Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tunjangan Perumahan Anggota DPR Melangit di Tengah Himpitan Ekonomi Rakyat: Inikah Kesejahteraan yang Terwakilkan dalam Sistem Demokrasi Kapitalisme?

Jumat, 18 Oktober 2024 | 08:14 WIB Last Updated 2024-10-18T01:15:00Z

TintaSiyasi.id -- Anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) Periode 2024-2029 akan mendapatkan tunjangan rumah dinas. Ini dikarenakan anggota DPR RI tak lagi mendapatkan Rumah Jabatan Anggota (RJA) yang kebijakannya termaktub dalam surat Nomor B/733/RT.01/09/2024 yang diterbitkan Sekretariat Jenderal DPR. Surat itu tercatat diterbitkan pada 25 September 2024. (Kompas.com, 12-10-2024)

Berdasarkan penelusuran dari sejumlah media, Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR Indra Iskandar menyampaikan bahwa per bulan anggota DPR akan menerima tambahan tunjangan untuk perumahan sekitar Rp50-70 juta.

Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan kalkulasi dengan perkiraan tunjangan Rp 50 juta sampai dengan Rp 70 juta untuk 580 anggota DPR selama 60 bulan atau 5 tahun. Hasilnya, total anggaran yang harus dikeluarkan adalah sebesar Rp1,74 triliun sampai Rp2,43 triliun.

Tunjangan ini tentu menambah daftar panjang deretan fasilitas yang diperoleh para tuan dan puan wakil rakyat. Berbanding terbalik dengan nasib rakyat yang makin lama disuguhi dengan kenaikan pajak dan berbagai macam tarif. Terlebih lagi, dari sumber media dikatakan anggaran tunjangan rumah dinas ini akan diambil dari pajak masyarakat.

Wakil rakyat adalah wujud penyambung lidah rakyat, pengoptimalan peran mereka tentu membawa harapan bagi rakyat. Namun, realitasnya yang nampak di hadapan rakyat banyak kebijakan yang menjauh dari kepentingan rakyat, kesempitan dan beban berat hidup kian mendekat. Deretan tunjangan untuk wakil rakyat terpilih yang harus dipenuhi oleh rakyat, sebandingkah dengan deretan kenaikan pajak, barang dan jasa yang kian membebani rakyat? Suara rakyat yang ingin hidup sejahtera dengan diturunkannya berbagai tarif dan harga hanya menggema sekejap kemudian hilang ditelan kepentingan pribadi dan golongan.

Mengapa Anggota DPR periode 2024-2029 mendapat tunjangan rumah dinas?
Apa dampak tunjangan rumah dinas anggota DPR periode 2024-2029 terhadap rakyat?
Bagaimana strategi Islam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat dan pejabat?


Menyoal Tunjangan Rumah Dinas Anggota DPR

Di berbagai media, rakyat dengan mudah dapat mencari besaran gaji wakil rakyat berikut deretan tunjangan dan fasilitas yang akan dikantongi selama 5 tahun ke depan. Namun, penulis pesimis tidak mungkin ajang perebutan kursi lima tahunan hanya demi gaji dan tunjangan semata. Tentu ini akan menodai citra mulia wakil rakyat sebagai penyampai aspirasi rakyat bukan?

Sebagai rakyat kecil yang hanya mampu melihat sepak terjang wakil rakyat periode sebelumnya, tentunya mereka yang memilih wakil rakyat untuk periode selanjutnya memiliki harapan wakilnya dapat diandalkan menyingkirkan berbagai undang-undang yang akan menghasilkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat.

Namun, belum juga rakyat mengenyam kinerja wakil rakyat terbaru sudah disodori kebijakan baru mengenai pengalihan rumah jabatan anggota (RJA) DPR RI periode 2024-2029 ke tunjangan rumah dinas anggota DPR yang katanya akan menelan anggaran kisaran Rp1,74 triliun sampai Rp2,43 triliun.

