TintaSiyasi.id -- Sebentar lagi negeri ini akan mengadakan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), di tingkat Propinsi, Kabupaten atau Kota Madya. Masyarakat masih berharap ada perubahan yang lebih baik dengan terpilihnya pemimpin baru di daerah mereka, kendati mereka telah dikecewakan pada pemilu presiden dan legislatif beberapa bulan yang lalu.
Seperti biasa masyarakat menganggap seolah-olah perubahan bisa didapat dengan berubahnya orang yang memimpin. Besar harapan masyarakat akan ada perubahan dari berubahnya orang yang memimpin tersebut. Karena itu, antusias masyarakat terhadap kesuksesan pemilukada kali ini masih sangat besar. Tapi, mungkinkah kali ini pemimpin yang terpilih akan mewujudkan harapan mereka?
Ibarat Kacang Lupa Kulitnya
Bukan sekali, dua kali rakyat ini dikhianati, bahkan sudah berkali-kali. Ibarat kacang lupa dengan kulitnya, begitulah gambaran para setiap kandidat yang terpilih, mereka lupa dengan orang-orang yang telah memilihnya, yang rela bermusuhan dengan temannya, tetangganya bahkan saudaranya hanya karena pilihannya berbeda. Semasa membutuhkan suara rakyat mereka berbondong-bondong merebut simpati rakyat, bahkan yang tidak ada hubungan saudara pun, akan dianggap saudara pada saat itu.
Namun, ketika terpilih dan telah naik ke tampuk kekuasaan, jangankan mewujudkan harapan rakyat, menampung aspirasi rakyat, mewujudkan janji-janji mereka, bahkan orang-orang yang telah memilih mereka dianggap tidak pernah ada. Itulah fakta yang terjadi selama ini ketika menjelang pemilu atau pemilukada dan setelahnya. Tapi, seolah-olah tidak ada pelajaran dari beberapa pengalaman dalam menjalankan pesta demokrasi, kejadian dan harapan yang sama terulang lagi, lagi dan lagi.
Tawaran Perubahan Semu Ala Demokrasi
Dalam sistem pemerintahan demokrasi masyarakat telah didoktrin bahwa berbagai permasalahan yang menimpa negeri ini adalah karena personalnya atau orangnya semata. Karena itu, jika menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik maka ubahlah orangnya alias ganti rezimnya, ganti pemimpinnya. Berharap dengan bergantinya pemimpin yang lama dengan pemimpin yang baru akan diperoleh perubahan yang lebih baik.
Keberhasilan sebuah negeri mewujudkan kepemimpinan sesuai dengan keinginan mayoritas masyarakat dianggap sebagai prestasi demokrasi yang terbaik. Padahal kalau ditelurusi fakta dilapangan bahwa sejatinya pemilu dan pemilukada hanyalah sebuah seremonial lima tahunan demokrasi belaka. Orang-orang yang naik ke tampuk kekuasaan tersebut sejatinya adalah orang-orang yang telah diizinkan oleh para penguasa global Barat (AS) dan Timur (Cina) untuk menjadi pemimpin di daerah tersebut, bukan karena pilihan mayoritas masyarakat. Dan hal ini terbukti jelas pada pemilu presiden dan legislatif tahun ini.
Pemimpin yang naik ke tampuk kekuasaan sudah mereka pastikan tidak akan merusak dan menghambat kepentingan mereka. Seperti, dengan mempermudah mereka dalam memperoleh dan menguasai SDA yang ada di negeri ini. Karena itu, tidak heran kita melihat secara kasat mata SDA yang banyak dinegeri ini dikuasai oleh segelintir orang saja yaitu para kapital (pemilik modal) dalam negeri terutama asing.
Juga harus dipastikan oleh mereka bahwa orang-orang yang naik adalah termasuk orang-orang yang akan senantiasa mempertahankan ide-ide kufur dan rusak mereka. Seperti, ide demokrasi, sekulerisme, nasionalisme, HAM, radikalisme, pluralisme, moderasi beragama, toleransi, feminisme. Bahkan harus wajib ikut meng'haram'kan ide-ide Islam seperti khilafah dan jihad.
Orang-orang seperti inilah yang 'wajib' naik ke tampuk kekuasaan. Karena itu, kita dapati ada dan dibolehkannya ulama, ustadz, kiyai bergelut dalam pesta demokrasi dan menjadi pemimpin disuatu negeri ataupun daerah asalkan mengikuti kebijakan dan ide-ide yang telah digariskan oleh mereka para kapital tersebut. Maka tidak heran sekelas ulama, ustadz atau kiyai menyerukan ide-ide kufur demokrasi dan turunannya serta membenci dan menyerukan kebencian kepada ide Islam khilafah dan jihad.
