Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tradisi Wakil Rakyat Gadai SK, Potret Buruknya Demokrasi

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 19:24 WIB Last Updated 2024-10-05T12:24:34Z

Tintasiyasi.id.com -- Puluhan anggota DPRD Subang periode 2024-2029 yang baru saja dilantik pada Rabu (4/9/2024), menggadaikan SK pengangkatan ke bank sebagai agunan atau jaminan untuk meminjam uang. Pinjaman diketahui mulai dari Rp 500 juta hingga Rp 1 Miliar (republik.co.id, 6-9-2024).

Pengamat politik Universitas Brawijaya (UB) Prof Anang Sujoko menilai langkah anggota legislatif menggadaikan SK adalah fenomena yang cukup memprihatinkan. Beban berat Anggota DPRD yang terpilih muncul akibat mahalnya biaya proses demokrasi (detik.com, 7-9-2024).

Kebiasaan wakil rakyat gadai SK pasca dilantik merupakan potret buruk politik demokrasi. Tradisi ini berkaitan erat dengan mahalnya biaya politik untuk mendapatkan kursi kekuasaan. Biaya kampanye, upah tim sukses, mahar untuk mendapatkan kursi pada salah satu partai politik dan belum lagi praktek kotor money politic semua butuh modal yang tidak sedikit. 

Sayangnya kebanyakan rakyat hanya mencukupkan diri sebagai konstituen yang siap menerima "serangan fajar". Bukan penggerak perubahan. 

Maraknya gaya hidup hedon dalam sistem sekuler membentuk gaya hidup konsumtif termasuk para wakil rakyat. Banyak fakta yang menggambarkan betapa konsumtifnya pejabat. Mereka hidup foya-foya, pejabat ataupun keluarganya tidak segan untuk pamer harta.

Besarnya gaji yang mereka dapat tidak mencukupi gaya hidup hedon hingga merebaknya budaya korupsi dan penyalahgunaan jabatan. Hidup dalam tatanan lingkungan sosial yang menempatkan kemewahan sebagai standar kebahagiaan membuat para pejabat terlena akan dunia dan lupa tanggung jawab yang dipikulnya.

Wakil rakyat yang seharusnya bekerja demi kepentingan rakyat namun faktanya bekerja demi oligarki. Ini karena saat mereka hendak maju sebagai kontestan politik, ada pemodal awal yang menopang mereka. Sehingga saat kursi kekuasaan mereka raih makasih bagi-bagi jatah kekuasaan pun terjadi.

Rakyat seharusnya bisa menilai bahwa kebijakan yang di buat penguasa lebih menguntungkan para korporat. Seperti UU Ciptakerja, UU Penanaman modal, kebijakan reklamasi, serta akuisisi lahan.

Selama ini dalam sistem demokrasi suara rakyat hanya digunakan dalam pemilu. Saat pemilu usai suara rakyat diganti dengan suara kepentingan korporat.

Dalam Islam terdapat Majelis Umat yang mewadahi aspirasi rakyat. Majelis Umat hadir atas landasan amar makruf nahi munkar dalam rangka melakukan koreksi pada penguasa. Tidak seperti DPR yang berwenang membuat undang-undang.

Majelis Umat bekerja atas landasan keimanan dan melaksanakan tugas untuk menjalankan perintah Allah Taala.  Sehingga menutup celah praktik bisnis dan kepentingan segelintir pihak.

Umar bin khaththab menjadi salah satu teladan pemimpin dalam Islam. Seorang pemimpin yang menggenggam amanah kekuasaan dengan rasa takut pada Tuhannya. Kedudukan sebagai pemimpin membuatnya takut menggunakan harta negara untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz seorang pemimpin yang sederhana dan dermawan. Pada masa pemerintahan beliau, masyarakat hidup sangat sejahtera hingga ketika para amil zakat kesulitan mencari orang-orang penerima zakat.

Sosok-sosok pemimpin yang demikian tidak akan pernah lahir dari sistem sekuler kapitalis seperti saat ini. Paradigma sekuler kapitalisme membentuk seseorang haus kursi jabatan, bangga dengan jabatannya dan memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri. Hasilnya adalah para pejabat yang berkhianat pada rakyat dan berkerja untuk korporat.

Sudah saatnya, Islam hadir dangan sistem kepemimpinannya yang khas membenahi tatanan politik yang rusak.[]

Oleh: Puput Weni
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update