TintaSiyasi.id -- Menanggapi wacana pemerintah yang akan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap masyarakat yang membangun rumah sendiri sebesar 2,4 persen di tahun 2025 mendatang, The Economic Future Institute Dr. Yuana Tri Utomo mengatakan, harusnya pemerintah mempertimbangkan kondisi masyarakat dalam membuat kebijakan.
"Kebijakan apapun itu harusnya mempertimbangkan kondisi masyarakat sebagai pihak yang disasar dari kebijakan tersebut, termasuk kebijakan menaikkan pajak pembangunan rumah sendiri ini," tuturnya dalam program Kabar Petang: Hadeeh...Bangun Rumah Sendiri Kena Pajak 2,4 % di YouTube Khilafah News, Kamis (26/11/2024).
Ia mengungkapkan, bahwa kebijakan itu juga kontra produktif karena program pemerintah sebelumnya mendorong rakyat untuk punya rumah sendiri dengan subsidi yang telah dijanjikan.
"Tetapi yang pasti dari sisi sosial, masyarakat merasa terbebani, lebih-lebih kalangan menengah ke bawah," ujarnya.
Menurutnya, hal ini akibat dari model pembangunan ekonomi dalam sistem kapitalisme yang tidak berpihak pada rakyat. Alih-alih dari sisi kebijakan fiskal bisa menambah pendapatan negara melalui pajak padahal sebenarnya merugikan rakyat.
"Ini kan sebetulnya akal-akalan saja agar menambah pendapatan negara itu dari sisi fiskal," ujarnya.
Ia menyayangkan, dampak pasti dari kebijakan pemerintah ini justru memberatkan masyarakat. Masyarakat yang pada awalnya semangat membangun rumah sendiri karena dihitung lebih murah, Tentu dengan adanya pajak ini akan menambah biaya pembangunan. Pajak sebagai dalih pembangunan ekonomi dalam sistem kapitalisme, padahal sejatinya menyebabkan kesenjangan di masyarakat.
"Paradigma pembangunan yang mengadopsi model kapitalisme ini jelas sekali menjadikan pajak sebagai tulang punggung, seakan-akan tanpa pajak, negara tidak akan bisa melakukan pembangunan. Pandangan seperti ini kan pandangan yang sangat sempit sebetulnya," jelasnya.
Ia mengatakan, walaupun negeri ini berlimpah kekayaan alam namun derita rakyat semakin bertambah setiap harinya, salah satunya karena berbagai pungutan pajak. Alhasil, rakyat ibarat anak ayam yang mati dilumbung padi. Ini memang problemnya sangat sistemis. Harusnya problem yang sistemis itu dipandang juga dengan solusi yang sistemis, tidak sekadar edukasi slogan saja. Apalagi slogan itu slogan yang menyesatkan dan juga malah blunder.
Seperti slogan menuju Indonesia emas 2045, lanjutnya, padahal itu lebih kepada slogan maju tapi halu, maju tapi semu. "Jadi bukan negara emas justru negara cemas," cetusnya. Karenanya, ia mengajak agar masyarakat mulai menyadari bahwa masalah ini sudah sistemis dan harus diselesaikan dengan solusi yang sistemis juga, yakni kembali kepada solusi yang direkomendasikan sang pencipta, Allah Swt.
"Jadi isu perubahan yang sering disondengkan oleh beberapa politisi itu harusnya totalitas bukan sekedar perubahan penguasa, namun juga perubahan sistem, dari kapitalisme sekuler menuju Islam yang Rahmatan Lil Alamin," pungkasnya. []Tenira