Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Dua Keuntungan Meninggalkan yang Haram

Senin, 14 Oktober 2024 | 11:02 WIB Last Updated 2024-10-14T04:02:38Z

TintaSiyasi.id—Meninggalkan yang haram (larangan dalam Islam) membawa banyak keuntungan, baik di dunia maupun di akhirat. Dua keuntungan utama dari meninggalkan yang haram adalah sebagai berikut:

1. Mendapatkan Ridha dan Pahala dari Allah
Meninggalkan yang haram adalah bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Setiap perintah dan larangan Allah ditujukan untuk kebaikan manusia, baik secara individu maupun kolektif. Dengan menjauhi hal-hal yang dilarang, seorang Muslim menunjukkan ketakwaannya, yang pada gilirannya akan mendatangkan ridha Allah dan pahala di dunia dan akhirat.

Dalil:
"Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan." (QS. An-Nur: 52)
Keuntungan di akhirat berupa pahala yang besar, termasuk kebahagiaan di surga, adalah imbalan tertinggi bagi orang-orang yang taat dan menjauhi larangan-larangan Allah.

2. Menjaga Diri dari Kerusakan dan Keburukan
Segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah pasti memiliki dampak buruk bagi manusia, baik secara fisik, mental, sosial, maupun spiritual. Dengan meninggalkan hal-hal yang haram, seseorang menjaga dirinya dari kerusakan tersebut. Misalnya:
• Meninggalkan riba menghindarkan seseorang dari ketidakadilan ekonomi dan perpecahan sosial.
• Menjauhi zina mencegah kehancuran moral dan konflik keluarga.
• Menghindari makanan haram menjaga kesehatan tubuh dan spiritualitas.
Allah melarang sesuatu bukan untuk membatasi kebebasan manusia, tetapi untuk melindungi mereka dari bahaya yang mungkin tidak mereka sadari. Dengan menjauhi yang haram, manusia menjaga kemaslahatan diri sendiri dan masyarakat.

Dalil:
"Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..." (QS. Al-Baqarah: 275)

"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32)

Kesimpulan:

Meninggalkan yang haram mendatangkan ridha Allah dan pahala yang besar, serta menjaga manusia dari kerusakan dan bahaya yang ditimbulkan oleh hal-hal yang dilarang. Ini adalah bentuk ketaatan yang mendekatkan seseorang kepada kebaikan di dunia dan kebahagiaan abadi di akhirat.

Imam An-nawawi Al bantani mengatakan, Siapa yang meninggalkan dosa, hatinya kan menjadi lembut.

Imam An-Nawawi Al-Bantani, seorang ulama besar dari Indonesia yang memiliki karya-karya berharga dalam berbagai disiplin ilmu Islam, memberikan banyak nasihat berharga tentang pembersihan hati dan pengendalian diri. Salah satu nasihat yang disampaikan adalah bahwa siapa yang meninggalkan dosa, hatinya akan menjadi lembut. Pernyataan ini mengandung hikmah spiritual yang mendalam, yang dapat dijelaskan melalui beberapa aspek:

1. Dosa Mengotori Hati
Dalam ajaran Islam, hati manusia sangat dipengaruhi oleh perilakunya. Dosa, sekecil apa pun, dapat mengotori hati dan menjadikannya keras. Ketika seseorang terus-menerus berbuat dosa tanpa bertaubat, hatinya akan semakin jauh dari Allah dan dipenuhi dengan kegelapan. Hal ini membuat hati menjadi sulit merasakan kelembutan, kasih sayang, dan cahaya iman.

Dalil: "Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu menutup hati mereka." (QS. Al-Mutaffifin: 14)

Ayat ini menggambarkan bahwa dosa-dosa yang dilakukan terus-menerus tanpa taubat akan menutupi hati, sehingga hati menjadi keras dan tertutup dari hidayah Allah.

2. Meninggalkan Dosa Membawa Ketenangan Hati
Ketika seseorang meninggalkan dosa, hatinya mulai bersih dari noda-noda maksiat. Dalam keadaan ini, hati akan menjadi lebih peka terhadap hidayah Allah, lebih mudah merasakan kedamaian, ketenangan, dan kasih sayang. Hati yang lembut adalah hati yang terbuka untuk menerima kebaikan, kasih sayang kepada sesama, dan lebih mudah untuk menjalankan ibadah dengan ikhlas.
Meninggalkan dosa juga membuka pintu bagi seseorang untuk lebih dekat kepada Allah. Hubungan yang lebih dekat dengan Allah membuat hati menjadi tenang dan bahagia, serta semakin menjauh dari penyakit-penyakit hati seperti iri, dengki, kesombongan, dan kemunafikan.

3. Tazkiyatun Nafs (Pembersihan Jiwa)
Dalam Islam, meninggalkan dosa adalah bagian dari tazkiyatun nafs, yaitu proses pembersihan jiwa. Semakin seseorang membersihkan diri dari dosa-dosa, semakin murni dan lembut hatinya. Pembersihan ini bukan hanya dari dosa besar, tetapi juga dari dosa-dosa kecil dan perilaku yang tidak bermanfaat.

Dengan hati yang lembut, seseorang menjadi lebih peka terhadap nasihat, lebih mudah bertaubat, dan lebih memiliki belas kasih kepada sesama. Hati yang lembut juga lebih mudah tunduk kepada kehendak Allah dan selalu merasa takut akan jatuh kembali ke dalam dosa.

