TintaSiyasi.id -- Merespons wacana pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang akan mengalihkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) menjadi bantuan langsung tunai (BLT), Pengamat Ekonomi dari Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menilai kebijakan ini menempatkan kelas menengah dalam posisi paling rentan.
"Kebijakan ini juga menempatkan kelas menengah dalam posisi paling rentan," ungkapnya kepada Tintasiyasi.id, Rabu, 30 Oktober 2024.
Ia mengatakan, kelas menengah biasanya memiliki kendaraan pribadi dan bergantung pada BBM untuk aktivitas sehari-hari, sehingga kenaikan harga BBM secara langsung menambah beban pengeluaran mereka. Karena tidak termasuk kategori penerima BLT, kelas menengah harus menanggung dampak kenaikan harga tanpa bantuan, sehingga akan menurunkan kesejahteraan.
"Berpotensi mengurangi alokasi pengeluaran untuk kebutuhan penting lain seperti pendidikan, kesehatan, dan konsumsi harian, yang akhirnya menurunkan kesejahteraan mereka," imbuhnya.
Sekalipun rencana Prabowo mengalihkan subsidi BBM menjadi BLT bertujuan agar bantuan lebih tepat sasaran, namun menurutnya, kebijakan ini memiliki beberapa tantangan. Secara teori pengalihan subsidi ke BLT lebih efisien karena menargetkan masyarakat miskin yang lebih membutuhkan, dibandingkan dengan subsidi BBM yang banyak dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Namun realitasnya, kata Muhammad Ishak, masalah pendataan yang kurang akurat sering kali menyebabkan bantuan tidak tepat sasaran.
"Contohnya, hanya 33 persen warga miskin di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mendapatkan bansos pada 2022. Artinya, kenaikan harga BBM akan menambah beban masyarakat miskin yang justru tidak mendapat bantuan," ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, BLT bersifat sementara, sedangkan dampak kenaikan harga BBM bisa bertahan lama. "Misalnya, hanya diberikan selama tiga bulan. Sedangkan, dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi bisa bertahan lebih lama dan terus menekan daya beli masyarakat," ungkapnya.
Perspektif Islam
Sementara itu, ia menerangkan, dalam perspektif Islam, minyak dan gas sebagai sumber daya alam merupakan milik publik yang harus dikelola oleh negara demi kemaslahatan masyarakat. Menurutnya, negara tidak diperbolehkan menyerahkan pengelolaan sumber daya ini kepada swasta karena hal itu melanggar prinsip penguasaan atas harta milik publik. Ia menambahkan, negara seharusnya melakukan pengelolaan BBM dengan fokus pada kesejahteraan rakyat.
"Pengelolaan BBM seharusnya berfokus pada kesejahteraan rakyat. Distribusi BBM kepada publik bisa dilakukan melalui penjualan dengan harga pasar, harga produksi, atau bahkan distribusi gratis, sesuai kebutuhan masyarakat. Kebijakan pengelolaan BBM termasuk penetapan harga yang merugikan publik dan menyebabkan kesulitan bagi masyarakat miskin dianggap sebagai bentuk kezaliman," tutupnya.[] Saptaningtyas