Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Benarkah Negara Besar, Kabinetnya Harus Banyak?

Senin, 14 Oktober 2024 | 21:36 WIB Last Updated 2024-10-14T23:48:04Z

Tintasiyasi.ID -- Menanggapi pernyataan presiden terpilih Prabowo terkait banyaknya jumlah kementerian di kabinet baru yang mencapai 46 orang karena negara Indonesia adalah negara besar, Jurnalis Joko Prasetyo menyampaikan, mestilah negara Indonesia besar yang dimaksud Prabowo bukan karena luas wilayah dan jumlah penduduknya.

 

"Jadi, yang dimaksud besar oleh Prabowo mestilah bukan karena luas wilayah dan jumlah penduduknya tetapi akan sangat relevan, sebagaimana diakui Prabowo sendiri, Indonesia disebut negara besar karena banyaknya parpol yang berkoalisi," tuturnya kepada TintaSiyasi.ID, Sabtu (12/10/2024).

 

Kemudian ia melanjutkan, kalau besar kecilnya negara dilihat dari jumlah penduduk dan luas wilayahnya, maka Indonesia bila dibandingkan dengan tiga negara terluas dan terbanyak penduduknya yaitu China, India, dan Amerika Serikat itu tidak terlalu besar.

 

"Padahal China, India, dan Amerika dengan luas wilayah yang lebih luas dan jumlah penduduknya lebih banyak dari Indonesia, jumlah kabinetnya lebih kecil dari kabinet di Indonesia. Di China jumlah menterinya 25 orang, India 50 orang, dan di Amerika hanya 15 orang," ungkapnya.

 

Ia juga mengkritisi terkait pendapat Prabowo yang menyatakan bahwa jika jumlah menterinya sedikit akan menjadi kabinet yang otoriter karena hanya memiliki satu parpol.

 

"Tentu saja alasan itu mengada-ada. Karena akan muncul pertanyaan sejak kapan otoriter tidaknya dilihat dari banyaknya parpol dan dari banyaknya parpol yang berkoalisi?," tandasnya.

 

Ia lalu memberikan contoh konkretnya pada rezim Jokowi. Parpol koalisinya banyak, kementeriannya juga gemuk (38 kementerian, rezim Jokowi Jilid I hanya 33 kementerian). Dia dikenal otoriter karena lebih memaksakan kehendaknya dengan membuat berbagai Perppu ketimbang menaati UU yang berlaku.

 

"Walhasil, justru kritik dapat lebih leluasa dilakukan bila parpol tidak berkoalisi. Jadi, alasan Prabowo tersebut lebih terkesan sebagai dalih saja, dan yang pasti semakin banyak parpol yang berkoalisi, semakin banyak jatah kue kekuasaan yang harus diberikan. Konsekuensinya tentu saja semakin gemuk kue kabinet yang harus disediakan," jelasnya.

 

Berpijak pada Wahyu

 

Ia kemudian memberikan pandangan bahwa masalahnya bukan sekadar rezim itu otoriter, tetapi UU yang diberlakukan itu apakah berdasarkan wahyu dari Allah Swt. atau buatan manusia.

 

"Kalau buatan Allah Swt. sudah pasti adilnya, yang seperti ini tidak mungkin didapatkan dalam negara demokrasi ataupun negara otoriter, tetapi hanya didapati dari negara yang berfungsi menerapkan aturan Allah Swt. secara kaffah yakni khilafah," tegasnya.

 

Kemudian ia melanjutkan, parpol yang ada tidak akan menggunakan istilah parpol koalisi ataupun parpol oposisi, karena dalam sistem Islam semua parpol wajib mendukung kebijakan khalifah, meskipun tidak ada satu pun anggota parpol tersebut yang menjadi muawin (setingkat menteri).

 

"Hak prerogatif khalifah mengangkat para pembantunya yang menurut khalifah memang mumpuni yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan latar si calon muawin yang termasuk anggota parpol oposisi atau koalisi," paparnya.

 

Ia kemudian menutup dengan pernyataan bahwa semua calon muawin itu, khususnya muawin tafwidh (pembantu khalifah di bidang pemerintahan) itu mestilah Muslim, lelaki, balig, merdeka, adil, mampu (kompeten) dan berakal.[] Emmy

Opini

×
Berita Terbaru Update