TintaSiyasi.id -- Ridha adalah salah satu konsep spiritual yang sangat penting dalam Islam, dan benar, ridha sering disebut sebagai buah dari makrifat (pengetahuan mendalam atau pengenalan akan Allah). Ridha adalah keadaan hati di mana seseorang menerima ketentuan Allah dengan lapang dada, tanpa rasa protes, gelisah, atau kekecewaan. Ini merupakan puncak dari penyerahan diri seorang hamba kepada kehendak dan takdir Allah.
Berikut adalah penjelasan lebih mendalam tentang kaitan antara ridha dan makrifat:
1. Pengertian Ridha
Ridha secara harfiah berarti "rela" atau "menerima dengan ikhlas". Dalam konteks spiritual, ridha mengacu pada sikap hati yang menerima segala ketentuan Allah, baik itu berupa ujian, musibah, atau nikmat, tanpa ada perasaan berat hati atau keluhan. Seseorang yang memiliki ridha mampu melihat segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya sebagai bagian dari rencana Allah yang penuh hikmah.
Dalam Al-Qur'an, Allah menyebutkan sifat ridha ini sebagai salah satu karakteristik orang yang mencapai kedudukan yang mulia:
“Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.” (QS. Al-Bayyinah: 8)
2. Makrifat: Pengenalan Akan Allah
Makrifat adalah pengetahuan yang mendalam tentang Allah dan pengenalan yang benar akan sifat-sifat-Nya. Orang yang mencapai makrifat memahami bahwa Allah Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, dan Maha Adil dalam setiap keputusan-Nya. Makrifat membawa seseorang pada kesadaran bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup, baik yang menyenangkan maupun yang sulit, adalah ketetapan dari Allah yang pasti memiliki hikmah.
Dengan makrifat yang mendalam, seseorang tidak lagi meragukan kebaikan dan kebijaksanaan Allah dalam menetapkan takdir. Mereka mengetahui bahwa apa pun yang Allah tetapkan pasti untuk kebaikan mereka, meskipun dalam pandangan manusia kadang-kadang terlihat sebaliknya.
3. Kaitan Ridha dengan Makrifat
Ridha lahir dari makrifat karena hanya dengan pengetahuan dan pengenalan mendalam akan Allah seseorang bisa menerima segala ketentuan-Nya dengan sepenuh hati. Ketika seseorang memahami bahwa Allah adalah Maha Pengasih dan Maha Bijaksana, maka tidak ada lagi ruang untuk keraguan atau ketidakpuasan atas keputusan Allah. Ini membuat hati tenang dan selalu berada dalam keadaan ridha.
Orang yang telah mencapai makrifat melihat kehidupan ini dengan pandangan yang berbeda. Mereka tidak melihat musibah sebagai penderitaan, tetapi sebagai bentuk kasih sayang Allah yang tersembunyi. Mereka juga tidak melihat kenikmatan duniawi sebagai tujuan utama, melainkan sebagai sarana untuk semakin mendekat kepada Allah.
4. Tingkatan Ridha
Ridha bukanlah sikap yang mudah dicapai. Ia merupakan tingkatan spiritual yang tinggi dalam perjalanan seorang Muslim. Orang yang benar-benar ridha tidak hanya menerima ketentuan Allah dengan pasrah, tetapi juga melakukannya dengan penuh cinta dan syukur.
Ada dua tingkatan ridha:
• Ridha dengan ketentuan Allah (ridha bil-qadha): Seseorang menerima segala yang telah Allah tetapkan, baik itu berupa nikmat atau musibah.
• Ridha kepada Allah (ridha 'anillah): Seseorang menerima Allah sebagai Tuhannya, dengan segala ketetapan-Nya, penuh dengan cinta dan keyakinan bahwa segala keputusan Allah adalah yang terbaik.
5. Ridha dan Kehidupan Sehari-hari
Ridha memiliki dampak yang sangat besar dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang memiliki sifat ridha akan lebih mudah menghadapi kesulitan hidup dengan hati yang tenang. Mereka tidak mudah kecewa atau marah ketika apa yang mereka harapkan tidak terwujud, karena mereka percaya bahwa apa yang Allah pilihkan untuk mereka adalah yang terbaik.
