Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Pajak Bocor karena Pengusaha, Nasib Rakyat Menanggungnya

Rabu, 30 Oktober 2024 | 22:14 WIB Last Updated 2024-10-30T15:14:12Z

TintaSiyasi.id -- Dalam sistem negara ini, pendapatan yang utama dan terbesar berasal dari sektor perpajakan. Seperti yang kita tahu, hampir semua sektor yang ada dalam masyarakat dikenakan beban pajak. Target peneriman pajak negara di tahun 2024 sebesar 60% dari total pendapatan yang diterima oleh negara. Menteri Keuangan Negara Sri Mulyani Indrawati melaporkan bahwa terhitung hingga bulan Juli 2024 total penerimaan pajak negara sebesar Rp 1.545,4 triliun setara dengan 55,1% dari target.  
 
Akan tetapi, kabar yang mengejutkan diungkap oleh Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo berdasarkan hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bahwa di sektor kelapa sawit terdapat potensi hilangnya penerimaan negara sebesar Rp 300 triliun. Sungguh sangat disayangkan, hal ini menunjukkan bahwa negara lemah dalam mengawasi operasional pengelolaan sumber daya negara yang sangat kaya ini, padahal kepemimpinan baru menargetkan pembelanjaan negara di tahun 2025 naik dari tahun – tahun sebelumnya, apalagi dengan program baru seperti makan siang gratis, akankah menambah hutang lagi untuk menambalnya? 
 
Digadang bahwa sektor lain akan menjadi sumber pemasukan negara. Dilihat dari beberapa tahun sebelumnya, dilansir dari databoks.katadata.co.id, Kementerian Pertanian memaparkan bahwa di tahun 2023 luas areal perkebunan sawit nasional sudah mencapai 16,8 juta hectare (ha), naik sebesar 6 juta ha (56,5%) dibanding 8 tahun sebelumnya, tahun 2014. Pemerintah semakin membuka keran peluang besar pada pengusaha untuk terus membuka lahan strategis dengan mengorbankan kawasan lingkungan hijau atau hutan dialihkan menjadi proyek hilirisasi kelapa sawit, terutama program Jokowi berkaitan biodiesel dengan bahan baku kelapa sawit. Namun pada akhirnya, banyak pengusaha nakal yang mengambil kesempatan untuk ikut membuka lahan sawit tapi tidak didaftarkan secara resmi sebagai aktivitas perkebunan. Mahkamah Agung sudah memberikan peringatan pada para pengusaha perkebunan yang dikenai wajib pajak yang ternyata sudah menunggak selama 10 – 15 tahun dengan beberapa pelanggaran yang mereka lakukan berkaitan dengan denda administrasi pelanggaran pemenuhan kewajiban plasma dan sawit dalam kawasan hutan, serta bocornya ekstensifikasi dan intensifikasi pajak sektor perkebunan kelapa sawit ini. Namun, para pengusaha kelas kakap ini pun mangkir dari peringatan Mahkamah Agung dan tidak bersegera untuk membayar kewajibannya. 


Bualan Manis Semata

Jika kita lihat komitmen pemerintah akan mengejar dan menagih para pengusaha untuk membayarkan pajaknya, itu hanyalah pemanis saja. Bagaimana bisa? Iya, di sisi lain mereka masih menjalin hubungan mesra dengan dalih menggenjot perekonomian Indonesia dan meningkatkan produktivitas di sektor pertanian, perkebunan, peternakan, dengan memberikan privilege kepada para pengusaha keringanan dalam pembayaran pajak. Diberlakukannya tax allowance dan tax holiday, memberikan kesempatan seluas luasnya bagi para investor untuk menanamkan modalnya di sektor sehingga produktivitas sektor perkebunan meningkat, karena dengan adanya insentif ini, suatu badan perusahaan tersebut akan dibebaskan dalam pembayaran pajak badan yang dibebankan dan tidak tanggung – tanggung, fasilitas tersebut diberikan hingga kurun waktu 10 tahun, tentu waktu yang lama dan sangat menguntungkan bagi para pengusaha.      

Di sisi lain masyarakat kecil trus digempur habis - habisan dengan adanya kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di tahun 2025 menjadi 12%. Tentu ini akan sangat berdampak ke daya beli masyarakat, dimana harga barang – barang akan naik karena bertambahnya beban PPN ini. Lalu, apa guna slogan “Orang Bijak Taat Pajak” jika para mafia dalam topeng pengusaha bebas begitu saja. Pemerintah pun beralasan dengan naiknya PPN itu akan berkontribusi besar pada pendapatan negara. Sangat disayangkan, seharusnya, Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di Indonesia yang melimpah inilah yang bisa memberikan pemasukan besar untuk negara. Sehingga tidak perlu lagi mengais rupiah pada rakyatnya, justru rakyatlah yang seharusnya menikmati hasil kekayaan alam tersebut dengan mendapatkan berbagai macam fasilitas publik gratis seperti pendidikan, kesehatan, dan layanan lainnya.  


Sistem Ekonomi Islam Mensejahterakan

Suatu negara yang memiliki sistem ekonomi Islam tentu tidak akan menjadikan pajak sebagai sumber pendapatannya. Pajak hanya akan dipungut ketika kondisi keuangan suatu negara dalam kondisi darurat dan sangat diperlukan, tetapi pajak tersebut hanya akan ditujukan pada orang – orang agniya’ saja yang memang mampu dari segi finansialnya, sifatnya pun temporer hanya ketika dalam kondisi dibutuhkan saja. 

Selain itu, dengan sistem keuangan yang dikelola oleh baitul mal, sumber pendapatan negara sangat beragam dan besar, mulai dari pengelolaan kekayaaan alam yang menjadi kepemilikan umum, fa’i, kharaj, ghanimah, jizyah, dan bagian dari pengumpulan zakat. Negara tidak memberatkan di satu sumber pendapatan saja. 

Rasulullah SAW bersabda, “Tidak boleh mencelakakan orang lain dan tidak boleh mencelakakan diri sendiri.” (HR Ibnu Majah dan Ahmad). Dari hadis yang disampaikan oleh Rasulullah ini Allah mewajibkan negara dan umat Islam untuk menghilangkan berbagai bahaya pada umat Islam. Berbeda dengan sistem kapitalis sekuler sekarang ini, negara abai dan terus mengeluarkan berbagai kebijakan dzalim yang menunjukkan abainya seorang pemimpin yang seharusnya kewajiban mereka adalah meriayah masyarakat yang dipimpinnya. Oleh karena itu, akan sangat indah sekali jika kehidupan ini diatur oleh sistem Islam, yang akan membawa rahmat bagi seluruh alam. Islam rahmatan lil ‘alamin. []


Oleh: Palupi Arliesca Nuraisya
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update