TintaSiyasi.id -- Meski tinggal di negeri yang mayoritas penduduknya muslim, namun penentuan standar halal dan haram pada suatu produk ternyata masih menimbulkan polemik. Sebagaimana yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini, dimana beredar video produk dengan nama tuak, beer, wine, tuyul yang mendapat sertifikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Tentu ini berbeda pandangan dengan standar fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang berpendapat bahwa pemberian sertifikasi seperti itu tentu tidak dibenarkan. (Detik Hikmah, Selasa 01 Oktober 2024).
Setelah ditelusuri, informasi dalam video yang viral ini benar adanya. Jadi sejumlah produk tersebut memperoleh sertifikat halal dari jalur Self Declare. Dimana jalur ini tanpa audit Lembaga Pemeriksa Halal dan penetapan halal dari Komisi Fatwa MUI. Padahal dalam Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Halal, ada empat kriteria penggunaan nama dan bahan. Di antaranya tidak boleh menggunakan nama dan atau simbol makanan dan atau minuman yang mengarah pada kekufuran dan kebatilan.
Inilah sertifikasi halal dalam naungan sistem sekuler kapitalistik. Standar self declare dianggap benar dan aman karena zat yang terkandung dalam sebuah produk merupakan zat yang halal, tanpa memikirkan lebih lanjut lagi tentang pemberian nama yang identik dengan produk haram dalam pandangan aqidah Islam.
Dan terbukti sertifikasi halal seperti ini membuat masyarakat rancu dan bingung, hingga bisa membahayakan seorang muslim, karena erat kaitannya dengan prinsip hidup (aqidah). Mirisnya sertifikasi semacam ini terus dilanggengkan karena diduga kuat menjadi sarana ladang bisnis, karena sebagaimana umum diketahui bahwa sertifikasi halal mempunyai batas waktu tertentu.
Sertifikasi Halal Dalam Islam
Sebagai sistem hidup yang sempurna, syariah Islam juga mengatur terkait standar halal dan haram suatu produk. Dalam masalah ini maka negara sebagai pelindung umat mempunyai tanggungjawab besar untuk memberi jaminan produk halal yang akan dikonsumsi masyarakat.
Sehingga dalam kaitannya dengan pemberian sertifikasi, maka negara akan memfasilitasi sertifikasi dengan biaya murah atau bahkan gratis. Karena landasan bernegara dalam Islam adalah aqidah Islam yang sangat mengutamakan keridhaan Allah Ta'ala, maka dalam sistem Islam dipastikan tidak akan ada yang namanya kecurangan dan ketidakjelasan dalam pemberian sertifikasi halal. Sehingga masyarakatpun bisa hidup dan mengkonsumsi suatu produk dengan tenang.
Disisi lain pengawasan produk di tengah-tengah masyarakat juga rutin dilakukan oleh seorang qadhi hisbah yang akan berkeliling mengawasi produksi dan distribusi yang tersebar luas, mulai dari pengawasan di pabrik, gudang pangan, tempat pemotongan hewan, pasar tradisional, hingga produk yang dijual di mal dan supermarket semuanya akan mendapatkan pengawasan yang sangat teliti.
Bagaimana dengan produk yang dikonsumsi oleh non muslim?. Maka syariah Islam akan mengatur bahwa produk haram boleh dikonsumsi dan beredar hanya di tengah komunitas non muslim. Demikianlah bentuk pengaturan Islam terkait sertifikasi halal suatu produk, dan inilah bukti nyata jaminan perlindungan negara pada rakyatnya.
Oleh: Dahlia Kumalasari
Pendidik