TintaSiyasi.id-- Ungkapan "Siapa yang meninggalkan perkataan yang sia-sia maka dia akan diberi hikmah" menunjukkan bahwa menjaga lisan dan menghindari perkataan yang tidak bermanfaat adalah salah satu kunci untuk mendapatkan hikmah, yaitu kebijaksanaan dan pemahaman mendalam yang berasal dari Allah SWT.
Berikut adalah penjelasan terkait makna dari ungkapan ini:
1. Meninggalkan Perkataan yang Sia-sia
Perkataan yang sia-sia adalah segala bentuk pembicaraan yang tidak membawa manfaat, baik di dunia maupun di akhirat. Perkataan seperti ini termasuk obrolan yang tidak penting, gosip, celaan, perdebatan yang tidak perlu, atau hal-hal yang mengarah kepada dosa dan maksiat. Islam sangat menekankan pentingnya menjaga lisan dan berhati-hati dalam berbicara, karena lisan adalah salah satu sumber yang bisa membawa seseorang kepada kebaikan atau keburukan.
Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan meninggalkan perkataan sia-sia, seseorang melatih dirinya untuk lebih fokus pada hal-hal yang bermanfaat, baik berupa ucapan yang berisi kebaikan, nasihat, atau diam dalam perenungan. Diam dalam hal ini bukanlah bentuk ketidakpedulian, melainkan bentuk kontrol diri dan upaya untuk menghindari keburukan.
2. Diberi Hikmah
Hikmah dalam Islam merujuk kepada kebijaksanaan dan pemahaman mendalam yang tidak hanya berasal dari akal pikiran, tetapi juga dari petunjuk Allah SWT. Orang yang diberi hikmah memiliki kemampuan untuk memahami sesuatu dengan benar, membedakan yang baik dari yang buruk, dan mengambil keputusan yang tepat dalam berbagai situasi. Hikmah juga melibatkan kemampuan untuk mengamalkan ilmu dengan benar.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:
"Dia (Allah) memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh, dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal" (QS. Al-Baqarah: 269).
Meninggalkan perkataan yang sia-sia adalah salah satu bentuk disiplin spiritual yang membuka hati seseorang untuk mendapatkan hikmah dari Allah. Dengan tidak mengisi waktu dengan perkataan yang tidak berguna, hati dan pikiran menjadi lebih jernih untuk menerima ilmu dan petunjuk dari Allah. Mereka yang menjaga lisannya biasanya memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan, karena mereka lebih fokus pada hal-hal yang berarti dan membawa manfaat bagi dirinya dan orang lain.
3. Menjaga Lisan dan Hikmah dalam Islam
Dalam ajaran Islam, menjaga lisan adalah bagian penting dari menjaga keimanan dan kedekatan dengan Allah SWT. Orang yang bisa menjaga lisannya biasanya lebih berhati-hati dalam setiap perbuatan dan ucapannya. Mereka menyadari bahwa setiap kata yang diucapkan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat, sebagaimana firman Allah SWT:
"Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir" (QS. Qaf: 18).
Orang yang menjaga lisan juga akan mendapatkan ketenangan batin, karena mereka terhindar dari permasalahan yang sering timbul akibat perkataan yang tidak dijaga. Dari ketenangan ini, mereka mendapatkan pencerahan dan kebijaksanaan dalam menghadapi hidup. Oleh karena itu, meninggalkan perkataan sia-sia bukan hanya tentang menjaga lisan, tetapi juga membuka jalan menuju pencerahan spiritual dan kedekatan dengan Allah.
Kesimpulan:
Orang yang mampu meninggalkan perkataan sia-sia akan diberi hikmah oleh Allah SWT. Dengan menjaga lisan, hati seseorang menjadi lebih bersih dan fokus, sehingga mampu menerima petunjuk dari Allah dalam bentuk hikmah atau kebijaksanaan.
Hikmah ini membuat seseorang memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang kehidupan, mampu membuat keputusan yang bijak, dan mengamalkan ilmunya dengan benar. Perkataan yang baik dan bermanfaat adalah cerminan dari keimanan dan kedewasaan spiritual seseorang.
Siapa yang meninggalkan kecintaan terhadap dunia maka dia akan diberi kecintaan terhadap akherat.
Ungkapan "Siapa yang meninggalkan kecintaan terhadap dunia maka dia akan diberi kecintaan terhadap akhirat" mengandung makna mendalam tentang prioritas hidup seorang mukmin. Islam mengajarkan bahwa dunia adalah tempat sementara yang tidak sebanding dengan akhirat yang kekal. Mereka yang mampu melepaskan kecintaan terhadap dunia akan dianugerahi kecintaan terhadap akhirat, yaitu fokus dan orientasi yang tertuju pada kehidupan setelah mati. Berikut adalah penjelasan terkait ungkapan ini:
1. Meninggalkan Kecintaan Terhadap Dunia
Kecintaan terhadap dunia dalam konteks ini bukan berarti meninggalkan kehidupan dunia sepenuhnya atau tidak memanfaatkan karunia Allah. Yang dimaksud adalah menghilangkan keterikatan hati terhadap kesenangan duniawi, seperti harta, kekuasaan, ketenaran, atau kenikmatan fisik yang sering kali membuat seseorang lalai dari Allah dan melupakan akhirat.
