Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Inti Amal Saleh Adalah Keikhlasan Hamba karena Allah dalam Niatnya

Selasa, 22 Oktober 2024 | 11:47 WIB Last Updated 2024-10-22T04:47:25Z
TintaSiyasi.id— "Inti amal saleh adalah keikhlasan hamba karena Allah dalam niatnya" merupakan prinsip yang sangat mendasar dalam ajaran Islam. Dalam Islam, amal saleh tidak hanya diukur dari bentuk luarnya atau hasilnya, tetapi yang lebih penting adalah niat yang mendasari perbuatan tersebut. Niat yang tulus, dilakukan semata-mata untuk mencari keridhaan Allah, adalah kunci utama agar amal itu diterima oleh Allah.

Hal ini juga sesuai dengan sabda Rasulullah ﷺ: "Innamal a'malu binniyat", yang berarti "Sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung pada niatnya." (HR. Bukhari & Muslim).

Dengan demikian, seseorang yang melakukan amal sholeh harus memastikan bahwa hatinya bersih dari riya' (pamer) atau motivasi duniawi lainnya. Amal yang dilakukan tanpa keikhlasan bisa jadi tidak memiliki nilai di hadapan Allah, meskipun tampak baik di mata manusia.

Syeikh Fudhail bin Iyadh menafsirkan firman Allah, " Untuk menguji kalian siapa dari kalian yang paling bagus amalnya," (QS. Al-Mulk: 2), berarti sebagai yang paling Ikhlas dan benar amalnya.

Syeikh Fudhail bin Iyadh, seorang ulama besar, memberikan penafsiran yang mendalam terkait ayat dalam QS. Al-Mulk: 2, di mana Allah berfirman:

ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ  

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, (QS. Al-Mulk: 2)

Menurut penafsiran Fudhail bin Iyadh, "yang paling bagus amalnya" bukan hanya terkait dengan kualitas atau kuantitas amal, melainkan dilihat dari dua aspek utama, yaitu ikhlas dan benar.

• Ikhlas berarti amal dilakukan semata-mata karena Allah, tanpa ada niat untuk pamer (riya'), mendapat pujian, atau tujuan duniawi lainnya.
• Benar berarti amal tersebut dilakukan sesuai dengan tuntunan yang benar, yaitu sesuai dengan syariat atau ajaran yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ.

Fudhail bin Iyadh menekankan bahwa amal yang baik adalah amal yang ikhlas dan sesuai sunnah (benar). Jika salah satu dari keduanya hilang, maka amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah. 

Beliau mengatakan:
"Sesungguhnya, apabila amal itu ikhlas tetapi tidak benar, maka amal itu tidak diterima. Dan apabila amal itu benar tetapi tidak ikhlas, maka juga tidak diterima, sampai amal itu ikhlas dan benar sekaligus."

Hal ini menunjukkan betapa pentingnya memperhatikan niat yang tulus serta menjalankan amal sesuai dengan petunjuk yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Makna Niat yang tulus menurut Imam An-Nawawi al-Dimasyqi.
Imam An-Nawawi al-Dimasyqi, seorang ulama besar dalam mazhab Syafi'i, memberikan perhatian khusus terhadap pentingnya niat dalam setiap amal perbuatan. Menurut beliau, niat yang tulus memiliki peran fundamental dalam menentukan kualitas dan penerimaan amal di sisi Allah.

Dalam kitabnya yang terkenal, "Riyadhus Shalihin", Imam An-Nawawi memulai dengan bab tentang niat, yang mengindikasikan bahwa niat adalah dasar dari seluruh amalan. Salah satu hadits yang sering beliau rujuk dalam membahas niat adalah hadits dari 

Rasulullah ﷺ yang berbunyi:
"Sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan (pahala) sesuai dengan niatnya." (HR. Bukhari & Muslim).

Berikut adalah beberapa poin penting mengenai makna niat yang tulus menurut Imam An-Nawawi:

1. Niat adalah pembeda antara ibadah dan kebiasaan.
Menurut Imam An-Nawawi, niat membedakan apakah suatu perbuatan dianggap sebagai ibadah atau hanya sekadar aktivitas biasa. Sebagai contoh, makan untuk mengisi tenaga adalah aktivitas yang umum, tetapi jika niatnya untuk memperkuat diri dalam beribadah kepada Allah, maka makan tersebut menjadi amal yang bernilai ibadah.

2. Niat adalah dorongan hati yang ditujukan kepada Allah.
Niat yang tulus, menurut Imam An-Nawawi, adalah dorongan batin seseorang yang benar-benar ingin mendekatkan diri kepada Allah. Amal perbuatan tersebut dilakukan tanpa mengharapkan pujian dari makhluk, melainkan semata-mata untuk mendapatkan keridhaan Allah.

3. Niat adalah asas diterimanya amal.
Imam An-Nawawi menekankan bahwa amal tanpa niat yang ikhlas kepada Allah bisa jadi tidak akan diterima. Beliau menyatakan bahwa amal yang dilakukan untuk mencari pengakuan dari manusia atau untuk motif duniawi tidak memiliki nilai di sisi Allah, walaupun amal itu terlihat besar.

