Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kisruh UKT, Upaya Pisah Ranjang Tanggung Jawab PTN

Senin, 21 Oktober 2024 | 19:51 WIB Last Updated 2024-10-21T12:52:05Z


Tintasiyasi.id.com -- Sampai saat ini, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) masih memiliki daya tarik bagi calon mahasiswa. Di antara banyak pelajar berlomba-lomba meraih prestasi demi masuk PTN favorit. Hal ini karena PTN dianggap memiliki keunggulan dari sisi fasilitas, kualitas, tenaga didik, peluang kerja, kesempatan beasiswa hingga biaya kuliah yang relatif murah.

Sayangnya, biaya kuliah di PTN makin hari makin mahal menyaingi kampus swasta. Tak terkecuali, Institut Teknologi Bandung (ITB) yang tengah kisruh dengan Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Kewajiban Kerja Paruh Waktu

Setelah sebelumya ITB diplesetkan ‘Institut Tapi Berpinjol’, muncul plesetan baru ‘Institut Ternak Budak’ yang tertulis dalam sebuah poster. Poster lain bertuliskan ‘Kerja Rodi di Kampus Reini’ turut membersamai ratusan mahasiswa ITB saat melakukan aksi demonstrasi.

Sebelumnya, viral mahasiswa ITB melakukan aksi menolak pembayaran UKT dengan skema pinjol di awal tahun 2024. Kini, mereka kembali melakukan aksi demo buntut beredarnya tangkapan layar surat elektronik (surel) di media sosial pada Selasa (24-9-2024). 

Surel yang viral tersebut berisi tentang pengumuman dari Direktorat Pendidikan ITB yang mewajibkan mahasiswa penerima beasiswa dalam bentuk pengurangan UKT melakukan kerja paruh waktu untuk ITB.

Dalam suret tersebut tertulis, "Mahasiswa sekalian, ITB membuat kebijakan kepada seluruh mahasiswa ITB yang menerima beasiswa UKT, yaitu beasiswa dalam bentuk pengurangan UKT, diwajibkan melakukan kerja paruh waktu untuk ITB”.

Dikutip dari laman tempo.co, Kepala Biro Komunikasi dan Hubungan Masyarakat ITB, Naomi Haswanto mengklarifikasi, kebijakan tersebut dirancang agar mahasiswa penerima beasiswa UKT bisa berkontribusi secara aktif dalam pengembangan kampus sekaligus mendapat pengalaman kerja yang relevan.

Naomi menjelaskan, ITB sedang mengembangkan Financial Aids System, yaitu sistem bantuan keuangan mahasiswa yang bertujuan menyatukan berbagai sumber daya dan program bantuan keuangan (26-9-2024). 

Aksi unjuk rasa yang dilakukan selama tiga hari berturut-turut membuahkan hasil berupa kontrak politik antara Rektor dan Keluarga Mahasiswa ITB. Ada tiga poin kesepakatan dalam kontrak politik yang ditandatangani di atas materai tersebut.

Ketiga poin tersebut adalah ITB wajib memberi hak keringanan UKT kepada mahasiswa yang membutuhkan, pekerjaan paruh waktu bersifat sukarela dan tidak dikaitkan dengan hak pengurangan UKT, dan ITB akan melibatkan mahasiswa dalam perumusan kebijakan terkait kemahasiswaan. 

Bukan Tanpa Dasar

Bisa dikatakan bahwa upaya Keluarga Mahasiswa (KM) ITB menghasilkan kemenangan. Berdasarkan kontrak politik yang sudah disepakati, kebijakan kerja paruh waktu yang awalnya bersifat wajib berubah menjadi sukarela dan tidak dikaitkan dengan hak pengurangan UKT.

Meski demikian, KM ITB perlu terus mengawal, mengingat, kebijakan tersebut dibuat bukan tanpa dasar. Kebijakan kontroversial tersebut merupakan implementasi dari Peraturan Rektor Institut Teknologi Bandung No. 316/IT1.A/PER/2022.