Meninggalkan kecintaan terhadap dunia adalah sikap zuhud, yaitu tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama hidup. Orang yang zuhud memahami bahwa apa pun yang ada di dunia ini hanya bersifat sementara dan tidak dapat memberikan kebahagiaan abadi. Rasulullah SAW bersabda:
"Jadilah engkau di dunia ini seolah-olah orang asing atau seorang musafir." (HR. Bukhari).
Zuhud bukan berarti mengharamkan diri dari kenikmatan duniawi, tetapi menjadikan dunia sebagai sarana untuk mencapai ridha Allah dan berfokus pada kehidupan akhirat yang kekal.
2. Diberi Kecintaan Terhadap Akhirat
Ketika seseorang meninggalkan kecintaan terhadap dunia, Allah SWT akan menggantikan dengan kecintaan terhadap akhirat, yaitu orientasi hidup yang lebih tertuju pada kehidupan abadi setelah kematian. Orang yang mencintai akhirat akan selalu berusaha untuk mempersiapkan diri dengan amal kebaikan, ibadah, dan menjauhi hal-hal yang merugikan di akhirat.
Allah SWT berfirman:
"Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia serta sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Hud: 15-16).
Orang yang mencintai akhirat akan lebih berhati-hati dalam setiap tindakan dan ucapannya. Mereka akan mengutamakan hal-hal yang mendatangkan pahala dan menghindari yang mendatangkan dosa, karena mereka sadar bahwa kehidupan dunia ini hanyalah persinggahan sementara sebelum menuju kehidupan yang sesungguhnya, yaitu di akhirat.
3. Hubungan Antara Zuhud dan Kecintaan Akhirat
Zuhud terhadap dunia adalah jalan untuk memperoleh cinta kepada akhirat. Ketika hati tidak lagi terikat pada kenikmatan dunia yang sementara, maka kecintaan terhadap akhirat akan tumbuh. Hal ini karena hati yang bersih dari keterikatan dunia lebih mudah menerima hakikat kebenaran, dan orang yang demikian akan selalu memikirkan bekal amal yang harus ia bawa ketika berjumpa dengan Allah SWT.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin menjelaskan bahwa zuhud terhadap dunia adalah dasar dari setiap maqam (tingkatan spiritual) dalam Islam. Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia secara fisik, tetapi meninggalkan keterikatan hati pada dunia dan segala isinya, serta mengutamakan kehidupan akhirat yang kekal.
4. Manfaat Mencintai Akhirat
Orang yang mencintai akhirat akan mendapatkan ketenangan batin, karena mereka tidak sibuk mengejar dunia yang fana dan sering kali menimbulkan kecemasan. Mereka memiliki fokus hidup yang jelas, yaitu berusaha mencari ridha Allah dan menambah bekal untuk kehidupan setelah mati. Orang yang mencintai akhirat juga akan lebih mudah untuk bersikap sabar dan ikhlas dalam menghadapi ujian duniawi, karena mereka memahami bahwa segala sesuatu di dunia hanyalah ujian sementara menuju kehidupan yang abadi.
Rasulullah SAW bersabda:
"Barang siapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuan, Allah akan menjadikan kekayaannya ada di dalam hatinya, mengumpulkan urusannya, dan dunia akan datang kepadanya dengan hina. Dan barang siapa yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, Allah akan menjadikan kefakiran ada di depan matanya, mencerai-beraikan urusannya, dan dunia tidak datang kepadanya kecuali sekadar yang telah ditetapkan untuknya." (HR. Tirmidzi).
Kesimpulan:
Orang yang meninggalkan kecintaan terhadap dunia akan diberi oleh Allah kecintaan terhadap akhirat. Ini berarti bahwa mereka yang mengalihkan perhatian dan fokus hidupnya dari hal-hal duniawi yang fana kepada hal-hal yang lebih kekal, yaitu akhirat, akan diberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang nilai-nilai kehidupan akhirat. Mereka akan lebih fokus pada amal kebaikan, berusaha untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan setelah mati, dan menjadikan ridha Allah sebagai tujuan utama dalam hidupnya. Kecintaan terhadap akhirat adalah tanda dari keimanan yang kuat dan kebijaksanaan dalam menjalani kehidupan dunia sebagai persiapan menuju kehidupan abadi.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo