Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Gugat Aturan MK agar Boleh Tidak Beragama: Waspadai Benih Atheisme!

Kamis, 31 Oktober 2024 | 22:54 WIB Last Updated 2024-10-31T15:55:02Z
TintaSiyais.id -- Menggugat aturan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar boleh hidup tanpa agama. Adalah Raymond Kamil warga Cipayung, Jakarta Timur, dan Indra Syahputra, asal Binjai, Sumatra Utara yang melakukannya. Mereka diwakili oleh Teguh Sugiharto selaku Kuasa Hukum, mengajukan uji materi terhadap pasal di sejumlah undang-undang dari UU Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) hingga UU Hak Asasi Manusia (HAM).

Meresponsnya, Hakim konstitusi Arief Hidayat mengingatkan pemohon bahwa Mahkamah itu The Guardian of The Constitution (Penjaga Konstitusi) sekaligus karena yang dijaga adalah pembukaan Undang-Undang Dasar dan pasal-pasal, maka Mahkamah juga sebagai The Guardian of State Ideology (Penjaga Ideologi Bangsa) yang sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa (cnnindonesia.com, 23/10/2024). 

Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) mengkritik permohonan judicial review ke MK di atas. Ia menyebut, permintaan itu tidak sesuai konstitusi. Menurutnya, seharusnya MK langsung menolak permohonan tersebut tanpa membuang waktu menyidangkannya.
(detik.com, 25/10/2024). 

Tak hanya itu, permohonan ini menjadi gejala berbahaya bagi kehidupan beragama di negeri ini. Benih-benih anti beragama mulai muncul. Sebelum berkembang lebih banyak, pemikiran sejenis harus diwaspadai dan jangan pernah diberi panggung menyuarakannya.

Alasan Penggugat Aturan MK yang Mewajibkan Warga Negara Memeluk Agama atau Kepercayaan Tertentu

Secara umum, Raymond Kamil dan Indra Syahputra menggugat aturan yang mewajibkan seluruh warga untuk memeluk suatu agama atau kepercayaan tertentu ke MK karena mereka menganggap melanggar HAM dan kebebasan beragama yang dijamin dalam konstitusi Indonesia. Beberapa alasan utamanya adalah sebagai berikut:

Pertama, hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap warga negara. Mereka memandang,  pemaksaan untuk memeluk agama tertentu atau suatu bentuk kepercayaan bertentangan dengan hak dasar ini, yang tertuang dalam Pasal 28E dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

Kedua, diskriminasi terhadap agama atau keyakinan minoritas. Mereka melihat, aturan yang mengharuskan seseorang memeluk agama atau kepercayaan tertentu seringkali membuat kelompok minoritas agama atau kepercayaan tradisional terpinggirkan atau terdiskriminasi. Mereka seringkali kesulitan untuk memperoleh akses yang sama terhadap pelayanan publik, pencatatan identitas, dan hak-hak sipil lainnya.

Ketiga, masalah administrasi dan identitas. Dalam praktiknya, aturan ini berdampak pada dokumen-dokumen kependudukan, seperti KTP dan kartu keluarga, di mana warga yang tidak memeluk agama resmi atau kepercayaan tertentu menghadapi kesulitan. Mereka mungkin harus mencantumkan agama yang tidak sesuai keyakinan mereka, hingga merugikan hak mereka untuk hidup sesuai keyakinan masing-masing.

Keempat, kesesuaian dengan Prinsip HAM Internasional. Indonesia adalah negara yang berkomitmen terhadap prinsip-prinsip HAM internasional, seperti yang tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Mereka berpendapat, memaksakan keyakinan tertentu bertentangan dengan prinsip-prinsip ini dan dapat mencemarkan citra Indonesia di kancah internasional.

Dengan gugatan ini, warga berharap agar MK dapat menghapus aturan yang dianggap tidak sesuai dengan hak konstitusional mereka, sehingga setiap individu dapat hidup dan menjalankan keyakinannya dengan bebas tanpa paksaan atau diskriminasi. 

Hanya saja, keinginan Raymond dan Indra yang cenderung atheis ini bertentangan dengan konstitusi negara yang berprinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Apalagi prinsip aqidah Islam yang dianut mayoritas penduduk Indonesia jelas mengajarkan tentang keberadaan Allah SWT sebagai Tuhan semesta alam. Dan bukankah fitrahnya manusia dia pasti bertuhan dan memiliki agama?

Dampak Gugatan Warga tentang Aturan Beragama terhadap Kehidupan Warga Bangsa dalam Religious Nation State

Gugatan warga terhadap aturan-aturan beragama di Indonesia sebagai sebuah religious nation state dapat menimbulkan dampak yang kompleks terhadap kehidupan sosial, politik, dan budaya. Berikut adalah beberapa dampak yang mungkin terjadi:

Pertama, ketegangan sosial dan identitas.  Gugatan terhadap aturan beragama sering menciptakan ketegangan antara kelompok yang pro dan kontra terhadap aturan tersebut. Warga yang merasa aturan tersebut tidak menghargai keberagaman mungkin merasa terpinggirkan. 

Kedua, memicu warga lain menyuarakan atheisme. Kenekatan Raymond dan Indra bisa memicu warga lainnya berani meminta hal yang sama pada pemerintah. Selama ini bisa jadi ada warga lain yang memendam rasa sejenis tapi takut menyuarakan. 

Ketiga, mendorong diskusi tentang sekularisme bahkan atheisme. Gugatan ini juga bisa membuka diskusi yang lebih luas tentang sekularisme bahkan atheisme, dari sisi batasan pengaruh agama dalam kehidupan bernegara. 

Keempat, implikasi politik. Isu-isu yang berkaitan dengan aturan agama biasanya bersifat politis. Gugatan tersebut bisa mempengaruhi dinamika politik, terutama jika digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mendulang dukungan politik atau demi menekan pemerintah agar lebih toleran terhadap perbedaan pandangan agama.

Kelima, polarisasi dan fragmentasi sosial. Gugatan yang berkaitan dengan aturan agama dapat menimbulkan polarisasi masyarakat, terutama di antara kelompok agama yang berbeda. Jika tidak dikelola dengan baik, hal ini bisa memperburuk fragmentasi sosial dan merusak kohesi nasional.

Demikian dampak gugatan warga tentang aturan beragama terhadap kehidupan warga bangsa dalam religious nation state. Secara keseluruhan, gugatan warga terkait aturan agama dalam religious nation state ini penting untuk diwaspadai agar tidak menjadi bibit-bibit yang menggerogoti kehidupan beragama yang telah hidup di dalam masyarakat di negeri ini. Paham anti-Tuhan dari sisi apa pun itu irrasional dan tak bisa diterima.

Strategi Pengaturan Masyarakat dalam Kehidupan Berbasis Religious Nation State

Upaya membangun masyarakat dengan kemajemukan beragama bukanlah hal baru. Bila menengok sejarah, kita akan mendapati fragmen keharmonisan pengelolaan umat beragama terjadi pada masa pemerintahan Rasulullah SAW di Madinah dan para khalifah setelah beliau. Dalam negara berbasis  Islam, prinsip keadilan dan saling menghormati begitu dijunjung tinggi. Berikut beberapa strategi yang bisa diambil dari pengalaman Rasulullah dan konsep-konsep Islam.

Pertama, menjamin kebebasan beragama.   Islam mengakui kebebasan beragama, seperti tercermin dalam ayat Al-Qur'an, “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam)” (QS. Al-Baqarah: 256). Islam menjamin hak setiap warga negara untuk memeluk dan menjalankan agama mereka tanpa paksaan. Tapi bila telah masuk Islam, hendaknya memegangnya erat dan tidak murtad. 

Kedua, menetapkan konstitusi yang inklusif dan adil. Piagam Madinah menjadi contoh bahwa negara yang majemuk perlu memiliki konstitusi yang mengakomodasi keberagaman agama. Konstitusi ini harus menjamin hak dan kewajiban semua warga negara tanpa diskriminasi, termasuk dalam aspek sosial, ekonomi, dan hukum.

Ketiga, menjamin keadilan hukum tanpa diskriminasi. Keadilan dalam penegakan hukum merupakan prinsip utama dalam Islam. Negara dalam pandangan Islam harus menerapkan hukum secara adil tanpa memandang agama, ras, atau latar belakang seseorang. Ini bertujuan untuk memberikan rasa aman dan perlindungan bagi seluruh masyarakat.

Keempat, menghormati tempat ibadah. Tempat ibadah dari berbagai agama harus dihormati. Rasulullah dalam Piagam Madinah, misalnya, melindungi hak ibadah kaum Yahudi dan Nasrani di Madinah. Hal ini penting untuk menunjukkan sikap saling menghormati antarumat beragama.

Kelima, menciptakan kebijakan ekonomi yang merata. Kebijakan ekonomi yang adil dan merata dapat mengurangi kecemburuan sosial dan konflik antaragama. Negara perlu menciptakan kesempatan ekonomi yang sama bagi semua warga, agar tidak ada kelompok yang merasa termarjinalkan.

Keenam, mengedepankan pendidikan yang mengajarkan toleransi dan moralitas. Pendidikan adalah salah satu cara untuk membangun masyarakat yang damai dan saling menghormati. Kurikulum yang mengajarkan nilai-nilai toleransi, kemanusiaan, dan moralitas dapat membantu generasi mendatang menghargai perbedaan agama. Dengan catatan, toleransi tidak melabrak pagar-pagar keyakinan dan ibadah masing-masing agama. 

Ketujuh, memfasilitasi mediasi dalam konflik antarkelompok. Jika terjadi konflik antarumat beragama, negara perlu menjadi penengah yang adil dan mengedepankan perdamaian. Mediasi dan penyelesaian konflik yang damai dapat mencegah perselisihan yang berkepanjangan.

Dengan menerapkan strategi di atas, negara Islam di masa lampau dapat membangun masyarakat yang beragam secara agama (Islam) namun tetap harmonis dan sejahtera. Tidakkah kita ingin kembali merasakan harmonisasi umat beragama kembali hadir dalam pelukan sistem Islam yang rahmatan lil 'alamin? []

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Opini

×
Berita Terbaru Update