4. Niat bisa mengubah perbuatan yang kecil menjadi besar.
Satu poin penting yang juga diangkat oleh Imam An-Nawawi adalah bahwa niat yang tulus dapat mengubah amal yang kelihatannya kecil menjadi besar di sisi Allah. Misalnya, sekadar tersenyum kepada orang lain atau menyingkirkan duri di jalan dengan niat ikhlas mencari keridhaan Allah bisa menjadi amal yang sangat bernilai.

Dari penjelasan Imam An-Nawawi, niat yang tulus adalah niat yang:
• Didasarkan pada keinginan mendekatkan diri kepada Allah.
• Bebas dari riya’ (pamer), sum'ah (ingin didengar), dan keinginan mendapatkan pujian.
• Sesuai dengan syariat dan petunjuk Rasulullah ﷺ.

Dengan niat yang benar, amal seseorang akan memiliki bobot yang besar, meskipun dari sudut pandang duniawi mungkin terlihat kecil atau sepele.
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ  
“ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” ( QS. Al-Bayyinah (98) : 5 )

Tafsir ayat ini, Karena adanya perpecahan di kalangan mereka, maka pada ayat ini dengan nada mencerca Allah menegaskan bahwa mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah-Nya. Perintah yang ditujukan kepada mereka adalah untuk kebaikan dunia dan agama mereka, dan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Mereka juga diperintahkan untuk mengikhlaskan diri lahir dan batin dalam beribadah kepada Allah dan membersihkan amal perbuatan dari syirik sebagaimana agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim yang menjauhkan dirinya dari kekufuran kaumnya kepada agama tauhid dengan mengikhlaskan ibadah kepada Allah. Ikhlas adalah salah satu dari dua syarat diterimanya amal, dan itu merupakan pekerjaan hati. Sedang yang kedua adalah mengikuti sunah Rasulullah. Allah berfirman:
 
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), "Ikutilah agama Ibrahim yang lurus." (an-Nahl/16: 123)

Firman-Nya yang lain:
 
Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus dan muslim. (Ali 'Imran/3: 67)

Mendirikan salat dalam ayat ini maksudnya adalah mengerjakannya terus-menerus setiap waktu dengan memusatkan jiwa kepada kebesaran Allah, untuk membiasakan diri tunduk kepada-Nya. 

Sedangkan yang dimaksud dengan mengeluarkan zakat yaitu membagi-bagikannya kepada yang berhak menerimanya sebagaimana yang telah ditentukan oleh Al-Qur'anul Karim.
Keterangan ayat di atas tentang keikhlasan beribadah, menjauhkan diri dari syirik, mendirikan salat, dan mengeluarkan zakat, adalah maksud dari agama yang lurus yang tersebut dalam kitab-kitab suci lainnya.

Imam al-Qusyayri berkata, Ikhlas itu berarti sungguh-sungguh mengesakan Allah dalam ketaatan, yakni hanya berharap ketaatan itu mendekatkannya pada Allah, bukan sebagai hal lain seperti kepura-puraan di hadapan Makhluk, upaya mendapatkan kemuliaan di tengah manusia, cinta pujian dari makhluk atau hal lain selain taqarub kepada Allah SWT.

Imam al-Qusyayri, seorang ulama besar tasawuf, memberikan definisi ikhlas yang sangat mendalam. Menurut beliau, ikhlas berarti benar-benar mengesakan Allah dalam ketaatan, yaitu menjadikan Allah satu-satunya tujuan dalam setiap perbuatan. Ikhlas dalam pandangan Imam al-Qusyayri adalah membersihkan niat dari segala bentuk kepentingan selain Allah.

Berikut adalah beberapa poin penting dari penjelasan Imam al-Qusyayri tentang ikhlas:

1. Menghadirkan Allah sebagai satu-satunya tujuan
Ikhlas menurut al-Qusyayri adalah memastikan bahwa setiap amal atau ketaatan dilakukan semata-mata karena Allah, bukan karena faktor eksternal seperti pujian, penghargaan, atau perhatian manusia. Hal ini berarti orang yang ikhlas hanya mengharapkan pahala dari Allah dan taqarub (kedekatan) dengan-Nya.

2. Menjauhkan diri dari kepura-puraan (riya’)
Ikhlas menuntut seseorang untuk menghindari riya’, yaitu melakukan ketaatan hanya agar dilihat dan dipuji oleh makhluk. Ketaatan yang disertai keinginan untuk dipuji atau dianggap baik oleh orang lain tidak lagi tulus dan kehilangan nilai di sisi Allah. Bagi Imam al-Qusyayri, riya' adalah bentuk paling halus dari syirik (menyekutukan Allah), karena orang tersebut dalam hatinya mengharapkan sesuatu selain Allah.

