Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Waspada Gaya Hidup ala Barat, Segera Awasi Generasi

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:50 WIB Last Updated 2024-10-22T06:50:57Z

TintaSiyasi.id -- Seiring berkembang pesatnya digitalisasi, terdapat kalangan remaja yang tengah mencari jati diri terus menerus terbawa arus gaya hidup yang membius. Seperti fenomena yang melanda remaja saat ini, yaitu dimana remaja akan merasakan stress apabila tidak bisa mengikuti tren, tidak mendapatkan atensi publik, dan pujian atas pencapaiannya. Fenomena ini dinamakan Fear of Missing Out (Fomo). Fomo adalah gejala sosial yang timbul ketika seseorang tidak ingin ketinggalan dan tidak mau sendirian.

Gaya hidup FOMO, YOLO (You Only Life Once) dan FOPO (Fear of Other People’s Opinion) yang menjadi landasan hidup mayoritas remaja masa kini sejatinya memberikan dampak positif bagi dunia kerja dan dampak negatif bagi individu beserta finansial anak muda. Sebagaimana yang dikatakan oleh Public & Government Relation Manager 360Kredi, Habriyanto Rosyidi S, dominasi anak muda yang kini memuncaki populasi membawa dampak positif bagi dunia kerja. Di sisi lain, gaya hidup seperti ini menjadi faktor permasalahan finansial anak muda hari ini jika tidak dapat dikelola dengan baik dan bijak. Ia juga mengatakan, anak muda akan memaksakan sesuatu secara berlebihan tanpa perhitungan matang dan dana yang cukup, sehingga membawa mereka pada ketergantungan terhadap hutang yang tidak produktif.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyumbang utama kredit macet pinjaman online (pinjol) adalah kalangan anak muda, yakni generasi milenial dan gen Z. Pada Juli 2024, tingkat kredit macet lebih dari 90 hari atau tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) di perusahaan pinjol atau peer to peer (P2P) lending mencapai sebesar 2,53 persen. Adapun penyebab utama TWP90 pada Juli 2024 ialah kalangan Gen Z dan Milenial (usia 19 sampai 34 tahun) hingga mencapai 37,17 persen. (kompas.com, 11-10-2024)

Tidak dipungkiri, fenomena yang menimpa generasi muda saat ini disebabkan karena mereka terlalu khawatir akan masa depan. Kekhawatiran ini muncul akibat terasa sulitnya hidup yang mereka jalani saat ini, hingga membuat mereka seolah-olah putus asa dengan kehidupan yang akan datang. Kondisi ini membuat mereka terbawa arus doom spending, yaitu fenomena menghabiskan uang untuk hal yang tidak mereka butuhkan atau bahkan mereka inginkan. Mereka betul-betul mengeluarkan uang hanya untuk menghabiskannya. Hal ini merupakan respon dari keputus asaan mereka akan kehidupan yang tekanannya kian hari kian berat.

Mereka pun menjadi remaja yang pragmatis pada setiap persoalan, terutama dalam manajemen keuangan. Mereka tidak mampu mengontrol keinginan berbelanja. Hal ini dikarenakan asumsi mereka yang berpikir bahwa tindakan menghambur-hamburkan uang untuk membelanjakan semua hal yang diinginkan dapat menghilangkan stres. Mereka tumbuh menjadi remaja yang menganggap keinginan adalah kebutuhan. Sehingga, apabila mereka menghadapi kondisi dimana benar-benar membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan yang sebenarnya, uangnya habis karena telah terpakai untuk memenuhi keinginan yang dikira kebutuhan tadi. Jika dalam mengendalikan keinginan untuk berbelanja saja mereka tidak mampu, bagaimana mereka bisa mengendalikan masa depan?

Apabila para remaja tetap mempertahankan gaya hidup seperti ini, maka tidak menutup kemungkinan mereka akan menjadi objek atau sasaran empuk para pemilik modal atau pengusaha. Para kapital akan menganggap fenomena ini sebagai peluang untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Sehingga mereka terus menerus memproduksi hal-hal yang nihil manfaatnya. Namun, berkat kerja samanya dengan penguasa, mereka dapat dengan mudahnya mengatur algoritma sosial media, sehingga produk yang sejatinya unfaedah menjadi viral, dan terkesan menjadi produk yang wajib dimiliki oleh semua orang, terkhususnya oleh generasi muda.