Menyoal kebijakan pemberian tunjungan perumahan Anggota DPR Periode 2024-2029, penulis menghimpun pendapat Indonesia Corruption Watch (Kompas, 12-10-2024), di antaranya:

Pertama, kebijakan tersebut merupakan bentuk pemborosan uang negara.
Kedua, kebijakan tersebut diduga hanya untuk memperkaya Anggota DPR.
Ketiga, kebijakan tersebut tanpa memikirkan kepentingan publik.
Keempat, kebijakan tersebut dinilai akan mempersulit pengawasan, sehingga potensi penyalahgunaan.

Pendapat di atas melihat fakta pembandingan antara pola belanja untuk pengelolaan Rumah Jabatan Anggota (RJA) pada periode 2019-2024 dengan penghitungan tunjangan perumahan bagi anggota DPR selama satu periode.

Hasil penelusuran ICW, terdapat 27 paket pengadaan dengan total kontrak senilai Rp374,53 miliar. Dua paket di antaranya dilakukan pada tahun 2024 untuk pemeliharaan mekanikal elektrikal dan plumbing dengan total kontrak sebesar Rp35,8 miliar. Hal ini menunjukan bahwa telah ada perencanaan yang dirancang agar anggota DPR dapat menempati RJA.

Sedangkan, besaran tunjangan yang nantinya akan didapatkan oleh 580 anggota DPR selama 2024-2029. Kalkulasi dengan perkiraan tunjangan Rp 50 juta sampai dengan Rp 70 juta untuk 580 anggota DPR selama 60 bulan atau 5 tahun. Total anggaran yang harus dikeluarkan adalah sebesar Rp1,74 triliun sampai Rp2,43 triliun.

Oleh karena itu, apabila kebijakan ini diteruskan, ada pemborosan anggaran sekitar Rp1,36 triliun hingga Rp2,06 triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan. Sehingga, kebijakan tersebut dianggap tidak memiliki perencanaan diduga hanya untuk memperkaya Anggota DPR, dan tentu saja tanpa memikirkan kepentingan publik.

Di sisi lain, tunjangan tersebut akan ditransferkan secara langsung ke rekening pribadi masing-masing anggota dewan. Sehingga dinilai mempersulit akses pengawasan dan potensi penyalahgunaan.

Munculnya berbagai keluhan mengenai rumah jabatan anggota lah yang mendasari terbitnya kebijakan tunjangan rumah dinas. Karenanya, mungkin para tuan dan puan wakil rakyat perlu menengok penampakan rumah jabatan anggota DPR RI, kemudian mengalihkan pandangan pada rumah-rumah rakyat kecil, bahkan mungkin rumah kumuh atau rakyat yang belum memiliki rumah dan masih harus ngontrak. Dengan begitu mungkin akan memunculkan kepekaan terhadap kondisi masyarakat saat ini, apalagi posisinya sebagai wakil rakyat.


Dampak Tunjangan Rumah Dinas Anggota DPR Periode 2024-2029 terhadap Rakyat

Adanya kalkulasi pemborosan anggaran sekitar Rp1,36 triliun hingga Rp2,06 triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan, tentu berdampak bagi rakyat. Apalagi rencana ini muncul di tengah tingginya angka warga yang belum memiliki tempat tinggal layak. Setidaknya, pemborosan anggaran tersebut jika dikonversi bisa membangun 14 ribu unit rumah layak bagi warga level menengah ke bawah. Sehingga layak memunculkan pertanyaan, inikah wujud sejahtera yang terwakilkan?

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 terdapat 36,85 persen atau sepertiga rumah tangga di Indonesia menempati rumah tak layak huni. Sebanyak 34,53 persen rumah tangga yang tinggal di rumah tak layak huni berada di perkotaan, 40,09 persen berada di pedesaan. Dan masih terdapat 15,21 persen rumah tangga yang belum memiliki rumah. Jakarta menjadi provinsi terendah status kepemilikan bangunan tempat tinggal milik sendiri dengan presentase sebesar 56,57 persen. Sedangkan, Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna menyebut terdapat 12,7 juta keluarga yang belum memiliki rumah. Dia pun memprediksi angka itu akan terus bertambah setiap tahunnya. (Suara.com, 16-10-2024)

Terlebih lagi, besarnya pemborosan anggaran belanja negara tentu akan berefek kepada rakyat, baik dengan kemungkinan adanya penyunatan alokasi anggaran belanja lainnya, ataupun beban pajak dan tarif yang bakalan meningkat di sepanjang periode pemerintahan. Maka nampak, ini bukanlah gambaran sejahtera bagi rakyat dalam awal lima tahun ke depan, tetapi yang pasti apabila kebijakan ini berlanjut akan menambah sejahtera para tuan dan puan wakil rakyat.


