"Jadi, yang dimaksud besar oleh Prabowo mestilah bukan
karena luas wilayah dan jumlah penduduknya tetapi akan sangat relevan,
sebagaimana diakui Prabowo sendiri, Indonesia disebut negara besar karena banyaknya
parpol yang berkoalisi," tuturnya kepada TintaSiyasi.ID, Sabtu
(12/10/2024).
Kemudian ia melanjutkan, kalau besar kecilnya negara dilihat
dari jumlah penduduk dan luas wilayahnya, maka Indonesia bila dibandingkan
dengan tiga negara terluas dan terbanyak penduduknya yaitu China, India, dan
Amerika Serikat itu tidak terlalu besar.
"Padahal China, India, dan Amerika dengan luas wilayah yang
lebih luas dan jumlah penduduknya lebih banyak dari Indonesia, jumlah kabinetnya lebih kecil dari
kabinet di Indonesia. Di China jumlah menterinya 25 orang, India 50 orang, dan di Amerika hanya 15 orang,"
ungkapnya.
Ia juga mengkritisi terkait pendapat Prabowo yang menyatakan
bahwa jika jumlah menterinya sedikit akan menjadi kabinet yang otoriter karena
hanya memiliki satu parpol.
"Tentu saja alasan itu mengada-ada. Karena akan muncul
pertanyaan sejak kapan otoriter tidaknya dilihat dari banyaknya parpol dan dari
banyaknya parpol yang berkoalisi?," tandasnya.
Ia lalu memberikan contoh konkretnya pada rezim Jokowi. “Parpol koalisinya banyak,
kementeriannya juga gemuk (38 kementerian, rezim Jokowi Jilid I hanya 33
kementerian). Dia dikenal otoriter karena lebih memaksakan kehendaknya dengan
membuat berbagai Perppu ketimbang menaati UU yang berlaku.
"Walhasil, justru kritik dapat lebih leluasa dilakukan
bila parpol tidak berkoalisi. Jadi, alasan Prabowo tersebut lebih terkesan
sebagai dalih saja, dan yang pasti semakin banyak parpol yang berkoalisi, semakin banyak jatah
kue kekuasaan yang harus diberikan. Konsekuensinya tentu saja semakin gemuk kue
kabinet yang harus disediakan," jelasnya.
Berpijak pada Wahyu
Ia kemudian memberikan pandangan bahwa masalahnya bukan
sekadar rezim itu otoriter, tetapi UU yang diberlakukan itu apakah berdasarkan wahyu
dari Allah Swt. atau buatan manusia.
"Kalau buatan Allah Swt. sudah pasti adilnya, yang
seperti ini tidak mungkin didapatkan dalam negara demokrasi ataupun negara
otoriter, tetapi hanya didapati dari negara yang berfungsi menerapkan aturan
Allah Swt. secara kaffah yakni khilafah," tegasnya.
Kemudian ia melanjutkan, parpol yang ada tidak akan
menggunakan istilah parpol koalisi ataupun parpol oposisi, karena dalam sistem
Islam semua parpol wajib mendukung kebijakan khalifah, meskipun tidak ada satu
pun anggota parpol tersebut yang menjadi muawin (setingkat menteri).
"Hak prerogatif khalifah mengangkat para pembantunya
yang menurut khalifah memang mumpuni yang sama sekali tidak ada kaitannya
dengan latar si calon muawin yang termasuk anggota parpol oposisi atau
koalisi," paparnya.
Ia kemudian menutup dengan pernyataan bahwa semua calon muawin
itu, khususnya muawin tafwidh (pembantu khalifah di bidang pemerintahan)
itu mestilah Muslim, lelaki, balig, merdeka, adil, mampu (kompeten) dan
berakal.[] Emmy