Dalam hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sungguh menakjubkan keadaan orang yang beriman, karena semua urusannya adalah baik. Jika dia mendapatkan kenikmatan, dia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika dia ditimpa kesulitan, dia bersabar, dan itu pun baik baginya." (HR. Muslim)
6. Ridha sebagai Puncak Kesempurnaan Iman
Ridha dianggap sebagai puncak dari perjalanan spiritual seorang Muslim. Orang yang memiliki ridha memiliki iman yang kuat dan keyakinan penuh terhadap Allah. Mereka tidak terganggu oleh pergolakan dunia, karena hati mereka telah terpaut pada kehendak Allah. Inilah buah dari makrifat, yakni pengetahuan akan Allah yang melahirkan penerimaan yang ikhlas terhadap semua ketentuan-Nya.
Kesimpulan
Ridha adalah buah dari makrifat karena melalui pengenalan mendalam kepada Allah, seorang Muslim dapat mencapai tingkat penerimaan total terhadap semua ketentuan dan keputusan Allah.
Orang yang ridha hidup dalam ketenangan dan kebahagiaan sejati, karena mereka percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah bagian dari kasih sayang Allah dan hikmah-Nya yang tak terhingga. Ini adalah salah satu tujuan tertinggi dalam kehidupan spiritual seorang Muslim, di mana ridha kepada Allah menghasilkan ketenangan jiwa dan kebahagiaan yang hakiki.
Keburukan, Kerusakan dan Pembangkangan Nafsu.
Nafsu dalam pandangan Islam adalah kecenderungan atau dorongan dalam diri manusia yang bisa mempengaruhi perilaku dan keputusan. Nafsu bisa menjadi dorongan positif yang mengarah pada kebaikan jika dikendalikan dengan baik, tetapi juga bisa menjadi sumber keburukan, kerusakan, dan pembangkangan jika tidak dikendalikan. Dalam Al-Qur’an, nafsu sering dibicarakan dalam konteks dorongan untuk melakukan keburukan yang harus dikendalikan oleh manusia agar tidak menyimpang dari jalan Allah.
Berikut penjelasan mengenai keburukan, kerusakan, dan pembangkangan nafsu:
1. Keburukan Nafsu
Nafsu yang tidak terkendali dapat menjerumuskan manusia ke dalam keburukan. Dalam Al-Qur'an, Allah menyebutkan bahwa nafsu cenderung mendorong manusia kepada keburukan (ammarah bis-su'). Ketika manusia hanya mengikuti keinginan-keinginan rendahnya tanpa kendali, ia akan jatuh dalam berbagai perbuatan yang bertentangan dengan kebaikan dan kebajikan.
Dalil:
"Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku." (QS. Yusuf: 53)
Beberapa contoh keburukan yang timbul dari nafsu yang tidak terkendali antara lain:
• Keserakahan: Nafsu yang tidak puas akan harta dan kenikmatan duniawi.
• Syahwat berlebihan: Nafsu seksual yang mendorong pada perilaku amoral seperti perzinaan.
• Amarah: Nafsu yang memicu kemarahan dan balas dendam secara berlebihan.
• Kesombongan: Nafsu yang membuat seseorang merasa lebih tinggi atau lebih baik dari orang lain.
2. Kerusakan yang Ditimbulkan Nafsu
Ketika nafsu dibiarkan merajalela, ia dapat menyebabkan kerusakan baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Nafsu yang tidak terkendali akan merusak akhlak, merusak hubungan sosial, bahkan merusak lingkungan dan tatanan kehidupan secara keseluruhan.
Kerusakan yang timbul dari nafsu, antara lain:
• Kerusakan pada diri sendiri: Nafsu yang tidak terkontrol dapat merusak jiwa dan raga seseorang. Misalnya, nafsu yang mendorong seseorang untuk kecanduan terhadap hal-hal negatif, seperti narkoba, minuman keras, atau perilaku yang merusak kesehatan.
• Kerusakan pada keluarga dan masyarakat: Nafsu yang tidak dikendalikan juga dapat merusak hubungan sosial. Seseorang yang dikuasai oleh nafsu amarah atau nafsu syahwat bisa merusak keluarganya melalui perceraian, perselingkuhan, atau kekerasan dalam rumah tangga.
