Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Wasiat Yahya Sinwar

Rabu, 30 Oktober 2024 | 07:04 WIB Last Updated 2024-10-30T00:08:50Z
Tintasiyasi.ID -- Luangkan waktu sejenak untuk membaca dan merenungkan wasiat Yahya Sinwar.

Akulah Yahya, putra pengungsi yang mengubah pengasingan menjadi tanah air sementara, dan mengubah mimpi menjadi pertempuran abadi. Saat aku menulis kata-kata ini, aku mengingat setiap momen yang telah berlalu dalam hidupku: dari masa kecilku di lorong-lorong, hingga tahun-tahun panjang di penjara, hingga setiap tetes darah yang tertumpah di tanah ini.

Saya lahir di kamp pengungsian Khan Yunis pada tahun 1962, saat Palestina masih menjadi kenangan yang tercabik-cabik dan peta-peta yang terlupakan di atas meja para politisi. Saya adalah orang yang menjalani hidup di antara api dan abu, dan menyadari sejak awal bahwa hidup di bawah pendudukan tidak berarti apa-apa selain penjara permanen.

Saya tahu sejak usia muda bahwa hidup di tanah ini tidak biasa, dan bahwa siapa pun yang lahir di sini harus membawa senjata yang tidak mudah patah di dalam hatinya, dan menyadari bahwa jalan menuju kebebasan itu panjang.

Kehendakku  di mulai di sini, dari anak yang melemparkan batu pertama ke penjajah, dan yang belajar bahwa batu adalah kata pertama yang kita ucapkan di hadapan dunia yang berdiri diam di depan luka kita. 

Aku belajar di jalanan Gaza bahwa seseorang tidak diukur dari tahun-tahun hidupnya, tetapi dari apa yang ia berikan kepada negaranya. Dan itulah hidupku: penjara dan pertempuran, rasa sakit dan harapan.

Saya masuk penjara pertama kali pada tahun 1988, dan saya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Tetapi saya tidak tahu jalan menuju rasa takut. Di sel-sel gelap itu, saya melihat di setiap dinding jendela ke cakrawala yang jauh, dan di setiap jeruji ada cahaya yang menerangi jalan menuju kebebasan.

Di penjara, saya belajar bahwa kesabaran bukan hanya sebuah kebajikan, tetapi senjata. Senjata  yang pahit, seperti seseorang yang meminum air laut setetes demi setetes. Saran saya kepada Anda: Jangan takut pada penjara, karena penjara hanyalah bagian dari jalan panjang kita menuju kebebasan.

Penjara mengajarkan kepadaku, bahwa kebebasan bukan sekadar hak yang dicuri, tetapi sebuah ide yang lahir dari rasa sakit dan disempurnakan oleh kesabaran. Ketika saya dibebaskan dalam kesepakatan “Wafa al-Ahrar” pada tahun 2011, keyakinan saya meningkat bahwa apa yang kita lakukan bukan sekadar perjuangan sesaat, tetapi lebih merupakan takdir  yang kita bawa hingga tetes darah terakhir.

Saran saya adalah Anda tetap berkomitmen pada senjata, pada martabat yang tidak terkompromikan, dan pada mimpi yang tidak pernah mati. Musuh ingin kita menghentikan perlawanan, mengubah tujuan kita menjadi negosiasi tanpa akhir.

Namun saya katakan kepada Anda: Jangan bernegosiasi dengan apa yang menjadi hak Anda. Mereka lebih takut pada keteguhan Anda daripada senjata Anda. Perlawanan bukan hanya senjata yang kita bawa, melainkan cinta kita untuk Palestina dalam setiap tarikan napas,  dan keinginan kita untuk tetap bertahan, serta terlepas dari pengepungan dan agresi.

Saran saya, tetaplah setia pada darah para syuhada. Kepada mereka yang telah pergi dan meninggalkan kita di jalan yang penuh duri ini. Merekalah yang telah membuka jalan kebebasan bagi kita dengan darah mereka, jadi jangan sia-siakan pengorbanan itu dalam perhitungan politik dan permainan diplomasi.

Kami di sini untuk melengkapi apa yang telah dimulai oleh yang pertama, dan kami tidak akan menyimpang dari jalan ini, berapa pun biayanya. Gaza akan tetap menjadi ibu kota keteguhan, dan jantung Palestina yang tidak pernah berhenti berdetak, bahkan jika bumi menjadi terlalu sempit bagi kami.

Ketika saya mengambil alih kepemimpinan Hamas di Gaza pada tahun 2017, itu bukan sekadar pengalihan kekuasaan, melainkan kelanjutan dari perlawanan yang dimulai dengan batu dan dilanjutkan dengan senjata. 

Setiap hari, saya merasakan penderitaan rakyat yang terkepung, dan saya tahu bahwa setiap langkah yang kita ambil menuju kebebasan harus dibayar dengan harga mahal. 

Namun, saya katakan: harga penyerahan diri jauh lebih besar. Oleh karena itu, peganglah tanah ini seperti akar yang memegang tanah, karena tidak ada angin yang dapat mencabut akar orang-orang yang telah memutuskan untuk hidup...

Dalam pertempuran  Al-Aqsa, saya bukanlah pemimpin suatu kelompok atau gerakan, melainkan suara setiap warga Palestina yang memimpikan pembebasan. Saya dituntun oleh keyakinan bahwa perlawanan bukanlah sekadar pilihan, melainkan kewajiban.

Saya ingin pertempuran ini menjadi lembaran baru dalam buku perjuangan Palestina, di mana semua faksi akan bersatu dan semua orang akan berdiri dalam satu barisan melawan musuh yang tidak pernah membedakan antara anak-anak dan orang tua, atau antara batu dan pohon.

Perjuangan Al-Aqsa adalah pertempuran jiwa sebelum raga, dan keinginan sebelum senjata. Apa yang saya tinggalkan bukanlah warisan pribadi, tetapi warisan kolektif, untuk setiap warga Palestina yang memimpikan kebebasan, untuk setiap ibu yang menggendong putra di pundaknya sebagai seorang  syuhada, untuk setiap ayah yang menangis tersedu-sedu atas putrinya yang terbunuh oleh peluru berbahaya.

Surat wasiat terakhir saya adalah agar Anda selalu ingat bahwa perlawanan tidak sia-sia, dan itu bukan sekadar peluru yang ditembakkan, melainkan kehidupan yang kita jalani dengan terhormat dan bermartabat.   Semoga Allah merahmati para syuhada.[] M. Siregar


Sumber terjemahan berita:  The Muslim World Telegram, https://t.me/tmw_media, Selasa (22/10/2024)




Opini

×
Berita Terbaru Update