TintaSiyasi.id -- Prabowo Subianto dan Gibran Rakabumingraka resmi dilantik. Presiden terpilih ini diharapkan membawa angin perubahan, membawa visi yang segar, serta menjawab tantangan besar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Suara optimisme kepemimpinan Prabowo terdengar dari berbagai pihak seperti Jokowi, petinggi-petinggi partai, dan lain-lain. Keyakinan inilah yang disebut-sebut menjadi salah satu alasan PKS memutuskan untuk merapat dan mendukung pemerintahan Prabowo. Terlebih sebagaimana disampaikan Aher, ada dukungan deras kepada kepemimpinan Prabowo. Hal ini terbukti dari hasil survei yang diklaim menunjukkan bahwa 85—90% masyarakat Indonesia menyambut baik pemerintahan yang akan datang.
Pergantian pemimpin dianggap sebagaian orang adalah harapan baru adanya perubahan ke arah yang lebih baik. Anggapan ini wajar karena mereka hanya melihat keberhasilan dilihat dari individu pemimpin saja. Tapi bangsa ini tidak boleh lupa sejak bangsa ini merdeka sampai saat ini, Indonesia telah dipimpin oleh individu dari berbagai latar belakang yang berbeda mulai dari militer, ilmuwan, wanita hingga pribadi yang diklaim pro rakyat. Namun apa yang terjadi dengan bangsa Indonesia. Apakah semakin baik?
Tentu saja, bersikap optimis seperti ini sah-sah saja. Namun jangan lupa, warisan masalah yang ditinggalkan rezim-rezim sebelumnya, terutama pada era 10 tahun kepemimpinan Jokowi, bukanlah perkara yang bisa diremehkan. Faktanya, tidak ada satu aspek kehidupan pun yang tidak dikungkung oleh persoalan krusial. Bahkan, satu sama lain saling berkelindan, seperti benang kusut yang makin sulit untuk diuraikan. Kondisi sengkarut bangsa ini pasca kepemimpinan Jokowi jelas menunjukkan bahwa pemerintah nyaris kehilangan wibawa dan kemandirian. Oleh karenanya, bagaimana bisa muncul optimisme sedemikian, seakan semua persoalan itu bisa diselesaikan semudah membalik telapak tangan?
Koalisi Gemuk, Bagi-bagi Kue Kekuasaan
Semangat membara menyukseskan pemerintahan Prabowo-Gibran yang katanya berorientasi kepada kesejahteraan rakyat dan kemandirian bangsa tampaknya sulit terwujud. Pasalnya, pemilihan para menteri dan jajaran di bawahnya tampak dalam rangka berbagi kue kekuasaan. Jumlah kementerian dalam pemerintahan Prabowo-Gibran naik signifikan daripada masa pemerintahan Jokowi, dari 34 kementerian menjadi 48 kementerian, 5 kepala badan, serta 56 wakil menteri. Dengan banyaknya posisi tersebut, bagi-bagi kekuasaan makin mudah untuk menempatkan para klien, loyalis, dan pendukung pemerintahan yang baru.
Orang-orang yang dipilih dan ditunjuk mengisi jabatan tersebut sebagian besar berasal dari elite parpol, jurnalis, pengusaha, dan sukarelawan. Menurut perhitungan lembaga riset Celios mayoritas nama yang dipanggil Prabowo didominasi oleh politisi dengan persentase mencapai 55,6% atau 60 dari 108 kandidat. Proporsi profesional teknokrat hanya sebesar 15,7% atau 17 dari 108 calon. Lalu disusul kalangan TNI/Polri (8,3%), pengusaha (7,4%), akademisi (5,6%), tokoh agama (4,6%), dan selebritas (2,8%).
Dari komposisi tersebut sudah terbaca bahwa susunan kabinet yang dibentuk tidak mempertimbangkan integritas dan profesionalitas. Bahkan, porsi akademisi atau ahli sangat sedikit. Tidak heran jika akademisi Universitas Mulawarman Hediansyah Hamzah menyebut rencana membentuk kabinet zaken dalam pemerintahan Prabowo sekadar angan belaka. Kabinet zaken merujuk pada pemerintahan yang dibentuk oleh para teknokrat atau profesional independen yang bukan bagian dari partai politik. Namun, dengan komposisi menteri seperti di atas, gambaran profesionalisme tampak tidak terwujud.
Meski pemerintah mengklaim bahwa penunjukan menteri sudah sesuai bidang dan keahlian masing-masing, faktanya sejumlah menteri dari parpol tidak memiliki keterkaitan latar belakang dan pengalaman dengan posisi kementerian yang dipimpin. Sebut saja AHY yang menduduki Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, berlatar belakang militer yang tidak ada sangkut pautnya dengan infrastruktur dan pembangunan. Lalu ada Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusron Wahid yang berlatar belakang lulusan sarjana ilmu budaya UI dan magister ekonomi IPB, juga tidak nyambung dengan bidang agraria dan tata ruang atau pertanahan.
Susunan kabinet yang didominasi elite parpol dan loyalis penguasa sesungguhnya hal yang lumrah terjadi dalam demokrasi. Ini karena dalam politik demokrasi, politik transaksional pasti terjadi. Tidak ada makan siang gratis untuk memenangkan kontestan yang dipilih. Ketika menang, para pendukung sudah pasti meminta jatah kursi dan jabatan.
Yang Dibutuhkan Rakyat
Yang dibutuhkan rakyat saat ini bukan hanya kedisiplinan dan sinergitas antarpejabat. Rakyat membutuhkan visi baru perubahan yang fundamental, bukan sekadar retorika dan narasi indah yang dikemas dengan berapi-api. Visi baru tersebut ialah perubahan yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang membelit negeri ini, di antaranya kemiskinan, pengangguran terbuka, kriminalitas, kesehatan, pendidikan, ketahanan pangan, keamanan, dan kesejahteraan rakyat.