Pada pasal 5 ayat (4) disebutkan bahwa penerima beasiswa berkewajiban, c. mahasiswa sarjana yang memperoleh beasiswa berkontribusi kepada ITB melalui kerja paruh waktu (bekerja magang) di Unit Kerja yang ada di ITB, penerimaan tempat magang ini disesuaikan dengan keahlian atau kriteria yang ditentukan oleh unit yang bersangkutan

Para mahasiswa dapat berkontribusi sebagai tutor, surveyor, peneliti, administrasi, dan lain-lain dengan waktu kerja maksimal 2 (dua) jam per hari atau total maksimal 10 (sepuluh) jam per pekan. 

Bunyi pasal 5 ayat (4) Peraturan Rektor ITB tersebut jelas mencantumkan frasa ‘penerima beasiswa berkewajiban’. Artinya, jika ingin kebijakan kerja paruh waktu tidak dikaitkan dengan beasiswa, maka Peraturan Rektor ITB harus direvisi terlebih dahulu. Tanpa adanya revisi, kontrak politik tersebut bisa saja berubah sewaktu-waktu. 

Alasan bahwa bekerja paruh waktu menjadikan mahasiswa berkontribusi aktif dalam pengembangan kampus serta memperoleh pengalaman kerja memang terdengar manis. Pengalaman kerja tersebut juga memiliki sisi positif, yaitu menjadikan mahasiswa lebih siap bekerja saat lulus kuliah nanti. 

Akan tetapi, kenapa hanya terfokus pada mahasiswa yang menerima keringanan UKT saja? Kenapa tidak semua mahasiswa diwajibkan kerja paruh waktu agar tidak meninggalkan kesan diskriminatif? 

Sebelum aksi demo, akun instagram resmi @km.itb, sempat memosting press release hasil advokasi antara Kabinet KM ITB dengan Direktur Pendidikan (Dirdik) ITB. Pernyataan tertulis tersebut berisi 12 poin penting, di antaranya menyebutkan sekitar 5.500 mahasiswa ITB mendapat kiriman surel terkait kewajiban kerja paruh waktu.

Saat pengisisan google formulir tertulis bahwa jika menolak, keringanan UKT akan dievaluasi dan/atau dihentikan pada semester berikutnya. Tampaknya, pressure inilah yang memicu keresahan dan kegaduhan.

Poin lainnya, Dikdik ITB mengklaim keringanan UKT yang tertuang dalam Pasal 18 Permendikbud No. 2 Tahun 2024 sebanding dengan beasiswa UKT ITB. Dengan demikian, mahasiswa tetap diharuskan memberikan ‘timbal balik’ berupa kerja paruh waktu. 

Sementara itu, pimpinan ITB menolak memberikan surat perjanjian kerja karena merasa kebijakan ‘timbal balik’ tersebut merupakan ‘moral diri’ mahasiswa yang telah dibantu ITB. 

Lebih jauh lagi, Dirdik ITB meminta agar mahasiswa lebih menghargai bantuan dari ITB. Pihaknya menekankan agar mahasiswa ITB tidak berpikir seperti penerima bantuan langsung tunai (BLT) yang menurutnya memiliki tingkatan lebih rendah.

Selanjutnya, Dirdik ITB menganggap kerja paruh waktu sebagai kontribusi, bukan ekspoitasi, dan tidak akan diberi upah sebagai tanda terima kasih kepada ITB. Alih-alih meredam keresahan mahasiswa, Dirdik ITB justru membuat pernyataan yang membuat mahasiswa makin gerah. 

Bagaimana mungkin Dirdik ITB membahas ‘moral diri’ mahasiswa seraya menuntut ‘timbal balik’ atas keringanan UKT? Sikap ITB sama sekali tak mencerminkan sebagai lembaga pendidikan yang peka dan peduli akan kondisi mahasiswanya. 

Seperti diketahui, keringanan UKT merupakan hak bagi mahasiswa yang mengalami kesulitan ekonomi. Dengan adanya kebijakan kerja paruh waktu, bisa dikatakan mahasiswa membayar full biaya kuliah karena sudah dikonversikan dengan tenaga dan pikiran saat bekerja paruh waktu. 