Para pemilik modal melalui platform media sosial akan mengarahkan setiap orang pada gaya hidup konsumerisme. Sebagaimana fenomena yang baru ramai belakangan ini, yakni “demam” labubu. Sosiolog Universitas Airlangga Nur Syamsiyah ikut merespon terkait fenomena demam labubu (boneka monster) yang berhubungan dengan gaya hidup konsumerisme, yaitu gaya hidup yang mendorong individu untuk mengidentifikasi diri melalui barang yang dibeli. Akhirnya pembelian suatu produk bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan, melainkan untuk mendapatkan simbol status dan tren yang memberikan nilai tambah bagi pemiliknya. (jawapos.com, 13-10-2024)

Sejatinya, fenomena ini akan menjauhkan remaja dari konsep hidup yang benar. Bahwa hidup adalah untuk ibadah, dan semua harta yang dimiliki sejatinya akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat, sehingga tidak boleh dikelola sesuka hati. Selain itu, mereka juga akan mudah terjerumus kepada pelanggaran syariat. Misalnya, dengan mengikuti salah satu gaya hidup ala Barat seperti doom spending. Gaya hidup ini mengharuskan mereka untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya bagaimanapun caranya, dan tidak lagi mempersoalkan standar halal haram.

Seharusnya, generasi Muslim diisi oleh para pemuda yang berfikir bahwa mereka tidak hanya bertanggung jawab atas masa depan dirinya dan keluarganya, melainkan juga bertanggung jawab atas masa depan seluruh umat manusia. Namun generasi muslim seperti ini mustahil muncul dalam sistem kapitalis sekularis. Sistem yang sudah jelas berpihak pada para kapital, dan tidak membiarkan celah sedikitpun bagi aturan agama (syariat) untuk mengusiknya.

Sistem kapitalis sekular meniscayakan adanya penyatuan antara penguasa dengan pengusaha dalam meraih visi berupa kekuasaan dan keuntungan sebesar-besarnya. Bahkan tidak peduli jikalau harus mengorbankan generasi muda. Tidak heran jika sistem pendidikan yang dibangun dalam sistem ini pun ditujukan untuk membentuk peserta didik yang siap menjadi tenaga kerja demi memenuhi kepentingan bisnis pengusaha. Serta, untuk membantu pertumbuhan ekonomi negara.

Fenomena yang menimpa remaja saat ini tidak akan terjadi dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah). Pemimpin (khalifah) akan memenuhi seluruh kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar umat. Lapangan kerja dalam sistem Islam dipastikan terbuka lebar bagi para lelaki selaku pihak yang bertanggung jawab untuk mencari nafkah. Sehingga tidak ada lagi rakyat yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan mengakses pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lain sebagainya.

Melalui sistem khilafah, berbagai fasilitas dan layanan publik yang berkualitas dibangun untuk memudahkan urusan masyarakatnya. Sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah bahkan gratis. Tidak terkecuali pembangunan fasilitas pendidikan yang berkualitas, disertai sistem pendidikan Islam yang bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam dalam diri seluruh peserta didik. Sehingga peserta didik memiliki pola pikir Islami dan pola sikap yang Islami pula.

Alhasil, melalui sistem pendidikan Islam, terbentuklah generasi yang kukuh keimanannya, dan paham konsep hidup yang sebenarnya. Dengan begitu terwujudlah generasi yang memiliki keyakinan bahwa semua yang dimilikinya akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Sehingga mereka hanya menggunakan semua harta, dan ilmu pengetahuannya di jalan yang Allah ridhoi. Sungguh, dalam sistem khilafah akan ditemukan generasi yang tanpa ragu ikut berkontribusi dalam mewujudkan kemaslahatan umat demi meraih ridha Allah Ta'ala. Wallahu a'lam. []


Oleh: Sabila Herianti
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update