Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kabinet Merah Putih Tambun: Inikah Bentuk Patronase Demokrasi yang Boros dan Menambah Beban Negara?

Rabu, 23 Oktober 2024 | 12:08 WIB Last Updated 2024-10-23T05:09:43Z
TintaSiyasi.id-- Wacana tambun susunan kabinet Prabowo-Gibran sudah santer dibicarakan sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) lengser. Dikutip dari CNBC Indonesia, Jokowi menyetujui revisi Undang-Undang Kementerian Negara, yang menjadi inisiatif dari DPR. Nantinya jumlah kabinet pada pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto tidak akan dibatasi. Hal ini diungkapkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpanrb) Azwar Anas, usai rapat terbatas mengenai revisi Undang-Undang Kementerian Negara di Istana Negara, Jakarta, Jumat (28-6-2024).

Berawal jumlah menteri dibatasi 34 orang, tetapi pada masa Prabowo-Gibran tidak dibatasi dan hal tersebut diwujudkan 20 Oktober lalu. Presiden RI Prabowo Subianto telah melantik lebih dari 100 menteri dan wakil menteri (wamen) pada Senin (21-10-2024). Selain menteri dan wamen, Prabowo juga pada hari ini melantik sejumlah kepala badan, staf khusus, ketua mahkamah agung, lemhanas, hingga penasihat presiden di Istana Negara Jakarta, pagi hari ini (22-10-2024).

Sebagai informasi, Prabowo mengumumkan 48 nama menteri dan 5 pejabat yang tidak berada di bawah koordinasi oleh Kementerian Koordinator, serta 56 wakil menteri yang akan membantu pemerintahannya bersama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk periode 2024-2029. Total pejabat yang dilantik mencapai 136 orang. Namun, Luhut Pandjaitan  memegang dua jabatan langsung yakni Penasihat Bidang Digitalisasi Teknologi Pemerintahan dan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN). Sehingga, total yang dilantik ada 135 dengan 136 jabatan.

Pantas saja, disebut sebagai kabinet gembrot, karena memang cukup banyak yang diangkat menjadi menteri. Belum lagi tambahan jabatan lain yang mendapatkan fasilitas setara menteri. Parahnya patronase politik tampak mewarnai gegap gempita hasil pesta demokrasi. Inilah yang akan menambah beban negara dan pemborosan anggaran, karena semua jabatan tersebut harus digaji dan mendapatkan fasilitas yang fantastis.

Menyorot Potensi Patronase Politik yang Tampak dalam Susunan Kabinet Prabowo-Gibran

Dirilis dari study.com, patronase politik adalah sistem politik yang digunakan untuk mengamankan persetujuan dan administrasi cepat atas inisiatif partai atau kandidat. Ini adalah praktik pemberian jabatan politik, uang, barang-barang material, dan kekuasaan kepada individu atau kelompok sebagai imbalan atas dukungan politik selama pemilihan umum.

Tampaknya, patronase politik menjadi alasan susunan kabinet Prabowo-Gibran gembrot terbentuk. Bahkan, sebelum mereka dilantik undang-undang pun sudah direvisi dan disetujui Jokowi. Aroma patronase politik tercium karena beberapa hal. 

Pertama, upaya merangkul semua golongan yang berpengaruh. Sejak pengumuman kemenangan paslon nomor dua Prabowo-Gibran, Prabowo sudah membentuk Koalisi Indonesia Maju (KIM). Koalisi sudah getol merangkul partai-partai dari tim kampanye lawan paslon Prabowo-Gibran. 

Tampak nyata, bagaimana parpol yang semula menjadi lawan tim pemenangan presiden masuk ke KIM. Adapun 12 parpol yang tergabung dalam KIM Plus yakni Partai Gerindra, PKB, PSI, PPP, NasDem, Perindo, PKS, PAN, Golkar, Partai Garuda, Partai Demokrat, dan Partai Gelora. Pilihan bergabung ke KIM Plus bukan cuma-cuma, tetapi mendatangkan keuntungan untuk keduanya. Salah satunya adalah mendapatkan jatah kue kekuasaan.

Kedua, upaya meniadakan oposisi. Secara teori, keseimbangan dalam sistem pemerintahan demokrasi adalah adanya koalisi dan oposisi. Namun, ternyata suara oposisi pun bisa dibeli dengan iming-iming kekuasaan. Sehingga mereka tidak lantang menyuarakan kebenaran dan keadilan. Kepentingan koalisi bisa mulus berjalan tanpa adanya gangguan dari oposisi. Walaupun sebenarnya potensi oposisi bisa dilakukan oleh PDI-P, tetapi hal itu tidak bisa kuat. Karena penguasa memiliki segala perangkat untuk menyandera parpol politik yang masuk ke dalam sistem demokrasi. 

Ketiga, koalisi gemoy yang melahirkan susunan kabinet gembrot adalah bentuk koalisi untuk saling mengamankan kepentingan parpol. Adanya jabatan yang dijanjikan dalam koalisi tersebut sebenarnya adalah sandra politik yang menjebak mereka dalam pusaran kepentingan kelompok yang memiliki kekuatan paling super. Berani macam-macam sedikit saja, pasti akan di-reshuffle bahkan bisa dimungkinkan akan menjadi tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Keempat, patronase erat kaitannya dan melahirkan klientelisme. Klientelisme atau politik klien adalah pertukaran barang dan jasa untuk mendapatkan dukungan politik, yang sering kali melibatkan quid pro quo (memberi dan menerima) secara implisit maupun eksplisit. Hal ini berkaitan erat dengan politik patronase dan pembelian suara. Selain itu, patronase presiden tampak dalam akhir-akhir kepemimpinan Jokowi. Posisi Gibran yang menjadi calon wakil presiden Prabowo, tampaknya tidak menafikan dukungan Jokowi kepada anaknya. Sehingga, marak anggapan publik yang menyatakan dinasti politik juga. 

Kelima, sangat meniscayakan terjadinya tingginya angka korupsi yang akan merugikan rakyat dan menguntungkan golongan tertentu. Patronase di antaranya berpeluang diwujudkan dalam bentuk pembelian suara (vote buying), pemberian barang kepada kelompok-kelompok tertentu (club good), penyediaan beragam pelayanan sosial, dan pemanfaatan dana publik untuk kepentingan elektoral (pork barrel politic). Selain itu, paslon mengandalkan jaringan informal perantara (broker)—biasanya disebut sebagai ‘tim sukses’—untuk menjangkau pemilih.

Menyorot lima poin di atas, dapat diprediksi lima tahun ke depan rakyat tidak bisa berharap hidup sejahtera dalam kepemimpinan Prabowo-Gibran. Sistem yang diterapkan tetap demokrasi dengan segala perangkat kepentingan yang diakomodir oleh pemilik kekuasaan. Adanya koalisi gembrot hanyalah salah satu cara untuk mengamankan kepentingan oligarki yang berkelindan di sekitar kekuasaan. Alih-alih memihak rakyat, justru rakyat yang akan diperas dan dijadikan tumbal atas keserakahan oligarki. Oleh karena itu, tidak mungkin kesejahteraan terwujud, justru kesengsaraan niscaya terjadi.

Dampak Gembrotnya Kabinet Prabowo-Gibran Ditinjau dari Aspel Politik, Ekonomi, dan Hukum

Sebanyak 136 jabatan yang dijabat 135 pejabat telah menjadi catatan sejarah sebagai kabinet terbanyak sepanjang sejarah kabinet di Indonesia. Dulu era Soekarno memang pernah ada 134 pejabat, tetapi era Prabowo-Gibran paling banyak sampai 136 jabatan. Meneropong susunan kabinet yang banyak akan memiliki tiga dampak krusial. Pertama, dampak politik kabinet gembrot ini adalah pengukuhan kepentingan oligarki yang diakomodasi pejabat terpilih. Mereka yang masuk ke jaringan jabatan elit tentunya membawa negoisasi yang akan diwujudkan dalam kepemimpinannya. Inilah yang berpotensi menjerat mereka dalam lingkaran kepentingan oligarki.