Rakyat membutuhkan kepemimpinan yang mampu mengayomi dan mengutamakan kepentingan mereka, bukan memuluskan kepentingan kapitalis/korporasi melalui berbagai kebijakan dan regulasi. Faktanya, ketika ada koreksi dan kritik kepada pemerintah dan menyampaikan solusi syariat Islam, malah distigma negatif, dipersekusi, bahkan dibungkam dengan dalih tidak menghormati pemimpin dan cinta tanah air. Rakyat memerlukan penguasa dan pejabat yang memprioritaskan terpenuhinya kebutuhan dasar mereka. Faktanya, penguasa justru menaikkan tarif pajak, mengurangi subsidi, dan membuat harga pangan melambung tinggi. Rakyat tidak membutuhkan penguasa dan pejabat yang gemar memperkaya diri, memanfaatkan suara rakyat hanya ketika ingin mendapat simpati, berperilaku korup, dan mengkhianati amanat dan tanggung jawabnya.
Koalisi gemuk di parlemen berpeluang besar menjadikan negeri ini menjadi negara diktator. Sama sekali tidak ada kekuatan penyeimbang, kecuali masyarakat sipil yang kewarasannya masih terjaga. Semua parpol beramai-ramai mendukung pemerintahan hanya agar kebagian kue kekuasaan. Para menteri, wakil menteri, maupun kepala lembaga yang disiapkan terdiri dari orang-orang yang kredibilitas dan kapabilitasnya sangat dipertanyakan. Selain ada mantan menteri yang justru selama ini bertanggung jawab memunculkan berbagai persoalan, juga ada dari kalangan artis, aktivis ormas, bahkan ustaz moderat dan liberal, hingga eks olahragawan. Tidak heran jika banyak masyarakat yang melihat semua ini layaknya sebuah dagelan.
Lahir dari Sistem Demokrasi Kapitalisme
Semua realitas ini niscaya dalam sistem kepemimpinan demokrasi kapitalisme yang lahir dari sekularisme dan liberalisme. Sistem kepemimpinan yang asasnya rusak seperti ini sama sekali tidak bisa diharapkan akan membawa kebaikan. Prinsip “kedaulatan ada di tangan rakyat” dan “suara rakyat suara Tuhan” justru menjadi sumber kerusakan terbesar. Ini karena dari sanalah berawal mula dibuatnya berbagai aturan hidup yang bersandar pada akal, bukan pada sumber aturan yang bersifat kekal. Bahkan, kepemimpinan pun menjadi sangat terbuka bagi siapa saja, asalkan mereka bisa membelinya dengan kekuatan uang. Lalu saat menjabat adalah saat terbaik untuk mengembalikan modal.
Walhasil, masyarakat yang dipimpin oleh kepemimpinan seperti ini tidak akan pernah merasakan kebahagiaan atau meraih kesejahteraan sebagaimana yang diimpikan. Kerusakan demi kerusakan akan terus diwariskan. Kadarnya pun akan makin berat, hingga ancaman kehancuran bangsa dan negara tidak mungkin dicegah, kecuali ada keinginan yang besar bagi para pemilik kekuasaan yang hakiki, yakni rakyat, untuk melakukan perubahan revolusioner dan mendasar, tetapi tanpa kekerasan.
Artinya, jika kita ingin keluar dari kehidupan serba sempit seperti sekarang, jalan satu-satunya adalah siap menegakkan syariat Islam secara kafah. Pada saat yang sama, kita harus mencampakkan syariat-syariat lainnya yang lahir dari akal manusia, sebagaimana niscaya dalam sistem demokrasi yang diterapkan sekarang.
Harapan Baru Hanya pada Kepemimpinan Islam
Sistem kepemimpinan Islam sejatinya menjadi satu-satunya harapan karena sistem ini lahir dari asas akidah yang lurus dan sesuai fitrah penciptaan. Aturan Islam sendiri diturunkan oleh Sang Maha Pencipta sebagai panduan dan solusi kehidupan. Jika ditegakkan dengan sempurna, dipastikan akan membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi manusia, bahkan bagi seluruh alam semesta.
Kepemimpinan dalam Islam dipahami sebagai amanah besar. Tidak hanya berdimensi duniawi, tetapi juga ukhrawi. Seorang pemimpin harus siap dimintai pertanggungjawaban atas setiap orang yang ia pimpin. Alhasil, dalam Islam, mengukur keberhasilan pengurusan, yakni kesejahteraan rakyat, bukanlah dilihat dari angka rata-rata, melainkan wajib dipastikan per kepala. Nabi SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam pandangan Islam, sistem kepemimpinan dan sosok pemimpin keduanya tidak bisa dipisahkan. Berharap muncul pemimpin ideal dalam sistem kepemimpinan sekarang (demokrasi) bagaikan pungguk merindukan bulan. Siapa pun pemimpinnya, jika tanpa menerapkan sistem Khilafah penerapan syariah kaffah, jangan harap kehidupan ideal akan terwujud.
Inilah PR kita bersama, yakni menyadarkan umat tentang jati dirinya. Bahwa umat Islam adalah entitas yang mulia dan kemuliaannya hanya ada pada Islam dan sistem kepemimpinannya, yakni Khilafah penegak syariah kaffah. Dakwah tentang hal ini harus menjadi agenda bersama hingga umat menjadikan masalah ini sebagai masalah hidup dan matinya dan mereka siap berkorban mewujudkan perubahan hakiki mewujudkan sistem kepemimpinan Islam. []
Eva Fauziyah
Aktivis Muslimah