Peraturan Rektor ITB No. 316/IT1.A/PER/2022 memang menyebutkan waktu kerja paruh waktu maksimal 2 jam/hari. Namun, tak ada jaminan kebijakan tersebut berjalan sesuai ketentuan, mengingat, tak ada surat perjanjian kerja.

Bagaimanapun juga, kerja paruh waktu akan menambah beban di tengah padatnya kuliah dan kegiatan kemahasiswaan lainnya. Ditambah lagi, Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) menuntut pembelajaran lebih banyak di luar kampus. 

Dengan biaya kuliah yang makin tinggi, mahasiswa maupun orang tua pasti menginginkan masa studi cepat selesai. Sama halnya PTN yang tentu menginginkan mahasiswanya berprestasi dan lulus dengan nilai cumlaude hingga mengharumkan nama kampus. 

Namun, bagaimana mahasiswa bisa segera lulus dengan nilai memuaskan jika memiliki tambahan beban kewajiban? Seharusnya, pihak ITB juga memahami bahwa karakter Generasi Z yang sementara berkuliah saat ini, rentan depresi ketika menganggung banyak beban.

'Pisah Ranjang' Tanggung Jawab

Jika mau diurai, kisruh UKT yang terjadi di ITB sebenarnya tidak murni kesalahan pihak kampus. Semua ini berawal dari status PTN Berbadan Hukum (PTN BH) yang dilegitimasi melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Aturan tersebut membagi status PTN menjadi PTN Satuan Kerja (Satker), PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan PTN BH. Sementara itu, ITB merupakan salah satu dari 24 PTN BH di Indonesia. 

PTN BH dianggap sebagai status tertinggi yang mana pemerintah memberikan otonomi penuh dalam mengelola keuangan dan sumber daya termasuk dosen dan tenaga kependidikan (tendik).

Status PTN BH juga dipahami sebagai syarat menjadi perguruan tinggi unggulan berkelas internasional. Meski tak ada pasal yang menyebutkan pengurangan pendanaan bagi PTN BH, tetapi ketentuan yang ada menunjukkan tendensi ke arah sana. 

Syarat mengubah PTN menjadi PTN BH, di antaranya memiliki kelayakan finansial, mampu mengelola aset dengan baik, dan mampu menggalang dana biaya pendidikan selain dari mahasiswa. PTN BH menawarkan fleksibilitas dan otonomi pengelolaan keuangan kampus.

Nantinya, kekayaan PTN BH dipisahkan dari negara hingga memiliki kewenangan membuka usaha dan mengelola dana abadi. Dari sejumlah ketentuan tersebut, pemerintah terindikasi mengurangi subsidi secara perlahan hingga dihapuskan saat kampus benar-benar mandiri.    

Lagi pula, suatu lembaga yang berstatus berbadan hukum berarti memiliki hak dan kewajiban yang berdiri sendiri. Artinya, PTN yang berubah menjadi PTN BH, hak dan kewajiban yang awalnya ditanggung pemerintah beralih kepada PTN BH itu sendiri.

Bisa dikatakan bahwa perubahan status PTN menjadi PTN BH merupakan upaya ‘pisah ranjang’ tanggung jawab pembiayaan maupun pengelolaan keuangan kampus. Hal ini juga berarti bahwa beban PTN akan bertambah karena harus menggalang dana sendiri.

Untuk memenuhi biaya operasional, menjalankan program pengembangan kampus, termasuk program kebijakan MBKM jelas membutuhkan biaya tak sedikit. Jalan paling cepat dan mudah untuk mendapatkan dana adalah dengan menaikkan UKT dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI).

Ketika UKT dan IPI terlambat, pembiayaan kampus juga terhambat. Dari sini mulai terurai alasan kerja sama ITB dengan Danacita. Tawaran pembayaran uang kuliah melalui skema pinjaman online (pinjol) dianggap logis demi menutupi pembiayaan kampus.  