Selain itu, aturan menjadi berbelit-belit karena banyaknya birokrasi juga berpotensi melemahkan debirokratisasi, yakni upaya untuk menghilangkan tata kerja yang berbelit-belit dan lamban. Pelemahan debirokratisasi menjadi pintu gerbang terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam jalannya regulasi pemerintahan. 

Kedua, dampak ekonomi adalah penambahan beban negara karena pemborosan anggaran yang digunakan untuk memberikan gaji kepada jabatan-jabatan anyar yang diluncurkan pada kabinet Prabowo-Gibran. Tidak hanya gaji, biasanya pejabat elit tersebut mendapatkan tunjangan dan fasilitas yang mewah dari pemerintahan. 

Dikutip dari bisnis.com, gaji menteri ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2000. Dalam regulasi ini, gaji menteri sebesar Rp5,04 juta. Gaji menteri lebih tinggi dari Wakil Ketua MPR, Wakil Ketua DPR, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung, Wakil Ketua BPK, Wakil Ketua MA, hingga Wakil Ketua MPR yang tidak merangkap Wakil Ketua DPR sebesar Rp4,62 juta. 

Selanjutnya, dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 68 Tahun 2001 tentang Perubahan Keppres Nomor 168 Tahun 2000 tentang Tunjangan Jabatan bagi Pejabat Negara Tertentu, ditetapkan menteri menerima tunjangan Rp13,6 juta. Dengan penetapan ini, maka seorang menteri atau setingkat akan membawa pulang gaji pokok dan tunjangan jabatan sebesar Rp18,64 juta setiap bulan. Selanjutnya, untuk pendapatan wakil menteri, aturan yang digunakan adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.176/MK.02/2015 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Wakil Menteri. Regulasi ini menetapkan wakil menteri tidak menerima gaji pokok, tetapi hak keuangan setara pejabat eselon I-a. 

Komponennya yaitu 85% tunjangan jabatan menteri atau sekitar Rp11,56 juta dan 135% dari tunjangan kinerja pejabat struktural eselon I-a di tempat Wakil Menteri bertugas. Secara rerata, besaran tunjangan jabatan PNS eselon I-a adalah Rp5,5 juta. Dengan regulasi ini, maka seorang wakil menteri dapat membawa pulang gaji dan tunjangan Rp18,99 juta per bulan.

Dengan menghitung biaya resmi saja, maka untuk 53 menteri, uang pajak yang digelontorkan untuk gaji dan tunjangan mencapai Rp988,34 juta per bulan. Sedangkan untuk wakil menteri, dibelanjakan Rp1,06 miliar per bulan. Untuk menteri dan wakil menteri, jika diganti tunjangan perumahannya menjadi uang, maka dibelanjakan Rp3,81 miliar. Dengan jumlah belanja ini, maka biaya resmi untuk menteri dan wakilnya setiap bulan menghabiskan Rp5,85 miliar atau Rp70,26 miliar per tahun anggaran APBN. Rincian di atas belum sampai ke staf khusus menteri ataupun wakil menteri. 

Ketiga, dampak hukum adalah potensi kriminalisasi dan persekusi terhadap pihak-pihak yang berseberangan dengan penguasa. Selain itu, konflik hukum yang berpeluang terjadi akibat undang-undang yang sebelum disahkan oleh rezim sebelumnya. Seperti UU KPK, UU Cipta Kerja, masalah lemahnya penegakkan hukum di sektor lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan sebagainya. Pola kepemimpinan yang otoriter bisa terjadi dalam sistem demokrasi apabila kepentingan oligarki mulai terganggu.

