TintaSiyasi.id -- Pada Jumat, 01 November 2024, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (BPOM) menarik serta memusnahkan produk makanan impor dari China bernama Latiao. Langkah ini diambil karena produk tersebut menyebabkan Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan (KLBKP) di berbagai wilayah di Indonesia. Berdasarkan hasil uji BPOM, produk Latiao ditemukan terkontaminasi bakteri Bacillus cereus, yang menghasilkan racun dan memicu gejala keracunan seperti sakit perut, pusing, mual, serta muntah, sebagaimana dilaporkan oleh para korban, Kepala BPOM, Taruna Ikrar, mengatakan pada konferensi pers tersebut. (healthdetik.com, 03/11/24)
Kejadian keracunan makanan ini menunjukkan betapa pentingnya memantau produk impor untuk memastikan bahwa produk tersebut tidak menimbulkan ancaman bagi kesehatan. Kasus Latiao menunjukkan bahwa, aturan yang mengatur keamanan produk makanan harus diterapkan dengan ketat. Bakteri Bacillus cereus ini dapat menyebabkan berbagai penyakit serius, yaitu sakit perut, pusing, mual, dan muntah, terutama pada anak-anak, orang tua atau orang dengan kekebalan tubuh yang rendah.
Kejadian ini mengingatkan kita akan tanggung jawab kolektif, dari pemerintah hingga konsumen, dalam menjaga keamanan pangan yang beredar. Dalam hukum Islam, ada standar yang tinggi mengenai keamanan dan kebersihan produk makanan. Dalam perspektif Islam, keamanan dan kebersihan pangan sangat penting. Islam menekankan thayyib (baik dan bersih) dalam makanan, yang berarti makanan tidak hanya halal secara hukum tetapi juga aman dan bermanfaat bagi kesehatan.
يٰۤاَ يُّهَا النَّا سُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَ رْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ ۗ اِنَّهٗ لَـكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
"Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 168)
Kejadian ini menjadi pengingat penting agar kita selektif dalam memilih makanan yang selalu halal dan thayyib. Pada sistem sekuler, regulasi pangan umumnya tidak didasarkan pada nilai moral atau agama, melainkan lebih berfokus pada asas manfaat dan keuntungan ekonomi. Sistem ini mendorong perusahaan dan pihak terkait untuk mengejar profit, yang dapat melemahkan pengawasan, terutama pada produk impor. Karena ekonomi sekuler cenderung mengutamakan keuntungan finansial, produk yang dianggap menguntungkan bisa lebih mudah lolos dari pengawasan ketat. Berbeda dengan sistem Islam, yang menekankan tanggung jawab moral dan akuntabilitas tinggi untuk kesehatan dan keselamatan konsumen, bukan hanya sekadar keuntungan ekonomi.
Dalam sistem Islam, pengaturan peredaran makanan dilakukan melalui : pengawasan ketat dan inspeksi berkala, penerapan standar halal dan thayyib yang ketat, tanggung jawab penuh dari produsen dan distributor, edukasi dan partisipasi masyarakat, serta sanksi tegas bagi pelanggaran. Oleh karena itu, Pemerintah dan BPOM perlu memperketat regulasi impor produk pangan sesuai standar halal dan thayyib. Produk yang mengandung zat atau bakteri yang membahayakan kesehatan harus segera ditarik dari pasar demi kepentingan perlindungan konsumen dan diperlukan kewaspadaan yang lebih tinggi dalam mengawasi produk impor.
Hal ini berarti masyarakat harus diinformasikan agar lebih berhati-hati dalam memilih produk makanan. Mengedukasi masyarakat tentang kebersihan makanan dapat menjadi cara yang efektif untuk memastikan bahwa produk tertentu yang dibeli telah memenuhi standar kesehatan. Islam juga mengajarkan untuk saling menjaga dan memperingatkan. Konsumen yang mengetahui risiko produk tertentu dapat berbagi informasi tersebut dengan orang di sekitarnya. Melalui kebersamaan, kita dapat menghindari bahaya yang serupa di masa mendatang.
Wallahu a'lam bishowab
Oleh: Nabia Husnul
Aktivis Muslimah