Kebijakan mewajibkan ribuan mahasiswa – penerima keringanan UKT – untuk bekerja paruh waktu, juga akan berpengaruh pada berkurangnya beban biaya pegawai. Menjadi wajar jika mahasiswa ITB menilai kebijakan kerja paruh waktu sebagai bentuk perbudakan moderen. Mereka makin kesulitan mengenal istilah pengabdian karena pemerintah dan ITB sendiri lebih mengutamakan untung-rugi dalam membuat kebijakan. 

Apa yang terjadi di ITB berpotensi terjadi di PTN BH lain, mengingat, akar masalahnya ada di status PTN BH itu sendiri. Artinya, ke depannya makin banyak mahasiswa yang akan kesulitan menempuh pendidikan tinggi.

Situasi dan kondisi yang ada menunjukkan, masyarakat tak bisa lagi mengharapakan pemerintah untuk menyajikan pendidikan tinggi yang murah berkualitas. Karena pemerintahlah yang ternyata menjadi pencetus terjadinya komersialisasi di PTN.

Publik tentu masih ingat bagaimana Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbud Ristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie merespon polemik kenaikan tarif UKT.

Tjitjik menyatakan, pendanaan pendidikan terpusat pada program wajib belajar 12 tahun dan menyatakan pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier. Padahal, era revolusi industri 4.0 menuntut pendidikan perguruan tinggi sebagai kebutuhan primer. 

Khatimah

Sekularisme yang berasaskan manfaat telah nyata membawa keruwetan di segala sendi kehidupan. Kapitalisme sebagai kerabat sekularisme tak puas menjerat ranah ekonomi, tetapi juga pendidikan.

Sekularisme-kapitalisme menjadikan kehidupan manusia kehilangan arah. Kebijakan yang dilahirkan tampak tak memiliki tujuan jelas. Seolah-olah memedulikan pendidikan, tetapi ternyata melakukan komersialisasi. Hal ini karena sekularisme tidak memiliki patokan yang jelas dalam melahirkan sebuah regulasi.

Dari sini tampak bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan perombakan sistem. Tak ada sistem yang lebih terarah jalannya selain sistem Islam. Islam memandang menuntut ilmu sebagai perkara wajib bagi setiap muslim.

Fardu ‘ain hukumnya menunjut ilmu agama seperti akidah dan syariah. Sementara menuntut ilmu bidang kedokteran, fisika, kimia dan lainnya hukumnya fardu kifayah. Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah). 

Dalam hadis lainnya Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa menginginkan dunia, maka hendaklah ia menguasai ilmu. Barangsiapa menginginkan akhirat hendaklah ia menguasai ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan keduanya (dunia dan akhirat) hendaklah ia menguasai ilmu.” (HR Ahmad)

Atas dasar kewajiban menuntut ilmu, Islam juga memandang bahwa negara wajib membiayai dan menfasilitasi warga negaranya dalam menuntut ilmu secara gratis. Lalu, dari mana sumber pembiayaan tersebut? Indonesia memiliki begitu banyak sumber daya alam (SDA) baik di darat, di laut maupun di dalam perut bumi. 

Berbagai SDA tersebut merupakan hak milik umum yang seharusnya dikelola negara dan dikembalikan hasilnya kepada rakyat. Hasil dari pengelolaan SDA ini bisa dimanfaatkan untuk pendidikan maupun kesehatan secara gratis. 

Sangat disayangkan, selama ini para kapitalis menjarah SDA dari segala arah. Masyarakat tak mendapatkan apa-apa kecuali sedikit pajak. Mirisnya lagi, pajak yang dihasilkan dari SDA tersebut turut menyusup ke kantong pejabat.

Selain menawarkan kebijakan pendidikan yang lebih terarah, Islam juga akan melahirkan sosok pejabat yang amanah. Melalui penerapan kurikulum Islam yang menjadikan akidah sebagai dasar pendidikan, syariat Islam akan mampu mengejar ketertinggalan keduniaan tanpa mengesampingkan urusan akherat.  Wallahu'alam bishshawwab.[]

Oleh: Ikhtiyatoh
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update