3. Tidak mengharapkan kemuliaan atau status sosial
Imam al-Qusyayri juga menekankan bahwa ikhlas berarti tidak beribadah untuk meraih status sosial atau kemuliaan di tengah masyarakat. Jika seseorang shalat, berpuasa, atau melakukan amal kebajikan agar dianggap orang baik atau mendapatkan kedudukan di mata manusia, maka amal tersebut tidak lagi murni untuk Allah, dan ikhlasnya telah ternoda.

4. Menghindari cinta pujian dari makhluk
Salah satu godaan terbesar bagi seorang hamba adalah cinta akan pujian dari manusia. Imam al-Qusyayri menegaskan bahwa ikhlas mengharuskan seseorang mengesampingkan keinginan untuk mendapatkan sanjungan atau penghargaan dari orang lain. Orang yang ikhlas hanya mengharapkan ridha Allah, dan tidak peduli apakah perbuatannya dipuji atau bahkan dicela oleh manusia.

5. Semata-mata taqarub kepada Allah
Fokus utama ikhlas menurut al-Qusyayri adalah taqarub, yaitu mendekatkan diri kepada Allah. Segala amal dan ketaatan harus bertujuan untuk mendapatkan cinta, ridha, dan kedekatan dengan Allah. Jika ada motif lain yang merasuk ke dalam niat, seperti keinginan duniawi, maka amal tersebut tidak lagi bisa dikatakan ikhlas.

Penekanan al-Qusyayri terhadap keikhlasan ini sangat relevan dalam konteks tasawuf, di mana pembersihan hati dari segala macam penyakit batin (seperti riya’, ujub, dan cinta dunia) merupakan inti dari perjalanan spiritual seorang hamba. Ikhlas menjadi landasan utama dalam setiap ibadah, yang tanpa itu, amal yang tampak besar sekalipun tidak memiliki nilai di sisi Allah.

Dengan demikian, ikhlas menurut Imam al-Qusyayri adalah menyucikan niat dalam setiap ketaatan, memastikan bahwa segala perbuatan dilakukan hanya untuk Allah, demi mendekatkan diri kepada-Nya, dan tidak tercampur dengan motif-motif duniawi atau keinginan mendapatkan perhatian dari makhluk.

Dzunnun al-Mishri berkata , tiga tanda ikhlas adalah : Pujian dan hinaan orang dirasa sama saja, Lupa akan penglihatan orang pada saat berbuat, dan berharap pahala amal diberikan di akherat.

Dzunnun al-Mishri, seorang sufi besar, memberikan tiga tanda utama tentang ikhlas yang mencerminkan kondisi hati seseorang dalam beramal hanya karena Allah. Berikut adalah penjelasan dari tiga tanda ikhlas yang beliau sebutkan:

1. Pujian dan hinaan orang dirasa sama saja
Orang yang ikhlas tidak peduli dengan apa yang dikatakan manusia tentangnya, baik itu pujian maupun celaan. Baginya, yang penting adalah bagaimana Allah menilai amalnya, bukan manusia. Jika seseorang masih merasa senang ketika dipuji atau sakit hati ketika dihina, maka ikhlasnya bisa dipertanyakan. Ikhlas mengajarkan bahwa nilai amal terletak di sisi Allah, sehingga pandangan manusia tidak lagi penting. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang ikhlas telah menghilangkan ketergantungan pada pengakuan atau penghargaan dari orang lain.

2. Lupa akan penglihatan orang pada saat berbuat
Tanda ikhlas yang kedua menurut Dzunnun al-Mishri adalah melupakan bahwa orang lain melihat kita saat beramal. Ketika seseorang benar-benar ikhlas, mereka akan fokus hanya kepada Allah, seakan-akan tidak ada orang lain yang menyaksikan apa yang mereka lakukan. Mereka tidak mencari perhatian atau pengakuan dari manusia, melainkan hanya bertindak untuk mencari ridha Allah. Ini berarti menghindari riya’, yaitu melakukan amal dengan niat agar orang lain melihat dan memuji.

3. Berharap pahala amal diberikan di akhirat
Orang yang ikhlas tidak mengharapkan balasan duniawi dari amalnya. Dia tidak mencari imbalan berupa kekayaan, status, pujian, atau kenikmatan dunia lainnya. Sebaliknya, dia mengharapkan seluruh pahalanya ditangguhkan hingga akhirat, ketika Allah memberikan ganjaran yang sesungguhnya. Harapan untuk mendapatkan pahala di akhirat menunjukkan ketulusan niat, karena seseorang hanya melakukan amal dengan kesadaran bahwa pahala hakiki hanya akan didapatkan di kehidupan setelah mati.

Dengan ketiga tanda ini, Dzunnun al-Mishri menekankan bahwa ikhlas adalah tentang pembersihan hati dari segala bentuk keterikatan duniawi dan pengakuan manusia. Hanya Allah yang menjadi tujuan dan sumber harapan dalam setiap perbuatan. 

Orang yang memiliki ketiga tanda ini telah mencapai tingkat ikhlas yang sangat tinggi, di mana amalnya murni hanya untuk Allah dan tidak terkontaminasi oleh tujuan-tujuan selain-Nya.

Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo 

Opini

×
Berita Terbaru Update