khalifah). Jadi, kepala daerah tidak dipilih baik langsung oleh rakyat atau oleh wakil mereka.
Perlu diingat, hal mendasar dari kepemimpinan daerah bukan apakah pemimpin daerah itu dipilih rakyat atau tidak. Yang mendasar adalah pengaturan dan pemeliharaan berbagai urusan dan kemaslahatan rakyat benar-benar terwujud.
Sebagaimana kepala daerah diangkat oleh kepala negara, maka pemberhentian mereka juga dilakukan oleh kepala negara. Para wali dan ‘amil bisa diberhentikan baik karena ada sebab pelanggaran, penyimpangan, kezaliman, ketidakmampuan atau karena faktor lainnya. Bisa juga mereka diberhentikan tanpa sebab dan kesalahan tertentu. Rasul SAW pernah memberhentikan Muadz bin Jabal dari jabatan wali Yaman tanpa sebab. Khalifah Umar ra. juga pernah memberhentikan Ziyad bin Abi Sufyan tanpa sebab tertentu.
Dengan itu masyarakat dan pejabat akan paham bahwa jabatan kepala daerah adalah jabatan biasa dan pemangku jabatan bisa diberhentikan kapan saja. Sehingga jabatan kepala daerah tidak akan diagungkan dan orang tidak akan berlomba-lomba mengejar jabatan tersebut dengan menghalalkan segala cara.
Dari uraian di atas, mana sistem pemerintahan dan karakter peminpin yang layak mengatur urusan umat dengan baik? Tentu sistem dan pemimpin Islam yang mendasarkan aktivitas politik bersumber pada ajaran Allah SWT dan Rasul-Nya.
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.(Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)