Menilai tiga poin di atas, menuntut publik tidak berdiam diri atas segala yang terjadi. Walaupun potensi oposisi mampu dilemahkan dalam kepemimpinan hari ini, tetapi publik harus terus bersuara dan kritis terhadap pemerintahan yang ada. Terlebih sebagai umat Islam tidak boleh menjadi setan bisu, melainkan harus terus amar makruf nahi mungkar menyampaikan suara kebenaran dan keadilan Islam. Hingga publik sadar tidak ada solusi lain kecuali menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai institusi khilafah untuk mewujudkan kesejahteraan dan meniadakan kezaliman.

Strategi Islam dalam Mengatur Kepemimpinan Islam

Ada beberapa catatan penting yang perlu diketahui dalam kepemimpinan Islam. Pertama, dalam Islam, kepemimpinan dipegang oleh manusia, tetapi kedaulatan di tangan hukum syarak. Seorang pemimpin memimpin untuk menegakkan syariat Islam secara sempurna. Tidak ada tendensi selain dorongan keimanan dan ketakwaan sebagai pendorong dalam menjalankan amanah kepemimpinan. Selain itu, kepemimpinan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT kelak. Sehingga soal amanah ini bukan ajang untuk meraup kepentingan duniawi tetapi untuk menjalankan amanah dari Allah SWT mengelola dunia ini berlandaskan syariat Islam. 

Antara pemimpin dan sistem yang digunakan untuk memimpin erar kaitannya. Seorang pemimpin muslim harus memutuskan perkara atau permasalahan apa pun menggunakan sumber hukum Islam yakni Al-Qur'an dan sunah. Tidak boleh sedikit pun aturan diputuskan keluar dari batas-batas syarak. Sifat kepemimpinan Islam ada 4, yakni Memiliki sifat siddiq (benar), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathonah (cerdas). 

Syarat menjadi pemimpin dalam Islam berdasarkan dalil-dalil syarak ada 7, seorang khalifah harus memenuhi 7 syarat in’iqad (syarat legal), yaitu:  laki-laki; muslim; merdeka; baligh; berakal; adil, artinya bukan orang fasik; dan mampu mengemban jabatan. Jika salah satu dari ketujuh kriteria ini tidak ada, maka terdiskualifikasi atau kepemimpinannya dinyatakan tidak sah.

Di luar itu dimungkinkan menjadi syarat afdhaliyyah (syarat keutamaan) jika memang didukung nash-nash sahih atau merupakan turunan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash sahih. Misalnya: keturunan Quraisy, Mujtahid, atau Ahli menggunakan senjata  (Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhomul Hukmi fil Islam). Jika Khalifah kehilangan satu dari tujuh syarat in‘iqâd maka secara syar‘i ia tidak boleh terus menduduki jabatan kekhilafahan. Pada kondisi ini ia harus dipecat. Pihak yang memiliki wewenang menetapkan pemecatannya hanya Mahkamah Mazhâlim.

Kedua, dalam Islam, memiliki struktur daulah khilafah yang telah ditetapkan dalam hukum syarak. Sehingga, tidak mungkin terjadi jabatan yang diada-adakan tanpa didahului dengan pengambilan hukum yang bersandar dari hukum syarak. Sekalipun terjadi kebutuhan pengurusan dalam sektor tertentu dan dibutuhkan jabatan khusus untuk menjalankan amanah tersebut. Semata-mata semuanya dilakukan untuk mewujudkan tegaknya syariat Islam, bukan soal bagi-bagi jabatan ataupun politik balas budi yang kerap terjadi dalam sistem demokrasi kapitalisme hari ini. 

Khilafah atau sistem pemerintahan Islam adalah sistem warisan bernegara yang dicontohkan Rasulullah saw., bahkan satu-satunya sistem yang wajib digunakan kaum muslim. Dalam sistem pemerintahan khilafah ada 13 struktur yakni, khalifah; Mu’âwinûn at-Tafwîdh (Wuzarâ’ at-Tafwîdh) adalah para pembantu Khalifah dalam bidang pemerintahan; Wuzarâ’ at-Tanfîdz adalah para pembantu Khalifah dalam bidang administrasi; wali atau gubernur; amirul jihad yakni departemen peperangan dan pertahanan; Departeman Keamanan Dalam Negeri; Departemen Luar Negeri; Departemen Perindustrian; Peradilan; Kemaslahatan Umum (Struktur Administrasi); Baitulmal (Kas Negara); Penerangan; dan Majelis Umat. 