Strategi Islam Mewujudkan Kesejahteraan bagi Rakyat dan Pejabat

Apakah menjadi wakil rakyat dilarang hidup sejahtera? Tentu tidak, seluruh manusia baik itu rakyat maupun pejabat layak hidup sejahtera. Maka ini harus diwujudkan oleh sistem yang mengatur kehidupan manusia. 

Namun realitasnya, sistem demokrasi kapitalisme yang telah menaungi negeri ini nampak pilih kasih dalam mewujudkannya. Berbagai kebijakan yang lahir dari sistem ini malah makin menjauhkan rakyat kecil dari kata sejahtera, tetapi dapat dilihat wakil rakyat dengan berbagai tunjangan dan fasilitas seharusnya layak dikatakan sejahtera.

Bicara strategi mensejahterakan rakyat dan pejabat dalam Islam, maka tentu harus disesuaikan dengan syariat Islam dalam pengaturan tata kelolanya, baik dalam hal ekonominya, politiknya, maupun aspek keseluruhan lainnya.

Syariat Islam jelas dalam aturan kepemilikan harta serta pemanfaatannya. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nidhan al-Iqtishadi fi al-Islam, dalam hal kepemilikan harta dalam Islam dibagi menjadi tiga, yaitu:

Pertama, kepemilikan individu (private property). Setiap orang bisa memiliki kekayaan dengan sebab-sebab tertentu yang diperbolehkan oleh syarak.
Kedua, kepemilikan umum (collective property) untuk seluruh umat. Dalam hadis riwayat Abu Dawud dan Ahmad, Rasulullah SAW bersabda bahwa kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.
Ketiga, kepemilikan negara (state property).

Konsep ketiga jenis harta kepemilikan di atas menjadikan haram adanya pencampuran pemanfaatannya. Sebagaimana harta milik umum haram diprivatisasi oleh korporat atau individu. Harta milik umum wajib dikekola oleh negara dan hasilnya dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat termasuk pejabat, dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar termasuk kebutuhan tempat tinggal. Syariat Islam tidak membedakan dalam pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya, baik Muslim maupun non-Muslim, kaya miskin, rakyat atau pejabat, semua memperoleh hak yang sama.

Maka di sinilah peran penting wakil rakyat, yang di dalam Islam dikenal dengan Majelis Umat. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Ajhizah ad-Daulah al-Khilafah menjelaskan, Majelis Umat adalah majelis yang beranggotakan orang-orang yang mewakili kaum muslim dalam memberikan pendapat sebagai tempat rujukan bagi khalifah untuk meminta masukan nasehat mereka dalam berbagai urusan. Mereka mewakili umat dalam melakukan muhasabah (mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintahan (al-hukkam). Keberadaan majelis ini diambil dari aktivitas Rasulullah SAW yang sering meminta pendapat atau bermusyawarah dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum mereka. 

Konsep wakil rakyat dalam sistem Islam, yakni Majelis Umat jelas berbeda jauh dengan wakil rakyat dalam sistem demokrasi kapitalisme, yakni DPR. Majelis Umat mewakili rakyat atas dasar iman dan kesadaran atas tanggung jawabnya yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT kelak di Yaumil Akhir. Kontrol dan koreksinya atas kebijakan pemerintah didasarkan pada syariat Islam. Terlebih tidak mungkin membuat atau mengesahkan hukum sendiri yang rentan berdasarkan kepentingan golongan semata. []

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst


Oleh: Dewi Srimurtiningsih
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo

Opini

×
Berita Terbaru Update