• Kerusakan moral dan etika: Nafsu sering kali mendorong seseorang untuk melakukan kecurangan, penipuan, dan tindakan-tindakan tidak etis demi kepentingan pribadi, seperti korupsi dan pencurian.
Dalil:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ar-Rum: 41)
3. Pembangkangan Nafsu terhadap Allah
Pembangkangan nafsu terjadi ketika manusia lebih memilih mengikuti keinginannya daripada mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Nafsu yang tidak dikendalikan akan menolak petunjuk Ilahi dan cenderung membangkang terhadap perintah-perintah Allah. Ini bisa berupa penolakan untuk beribadah, kesombongan terhadap aturan agama, atau keengganan untuk taat kepada syariat.
Pembangkangan ini terjadi ketika seseorang lebih mengutamakan hasrat duniawi daripada ketaatan kepada Allah. Misalnya, seseorang lebih mementingkan kesenangan pribadi atau keuntungan materi daripada menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Contoh pembangkangan nafsu:
• Nafsu Iblis: Kisah Iblis yang membangkang kepada perintah Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam karena kesombongan dan merasa lebih baik dari Adam adalah contoh nyata pembangkangan nafsu. Iblis mengikuti nafsunya yang penuh kesombongan dan tidak mau tunduk kepada perintah Allah.
• Firaun: Firaun yang mengklaim dirinya sebagai Tuhan adalah contoh manusia yang dibutakan oleh nafsu kekuasaan dan kesombongan, sehingga ia menolak kebenaran yang disampaikan Nabi Musa.
Dalil: "Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya?" (QS. Al-Jatsiyah: 23)
4. Jenis-jenis Nafsu dalam Islam
Dalam tasawuf dan kajian keagamaan, nafsu dibagi menjadi beberapa tingkatan. Nafsu bisa menjadi sumber kebaikan jika diolah dan ditundukkan dengan baik, namun juga bisa menjadi sumber keburukan jika tidak dikendalikan. Berikut tiga tingkatan nafsu yang utama:
• Nafsu Ammarah (nafsu yang memerintahkan pada keburukan): Ini adalah nafsu yang cenderung membawa manusia kepada kejahatan, mengarahkan pada tindakan buruk, dosa, dan maksiat. Jika tidak dikendalikan, seseorang akan tenggelam dalam keburukan.
• Nafsu Lawwamah (nafsu yang selalu mencela): Ini adalah nafsu yang sadar akan kesalahan dan dosa, tetapi belum sepenuhnya mampu mengendalikannya. Nafsu ini sering kali menyesali perbuatannya, tetapi masih berjuang melawan dorongan keburukan.
• Nafsu Muthmainnah (nafsu yang tenang): Ini adalah nafsu yang sudah mencapai ketenangan karena berhasil mengendalikan dorongan-dorongan rendah dan tunduk sepenuhnya pada kehendak Allah. Nafsu ini membawa manusia kepada kedamaian dan ketakwaan.
Dalil tentang Nafsu Muthmainnah:
"Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (QS. Al-Fajr: 27-30)
5. Cara Mengendalikan Nafsu
Mengendalikan nafsu adalah bagian penting dalam kehidupan spiritual seorang Muslim. Berikut beberapa cara untuk mengendalikan nafsu agar tidak menjerumuskan dalam keburukan:
• Taqwa kepada Allah: Selalu merasa diawasi oleh Allah akan membantu seseorang mengendalikan hawa nafsunya.
• Ibadah: Shalat, puasa, dan ibadah lainnya membantu menahan keinginan-keinginan duniawi dan meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab spiritual.
• Dzikir dan Istighfar: Mengingat Allah dan memohon ampun atas kesalahan membantu membersihkan hati dan menundukkan nafsu.
• Menjaga Lingkungan: Menjauhi lingkungan dan situasi yang dapat memicu dorongan nafsu buruk, seperti pergaulan yang tidak baik atau godaan materialisme.
Kesimpulan
Nafsu adalah bagian dari diri manusia yang harus dikendalikan, karena nafsu yang tidak terkendali dapat menimbulkan keburukan, kerusakan, dan pembangkangan terhadap perintah Allah. Namun, dengan pengendalian dan latihan spiritual yang tepat, nafsu dapat diarahkan untuk menjadi sumber kebaikan dan kedamaian. Pengendalian nafsu adalah salah satu kunci untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat serta meraih ridha Allah.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo