Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Meneroka Pilgub Jatim 2024 (12): Ancaman Pengangguran, Solusi Tak Boleh Serampangan

Minggu, 20 Oktober 2024 | 22:46 WIB Last Updated 2024-10-20T15:47:01Z

TintaSiyasi.id—Siapa pun yang akan menjadi penguasa di negeri ini, termasuk kepala daerah, akan berhadapan dengan problem yang sistemis. Termasuk kesejahteraan dan pengangguran. Hal ini sudah menjadi masalah turunan yang mengurai tak bisa serampangan. Terlebih, penyelesaian bukan semata ujung dan parsial, tapi dilihat juga pangkal sistemnya. Seperti juga yang muncul dalam debat Pilgub Jatim 2024. Lulusan SMK di Jawa Timur menyumbang angka tingkat pengangguran terbuka paling tinggi dibandingkan lulusan lainnya. Isu aktual ini menjadi salah satu pertanyaan yang diberikan panelis saat sesi debat segmen ketiga ketika para calon wakil gubernur menjawab pertanyaan.

Boleh jadi, problem ini karena ketidakcocokan dunia pendidikan dan industri.  Begitu juga pergeseran industri padat karya ke padat modal yang semakin memperkecil jumlah serapan tenaga kerja. Bisa juga data pengangguran itu karena tolak ukur pengukurannya berbeda dengan tren pekerjaan yang diminati. Beragam hipotesa itu sebenarnya tidak terlepas dari paradima pengaturan ekonomi secara makro dalam kehidupan.

Problem pengangguran, tak hanya menimpa di level daerah, tapi juga sudah mengglobal di belahan dunia lainnya. Saat rakyat bisa mengakses pekerjaan tidak otomatis sejahtera. Nyatanya jenis pekerjaan yang digeluti sering di bidang informal. Padahal model ini terkategori rentan. Selain memiliki pendapatan yang rendah dan tidak stabil, tidak ada jaminan perlindungan, termasuk kesehatan dasar.

Lantas, jurus apalagi yang bisa mengurai problem pengangguran? Mengingat penguasa itu akan mengurusi jutaan rakyat dan menjamin kesejahteraan hidupnya. Tak boleh penguasa itu diam diri, tapi juga perlu memiliki paradigma yang proposional untuk keluar dari masalah pengangguran.

Miliki Paradigma yang Benar! 

Penguasa tidak boleh lupa, kemunculan pengangguran muncul akibat kesalahan kebijakan yang tidak tepat. Di samping itu, pilihan ideologi dan sistem politik menjadi dasar terkait pengaturan kehidupan dan jalannya pemerintahan. Maka, berikut ini analisis berkaitan pengangguran yang belum tuntas terselesaikan.

Pertama, jika ketidakcocokan dunia pendidikan dan industri, maka evaluasi tidak hanya pada aktualisasi kurikulum pelajaran. Perlu upaya lebih sampai mengetahui akar permasalahan. Jangan sampai, lulusan itu hanya disiapkan sebagai pekerja terampil, tapi melupakan aspek lainnya. Memang kompetensi bagian dari kualitas daya saing dari sumber daya manusia, namun masalahnya sekarang ialah akses yang sempit terhadap lapangan kerja. Pun juga kondisi usaha dan ekonomi yang buruk.

Kedua, situasi ekonomi di daerah, termasuk nasional, turut dipengaruhi oleh iklim ekonomi global. Hal ini akibat pengadopsian sistem ekonomi kapitalisme neoliberal yang menjadikan sebuah negara tidak memiliki kemandirian dan kedaulatan. Serignya, negara dan pejabat daerah sebatas regulator. Bahkan, penguasa tak jarang berkolaborasi dengan kekuatan modal memeras keringat rakyat.

Ketiga, menggantungkan pembangunan dari investasi asing. Basisnya pada utang ribawi dan sering masuk pada sektor non-riil. Belum lagi berbasis pada utang ribawi. Hal yang dibutuhkan itu aktifitas di ekonomi riil yang berdampak pada rakyat secara langsung. Bukan malah menumbuhkan ekonomi non-riil di atas kertas yang menyedot kekayaan rakyat ke tangan konglomerat.

Keempat, pengadopsian ekonomi kapitalisme liberal berdampak pada pengelolaan kepemilikan harta. Sumber daya alam yang sebenarnya milik umum dan wajib dikelola negara, malah diserahkan kepada asing. Negara hanya memungut pajak tanpa mampu menyalurkan kesejahteraan ke semua rakyat. Ciri-ciri keganasan kapitalisme tampak pada penyengsaraan rakyat dengan pajak, kapitalisasi layanan publik, UU yang tidak pro-rakyat, turunnya masyarakat kelas bawah, serta pemilik modal berubah menjadi raksasa oligarki yang membelenggu negara.

Kelima, pengabaian pengurusan rakyat. Penguasa juga tak serius mencari akar masalah, malah sibuk membuat cara baru yang tak ada bedanya. Kalau pengangguran ini meledak, maka chaos di mana-mana. PHK merajalela. Hingga pada titik nadir Indonesia ini hancur dan krisis melanda.

Jadi kepada penguasa dan calong penguasa, berparadigmalah yang benar dalam mengadopsi politik dan ekonomi. Jika masih mempertahankan politik demokrasi liberal yang memudahkan oligarki dan pemilik modal menguasai, maka tunggulah kehancurannya. Begitu pun, ekonomi kapitalisme yang diadopsi negara otomatis akan menjalar ke daerah. Hasilnya bisa dirasakan kini, ekonomi pun tak pasti dan dalam pandangan yang kelam.

Sedikit Berpikir Solutif

Penguasa tak boleh berbuat zalim dan tidak adil kepada rakyat. Tugasnya mengurusi rakyat berarti menjamin sandang, pangan, dan papan. Termasuk ketersediaan jaminan keamanan, kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Tampaknya, penguasa perlu mengkaji kembali solusi Islam yang lebih mendalam.

Negara menjamin kesejahteraan dengan mendorong laki-laki untuk bekerja. Dukungan sistem pendidikan yang memadai dan mumpuni wajib ada, sehingga rakya memiliki kepribadian yang baik sekaligus skill yang mumpuni. Jadi tidak semata-mata memenuhi dunia industri, tapi lebih pada penyiapan SDM yang unggul dan berkompetensi.

Selain itu, negara mencegah penguasaan umum yang hanya diakses segelintir orang (oligarki). Menutup ekonomi non-riil yang kerap spekulasi, tidak berdampak pada rakyat luas, bahkan pasar modal kerap menjadi pemicu krisis yang menghancurkan. Upaya menghadirkan iklim usaha yang kondusif dan lapangan pekerjaan halal jadi prioritas. Sektor selain industri, seperti pertanian, kewirausahaan, perkebunan, UMKM, pertambangan, perlu dikelola dengan sistem aturan Islam. Alhasil, pembangunan tidak hanya terkonsentrasi pada memproduksi tenaga pekerja, tapi pemerataan ekonomi baik di desa ataupun di kota.

Langkah praktis pun bisa ditempuh dengan memberikan modal dan keahlian kepada rakyat yang membutuhkan. Keahlian tidak hanya dari persekolahan, bisa juga dengan pelatihan yang langsung berkolerasi dengan pekerjaan. Khusus yang lemah dan tak mampu bekerja diberi santunan oleh negara untuk mendapat kesejahteraan.

Hal yang lebih paradigmatik ialah penguasa itu kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Islam telah memberikan solusi dari problem yang mendera negeri ini. Buat apa mencari yang lain, kalau di Islam sudah siap sedia. Maka saat ini dibutuhkan pemimpin yang tidak hanya muslim, tapi juga yang mau mengambil Islam secara kaffah untuk kehidupan lebih berkah. Jangan serampangan, biar memimpin rakyat bukan gadungan.[]

Oleh. Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)

Opini

×
Berita Terbaru Update