4. Hati yang Lembut adalah Ciri Khas Orang Bertakwa
Orang-orang yang bertakwa kepada Allah selalu berusaha menjauhkan diri dari dosa, baik dosa besar maupun kecil. Mereka memiliki hati yang lembut, selalu ingat kepada Allah, dan menjauhi perilaku yang dapat menimbulkan kemarahan-Nya. Hati yang lembut ini bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda kekuatan spiritual yang mendalam.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Ketahuilah bahwa dalam jasad manusia ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, itu adalah hati." (HR. Bukhari dan Muslim)

5. Kelembutan Hati Mempermudah Jalan Taubat
Ketika hati menjadi lembut, ia lebih mudah bertaubat dan lebih cepat merasakan penyesalan atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Ini membuka jalan untuk memperbaiki diri dan mendapatkan ampunan Allah. Hati yang lembut selalu merasa rendah hati dan takut kepada Allah, sementara hati yang keras justru menolak untuk bertaubat dan cenderung merasa aman dari siksa Allah.

Dalil:
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci?" (QS. Muhammad: 24)
Ayat ini mengingatkan bahwa hati yang terkunci oleh dosa tidak mampu memahami petunjuk Allah. Sebaliknya, hati yang lembut selalu terbuka untuk memahami dan menerima kebenaran.

Kesimpulan

Pernyataan Imam An-Nawawi Al-Bantani bahwa siapa yang meninggalkan dosa, hatinya akan menjadi lembut menegaskan pentingnya membersihkan diri dari dosa-dosa agar hati bisa merasakan kelembutan, kedamaian, dan dekat dengan Allah. Dosa adalah penghalang antara manusia dan Tuhannya, serta membuat hati menjadi keras. Dengan menjauhi dosa, hati menjadi lebih terbuka, mudah bertaubat, dan penuh kasih sayang, yang pada akhirnya membawa seseorang lebih dekat kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Siapa yang meninggalkan yang haram dan hanya memakan yang halal pikirannya akan jernih, kata Imam An-Nawawi al-Bantani.

Imam An-Nawawi Al-Bantani, seorang ulama besar dari Indonesia, menyatakan bahwa siapa yang meninggalkan yang haram dan hanya memakan yang halal, pikirannya akan jernih. Pernyataan ini menekankan pentingnya menjaga kehalalan makanan dan perilaku sebagai salah satu cara untuk membersihkan hati, pikiran, dan jiwa.

Berikut beberapa penjelasan mengenai pernyataan ini:

1. Kehalalan Makanan Memengaruhi Kondisi Spiritual dan Mental
Dalam Islam, makanan yang halal dan baik (halalan tayyiban) sangat ditekankan. Allah berfirman:
"Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah: 168)
Memakan makanan halal tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga mempengaruhi kondisi spiritual seseorang. Makanan yang halal dan tayyib membuat hati lebih bersih, pikiran lebih jernih, dan jiwa lebih tenang. Sebaliknya, makanan yang haram, selain merusak fisik, juga bisa mengotori hati dan pikiran, menjauhkan seseorang dari kebaikan, dan mendekatkannya pada keburukan.

2. Meninggalkan yang Haram Membersihkan Hati
Makanan yang haram, seperti makanan yang diperoleh dari hasil yang tidak sah atau tidak sesuai dengan syariat, akan memengaruhi hati dan pikiran. Ketika seseorang memakan sesuatu yang haram, meskipun tampaknya makanan itu bergizi, ia akan menghalangi cahaya kebenaran masuk ke dalam hati. Hal ini membuat pikiran menjadi gelisah, hati menjadi keras, dan kesadaran spiritual melemah.

Sebaliknya, dengan hanya memakan yang halal, hati menjadi lebih tenang dan lembut. Ini mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku sehari-hari, di mana seseorang akan lebih mudah melakukan kebaikan, lebih mampu memahami nasihat, serta lebih terbuka pada hidayah Allah.

3. Kehalalan dan Kebersihan Pikiran
Meninggalkan yang haram tidak hanya berkaitan dengan makanan, tetapi juga dengan segala bentuk perbuatan yang dilarang oleh Allah, seperti mengambil riba, korupsi, atau melakukan penipuan. Perbuatan haram ini dapat merusak integritas dan menciptakan kebingungan serta kekacauan dalam pikiran dan hati.
Imam An-Nawawi Al-Bantani menekankan bahwa memakan yang halal dan meninggalkan yang haram akan membantu menjaga kejernihan pikiran. Ini karena pikiran yang tidak dibebani oleh dampak negatif dari makanan atau perbuatan haram lebih mudah terfokus pada hal-hal yang baik dan produktif, seperti ibadah dan muamalah yang sesuai syariat.

4. Dampak Langsung pada Hubungan dengan Allah
Dalam banyak ajaran tasawuf dan ilmu keagamaan lainnya, makanan halal dianggap sebagai salah satu faktor utama dalam menjaga kebersihan hati dan kedekatan dengan Allah. Pikiran yang jernih dan hati yang bersih memudahkan seseorang dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an, menikmati ibadah, dan merasakan ketenangan dalam dzikir.

Pikiran yang jernih juga menjauhkan seseorang dari godaan setan yang sering kali memanfaatkan kondisi pikiran yang kacau untuk menjerumuskan seseorang ke dalam dosa. Dalam keadaan ini, seseorang lebih waspada dan lebih mampu membedakan antara kebenaran dan kebatilan.

Kesimpulan

Pernyataan Imam An-Nawawi Al-Bantani bahwa siapa yang meninggalkan yang haram dan hanya memakan yang halal, pikirannya akan jernih menegaskan bahwa makanan halal dan perilaku sesuai syariat memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi mental dan spiritual seseorang. Memakan yang halal akan membersihkan hati, menenangkan jiwa, dan menjernihkan pikiran, yang pada akhirnya akan mendekatkan seseorang kepada Allah dan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebaliknya, makanan yang haram dapat mengotori hati, 
mengaburkan pikiran, dan menjauhkan dari kebenaran.

Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo

Opini

×
Berita Terbaru Update