TintaSiyasi.id -- Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI menggelar Sidang Paripurna dengan agenda tunggal Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI masa jabatan 2024-2029 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka di Gedung MPR/DPR RI, Jakarta. Acara ini berlangsung khidmat pada Minggu (20/10), dimulai sekitar pukul 10.00 WIB.
Setelah disumpah dibawah Al-Qur'an, presiden terpilih menyampaikan pidatonya, “Saya Prabowo Subianto dan saudara Gibran Rakabuming Raka telah mengucapkan sumpah untuk mempertahankan Undang-Undang Dasar kita, untuk menjalankan semua Undang-Undang dan Peraturan yang berlaku, untuk berbakti kepada negara dan bangsa. Sumpah tersebut akan kami jalankan dengan sebaik-baiknya.”
Pada pidatonya, Presiden Prabowo juga menitikberatkan pemerintahannya ke depan untuk fokus pada swasembada pangan dan energi. Diyakini bahwa paling lambat 4 sampai dengan 5 tahun ke depan Indonesia akan swasembada pangan.
“Bahkan kita siap menjadi lumbung pangan dunia,” kata Presiden Prabowo.
“Kami siap melanjutkan estafet kepemimpinan. Kita siap bekerja keras menuju Indonesia Emas menjadi bangsa yang kuat, merdeka, berdaulat, adil dan makmur,” tambah Presiden Prabowo.(kemhan.co.id, 21/10/2024)
Tentu saja, presiden terpilih ini diharapkan membawa angin perubahan harapan baru kearah yang lebih baik. Anggapan ini wajar, karena mereka hanya melihat keberhasilan berada di dalam individu pemimpin. Bangsa ini tidak boleh lupa, sejak negeri ini merdeka sampai hari ini telah banyak dipimpin oleh individu dari latar belakang yang berbeda, mulai dari seorang politikus, militer, ilmuwan wanita hingga pribadi yang diklaim pro rakyat silih berganti telah memimpin negeri ini. Namun tetap saja membuat bangsa ini dicengkram penjajahan ekonomi oleh para kapital.
Mengapa? Karena dalam sistem demokrasi, suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi, vox dei). Hal tersebut menciptakan sebuah keyakinan bahwa rakyat memiliki kedaulatan dalam menentukan jalannya sistem politik dan kepemimpinan suatu negara. Sistem demokrasi lahir dari sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Alhasil, konsekuensi dari hal tersebut adalah meniscayakan kebebasan pada manusia untuk berbuat termasuk dalam praktik politik yang mereka lakukan.
Sistem demokrasi tidak hanya menciptakan praktik politik yang memperlihatkan kebohongan secara nyata, tapi juga menciptakan industri politik yang hanya memanfaatkan suara rakyat demi meneguhkan posisi dirinya dan menguntungkan kaum elite, sementara kehidupan rakyat tetap saja sengsara.
Pajak semakin tinggi, biaya sekolah dan rumah sakit semakin mahal, pekerjaan semakin sulit, PHK ada di mana-mana, politik dinasti semakin menjadi-jadi, politik balas budi sudah biasa terjadi, rakyat mati kelaparan. Ditambah naiknya angka kenakalan remaja yang semakin di luar nalar adalah sekelumit bukti eksistensi penjajahan ekonomi.
Umat harus menyadari keberhasilan sebuah kepemimpinan tidak hanya terletak pada individu, melainkan juga sistem yang digunakan. Sistem kepemimpinan hari ini adalah sistem politik demokrasi kapitalisme di mana sejatinya sistem ini batil karena bukan sistem yang berasal dari Allah SWT.
Prinsip “Power is money and money is power” lahir dari kapitalisme. Ini menegaskan bahwa sistem politik bertemu dalam industri politik demokrasi kapitalisme. Maka tak heran, jika kerapkali rakyat menyaksikan bagaimana para petinggi negeri ini melakukan manuver apapun demi meraih kursi kekuasaan, demi mengejar keuntungan pribadi dan kelompoknya. Praktik politik saling sikut, saling jegal, saling gigit, persahabatan dikorbankan, pertemanan diingkari, berjanji lalu diingkari menjadi perkara biasa. Bahkan ada yang rela menghabisi partainya sendiri atau mengambil alih partai kelompok lain, semua demi keuntungan politik. Omong kosong idealisme berpolitik. Praktik inilah yang terjadi secara vulgar di sekitar kita.
Sistem ini juga telah menyingkirkan nilai moralitas dan agama dalam kehidupan.
Oleh karena itu, praktik politik dengan menghalalkan cara demi meraih kepentingan merupakan konsekuensi logisnya. Sistem sekuler juga menciptakan sistem politik liberal yang tidak mengenal hukum halal-haram dalam bertindak sehingga menciptakan persaingan politik ala hukum rimba.
Para petinggi parpol seringkali melakukan lobi-lobi melalui safari politik atau semacamnya. Tujuannya, tidak lain untuk membentuk koalisi yang mempertemukan kepentingan mereka. Ini karena membentuk koalisi ibarat satu strategi di atas papan catur perpolitikan. Oleh karena itu, pembentukan koalisi akan didasarkan atas pertimbangan mengenai seberapa besar peluang kemenangan dapat diraih.
Dalam koalisi inilah, kita akan menyaksikan pragmatisme politik parpol. Meski mereka pada awalnya berbeda ideologi atau pandangan politik, koalisi kepentingan detik itulah yang akan menyatukan mereka. Dalam demokrasi tidak ada lawan atau kawan sejati yang ada hanya kepentingan abadi. Selain itu, fokus pemilihan figur calon yang akan mereka usung dalam pentas politik, semata pada perhitungan peluang kemenangan, bukan pada kapabilitas apalagi integritas calon kepala negara.
Kondisi ini akan meniscayakan praktik politik uang. Hitung-hitungan kekuataan parpol bukan semata pada dukungan massa, tetapi juga pada kekuatan modal yang mereka persiapkan. Seluruh drama politik ini adalah strategi untuk meraih kekuasaan bersama. Dalam proses meraih kekuasaan itu, cara-cara kotor, curang, dan penuh kebohongan pun mereka pertontonkan tanpa ragu dan malu. Begitu kekuasaan mereka peroleh, maka bisa gampang ditebak bahwa episode selanjutnya adalah bagi-bagi kue kekuasaan.
Jika kita berharap mereka mampu menghadirkan pemimpin yang dapat mendengar suara rakyat, itu jelas omong kosong. Dalam praktiknya, pemimpin-pemimpin yang lahir dalam pesta demokrasi tidak lain hanya bekerja untuk melayani kepentingan para oligarki, bukan untuk kemaslahatan rakyat. Masih mau berharap? []
Nabila Zidane
Jurnalis