Karena itu, berharap perubahan ke arah yang lebih baik dalam demokrasi, walaupun pemimpinnya sekelas ulama, ustadz atau kiyai hanyalah ilusi, ibarat pungguk merindukan rembulan. Mustahil harapan masyarakat bisa terwujud, apalagi mau menerapkan Islam.
Dalam aktivitas pemilu para kandidat boleh menjadikan apapun yang dikiranya bisa mengambil simpati rakyat, tanpa peduli janji-janji tersebut bisa diwujudkan atau mustahil diwujudkan. Apalagi kegiatan rasuah alias sogok-menyogok tidak bisa dihindari baik background nya seorang ulama, ustadz atau kiyai sekalipun. Kalaulah demikian kejadian fakta dilapangan bisakah diharapkan keberkahan dan keridhaan Allah dari kepemimpinan mereka?
Karena itu, banyak ditemukan fakta bahwa pemimpin yang terpilih tidak akan atau susah untuk merealisasikan janji-janji mereka kepada rakyat bahkan semakin menzhalimi rakyat. Karena mereka meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara dan tidak menjalankan apa yang Allah perintahkan kepada mereka dalam memimpin.
Perubahan Hanya Bisa Diperoleh dengan Perubahan Sistem
Sebagaimana Rasulullah Saw pernah mengingatkan umatnya agar tidak terperosok dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya. Alangkah baiknya juga kita tidak terjerumus dalam tindakan yang sama berulang kali dalam melakukan perubahan yaitu hanya fokus pada perubahan personal atau rezim saja, tanpa mau berpikir ke arah perubahan sistem.
Sebab, dari fakta yang ada sudah berapa kali rezim berganti dengan berbagai latar belakang yang berbeda, tetapi kondisi umat tidak mengalami perubahan kearah yang lebih baik sedikitpun malahan semakin parah. Ini membuktikan bahwa perubahan rezim saja tidaklah cukup, harus ada perubahan sistem. Karena itu tetap fokus melakukan perubahan rezim tapi tetap menggunakan sistem demokrasi tanpa mau melirik sistem lain selain dari demokrasi seperti khilafah, artinya umat terkhususnya umat Islam telah jatuh kedalam lembah tipuan demokrasi untuk yang sekian kalinya.
Harapan tinggal harapan, perubahan sosok kepemimpinan ideal yang diharapkan memang tidak akan bisa terwujud dalam demokrasi. Karena itu cobalah meraih perubahan dengan cara diluar lingkaran demokrasi. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah dalam melakukan perubahan.
Rasulullah dalam mengubah kondisi masyarakat jahiliah ke kondisi masyarakat Islam tidaklah dengan mengambil kekuasaan yang ada ditengah-tengah kepemimpinan kafir Quraisy (Darun Naduah) pada saat itu . Tapi dengan membentuk kepemimpinan baru yang unik (Daulah Islam).
Padahal saat itu Rasulullah mendapatkan tawaran dari kafir Quraisy untuk menjadi pemimpin di Mekah. Mereka mengatakan tidak akan memutuskan perkara sekecil apapun tanpa persetujuan beliau. Tapi dengan syarat Rasulullah harus meninggalkan aktivitas dakwah.
Tentu saja Rasulullah menolak secara mentah-mentah tawaran dari kafir Quraisy itu. Dengan mengatakan, "Seandainya matahari diletakkan ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku, aku tidak akan meninggalkan aktivitas ini (dakwah Islam) hingga aku menang atau binasa karenanya".
Jika logika yang sama seperti yang dipakai oleh umat Islam saat ini, 'raih dulu kepemimpinan baru bisa dengan mudah menentukan kebijakan yang diinginkan'. Tentu secara logika Rasulullah lebih bisa lagi melakukannya. Karena Rasulullah akhlaknya dikenal baik oleh masyarakat Quraisy pada saat itu. Tentu lebih mudah bagi Rasulullah untuk melakukannya dari pada kondisi umat saat ini.
Tapi, sekali lagi hal yang demikian itu tidak diperintahkan Allah dan bukan cara yang Allah perintahkan kepada Rasulullah yang kelak akan menjadi contoh bagi kita umatnya. Dan sekali lagi yang namanya janji dan pernyataan orang kafir itu tidak bisa dipegang. Terbukti perjanjian Hudaibiyah yang seharusnya sepuluh tahun, hanya bertahan selama setahun akibat pengkhianatan mereka sendiri mengingkari perjanjian.
Sudah banyak contoh kepemimpinan yang berhasil diraih oleh partai Islam. Dengan iming-iming kebebasan dalam demokrasi. memberikan kebebasan bersaing menjadi kontestan pemilu. Siapa yang memperoleh suara mayoritas dalam pemilu akan memperoleh kepemimpin, tapi terbukti palsu. Semisal Palestina, Hamas berhasil meraih 67% suara rakyat Palestina. Tapi kepemimpinan berakhir dan para aktivisnya dijadikan buronan teroris oleh lembaga internasional Amerika, hingga saat ini. Begitu juga partai FIS di Aljazair berakhir menyedihkan.
Sementara di Indonesia sendiri, juga sudah banyak contoh kepemimpinan yang strategis diraih oleh partai Islam. Salah satunya seperti, jabatan Menkominfo yang berasal dari partai politik Islam PKS, Tifatul Sembiring. Tapi tetap tidak mampu memblokir situs-situs porno dan tayangan yang merusak akidah. Belum bisa berbuat banyak dimasa kepemimpinannya, jabatannya pun berakhir.
Selain dari metode atau cara yang telah diperintahkan dan diwajibkan oleh Allah. Perubahan yang Rasulullah lakukan dari luar adalah perubahan yang hakiki atau perubahan revolusioner yaitu dengan mengubah dari akarnya. Perubahan revolusioner itu adalah dengan mengubah sistem atau aturan yang berlaku (diterapkan saat itu). Sebab, sistem inilah yang mengikat manusia, yang mengatur interaksi antar sesama masyarakat dan antara masyarakat dengan pemimpinnya.
Mengubah sistem adalah dengan mengubah pola pikir. Sistem tidak akan bisa berubah tanpa merubah pola pikir masyarakatnya. Salah satu pola pikir masyarakat yang 'wajib' diubah saat ini adalah pola pikir yang menganggap hanya sistem demokrasi satu-satunya sistem pemerintahan yang terbaik dan satu-satunya cara untuk meraih perubahan. Dan ide-ide nasionalisme, moderasi beragama dan lain-lain. Pola pikir seperti ini harus segera dihilangkan dari benak umat jika umat memang betul-betul ingin berubah.
Karena itu jika masih memakai ide-ide dari buah sistem demokrasi dan melakukan perubahan dalam lingkaran demokrasi, maka perubahan sistem tidak bisa diperoleh. Apalagi dengan masuk kedalam sistem tersebut, itu maknanya sama dengan mempertahankan sistem demokrasi itu sendiri.
Sebab, sistem yang ada (demokrasi) bisa diibaratkan seperti sebuah rumah, yang rumah tersebut bukan milik kita. Rumah tersebut adalah milik orang asing. Ketika kita masuk kerumah orang asing tersebut, tentu kita tidak bisa seenaknya mengubah aturan atau sekedar mengubah dekorasi yang ada didalam rumah tersebut. Yang terjadi ketika kita memasuki rumah orang lain adalah kita wajib mengikuti aturan sang penghuni rumah. Karena itu, kita dapati orang yang telah masuk kedalam sistem demokrasi mengikuti alur demokrasi, baik secara sukarela ataupun terpaksa. Siapa saja yang mau mencoba merubah, maka siap-siap akan ditendang keluar sebagaimana yang terjadi dengan Hamas dan FIS.
Karena itu, perubahan yang harus dilakukan oleh kaum Muslim saat ini khususnya adalah mengubah pola pikir mereka tentang demokrasi dan turunannya serta tentang Islam. Bahwa Islam yang selama ini yang dipahami oleh umat Islam adalah Islam seluler yang fokus pada ibadah mahdhah saja. Harus diubah dengan pemahaman Islam yang menyeluruh dan paripurna.
Inilah aktivitas perubahan yang Rasulullah lakukan selama tiga belas tahun di Mekah. Yaitu dengan mengubah pola pikir masyarakat. Sehingga dengan berubahnya pola pikir, maka akan diperoleh perubahan pada pola sikap. Artinya perubahan yang dilakukan tidak boleh mengikuti permainan kaum kafir Barat yaitu bermain dalam lingkaran demokrasi. Sebagaimana Rasulullah tidak mengikuti permainan kafir Quraisy dalam melakukan perubahan. Wallahu a'lam bishshowab
Oleh: Fadhilah Fitri, S.Pd.I.
Analisis Mutiara Umat Institut