Ketiga, soal pemberian gaji disesuaikan kebutuhan yang mengampu amanah dan menunjang terselesaikannya amanah. Tidak boleh ada unsur pemborosan anggaran karena dana umat dikelola bagaikan mengelola dana anak yatim. Semua akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Sehingga potensi dana seperti anggaran rumah DPR yang dananya fantastis, anggaran korden ruang kerja DPR, ataupun printilan apa pun benar-benar dikaji apakah benar-benar dibutuhkan? Ataukah hanya cari-cari anggaran semata? 

Tujuan utama mereka mengemban amanah adalah untuk kesejahteraan umat, sehingga kepentingan umat menjadi prioritas utama. Adapun fasilitas yang mendukung mereka dalam mengampu amanah tetap akan dipenuhi tanpa mengabaikan tugas utama mereka dan dana dikelola secara efisien dan efektif yang berdasarkan hukum syarak.

Model kepemimpinan Islam inilah sejatinya yang mampu mewujudkan kesejahteraan hakiki sehingga rahmat dan keberkahan turun dari langit. Hanya saja masalahnya umat hari ini masih belum memahami urgensi kepemimpinan Islam dalam bingkai Khilafah Islamiah. Sehingga mereka masih berharap pada demokrasi yang begitu bobrok dan membodohi mereka secara berulang-ulang. Di sinilah peran semua untuk menyadarkan akan pentingnya mengembalikan kehidupan Islam dalam bingkai khilafah.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama. Dapat diprediksi lima tahun ke depan rakyat tidak bisa berharap hidup sejahtera dalam kepemimpinan Prabowo-Gibran. Sistem yang diterapkan tetap demokrasi dengan segala perangkat kepentingan yang diakomodir oleh pemilik kekuasaan. Adanya koalisi gembrot hanyalah salah satu cara untuk mengamankan kepentingan oligarki yang berkelindan di sekitar kekuasaan. Alih-alih memihak rakyat, justru rakyat yang akan diperas dan dijadikan tumbal atas keserakahan oligarki. Oleh karena itu, tidak mungkin kesejahteraan terwujud, justru kesengsaraan niscaya terjadi.

Kedua. Walaupun potensi oposisi mampu dilemahkan dalam kepemimpinan hari ini, tetapi publik harus terus bersuara dan kritis terhadap pemerintahan yang ada. Terlebih sebagai umat Islam tidak boleh menjadi setan bisu, melainkan harus terus amar makruf nahi mungkar menyampaikan suara kebenaran dan keadilan Islam. Hingga publik sadar tidak ada solusi lain kecuali menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai institusi khilafah untuk mewujudkan kesejahteraan dan meniadakan kezaliman.

Ketiga. Model kepemimpinan Islam inilah sejatinya yang mampu mewujudkan kesejahteraan hakiki sehingga rahmat dan keberkahan turun dari langit. Hanya saja masalahnya umat hari ini masih belum memahami urgensi kepemimpinan Islam dalam bingkai Khilafah Islamiah. Sehingga mereka masih berharap pada demokrasi yang begitu bobrok dan membodohi mereka secara berulang-ulang. Di sinilah peran semua untuk menyadarkan akan pentingnya mengembalikan kehidupan Islam dalam bingkai khilafah.


Oleh. Ika Mawarningtyas
Direktur Mutiara Umat Institute
MATERI KULIAH ONLINE UNIOL 4.0 DIPONOROGO. Rabu, 23 Oktober 2024. Di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum. #Lamrad #LiveOpperessedOrRiseAgainst

Opini

×
Berita Terbaru Update