Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

75 % Masyarakat Indonesia Puas dengan Kinerja Presiden?

Jumat, 18 Oktober 2024 | 11:01 WIB Last Updated 2024-10-18T04:01:52Z
TintaSiyasi.id -- Menjelang lengser, Presiden Joko Widodo dihujani kritik. Kelompok masyarakat sipil menyoroti berbagai manuver politik Jokowi untuk mendukung pencalonan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai wakil presiden hingga cawe-cawe urusan internal partai politik.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, mengklaim kritik-kritik terhadap dinasti politik tidak terlalu berdampak terhadap hasil survei kepuasan publik. Adi mensinyalir masyarakat, khususnya di kelas menengah ke bawah, masih merasa puas terhadap Jokowi. Kepuasan tersebut disebabkan oleh pembagunan infrastruktur dan penyaluran bantuan sosial.

Untuk menjaga sentimen di lapisan masyarakat bawah, Jokowi blusukan ke berbagai daerah. Ia membagi-bagikan bantuan sosial atau kaus. Ketika datang ke Mandalika, Nusa Tenggara Barat, 29 September lalu, Jokowi menyebar kaus bergambar wajahnya. Narasumber di lingkungan Istana mengatakan di level kelompok masyarakat menengah ke atas, kepuasan terhadap Jokowi telah tergerus oleh praktik dinasti politik dan pengangkangan konstitusi.(tempo.co, 9/10/2024)

Dilansir dari tempo.co (4/10/2024) sementara dari sisi pemberantasan korupsi, lembaga survei indikator politik menyampaikan mayoritas responden menilai pemberantasan korupsi di pemerintahan Presiden Joko Widodo buruk. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, mengatakan, sebanyak 30,4 persen responden meyakini pemberantasan korupsi buruk. Sedangkan, sebanyak 7,3 persen responden meyakini pemberantasan korupsi sangat buruk.

Namun masalahnya, soal sukses atau tidaknya sebuah kepemimpinan tidak bisa ditentukan hanya oleh survei kepuasan publik. Bagaimanapun, penggunaan metode sampling tidak bisa 100 persen menggambarkan realita di lapangan. Begitu juga dengan indikator penilaian yang bersifat kuantitatif tidak bisa menggambarkan apa yang terjadi di lapangan secara komprehensif. Lebih penting dari itu, kesimpulan hasil survei dipastikan mengesampingkan pihak minoritas yang menjawab tidak puas, padahal mereka pun adalah warga negara yang berhak mendapatkan layanan prima.

Banyak indikator yang di lapangan yang menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat di masa pemerintahan Jokowi tidak baik-baik saja.Pada aspek kesejahteraan, saat ini rakyat banyak yang kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya termasuk akses terhadap pendidikan dan kesehatan. Sebagaimana diketahui dan dirasakan di tahun ini saja kenaikan harga bahan-bahan pokok sudah terjadi beberapa kali. Hal ini membuat rakyat makin sengsara. Demikian pula biaya pendidikan yang terus mengalami kenaikan, khususnya di tingkat perguruan tinggi. Tak hanya itu, kenaikan tarif PPN juga terjadi di masa pemerintahan yang akan berakhir ini, yakni 11 persen di tahun 2022 dan pada tahun 2025 akan mengalami kenaikan sebesar 12 persen.

Jokowi juga disebut-sebut otoriter, kebijakannya pro oligarki, bahkan melayani kepentingan asing. Lihatlah problem buruh yang hingga hari ini tidak kunjung selesai. Bahkan mereka diterpa badai PHK di tengah daya beli yang makin rendah. Yang paling merefleksi hal ini adalah proyek IKN yang hingga hari ini tanggung jawabnya belum jelas. Juga kasus penggusuran  Rempang dan sejenisnya yang masih menyisakan PR, serta pembukaan ekspor pasir laut yang begitu mengejutkan.

Parahnya, di akhir masa jabatan pemerintahan Jokowi, masyarakat kembali di kagetkan dengan rencana pembatasan pembelian BBM bersubsidi. Kebijakan pembangunan yang jor-joran selama 10 tahun di akhir masa pemerintahan Jokowi juga tidak memberikan efek pada kesejahteraan masyarakat. Rakyat justru merasakan pahitnya karena perampasan lahan dan ruang hidup yang begitu masif akibat pembangunan-pembangunan yang berlangsung. Kesulitan hidup semakin terasa saat tsunami pengangguran menghantam dan pemerintah tidak memberikan solusi yang mengakar.

Ditambah lagi dengan tingginya angka kriminalitas pun tak terhindarkan akibat tekanan ekonomi. Sementara di tingkat pejabat, korupsi makin merajalela dan tak teratasi dan yang juga tidak kalah kontroversial adalah soal upayanya membangun politik dinasti di tengah gagalnya wacana tiga periode kepemimpinan serta dugaan upaya pelemahan fungsi kelembagaan KPK, MK dan MA. Dalam hal ini, Jokowi dituding sengaja mengonsolidasi oligarki demi melanggengkan kekuasaan dan memuluskan jalan keluarga dan kroninya menuju kursi kepemimpinan.

Indikasi-indikasi real lapangan ini, sejatinya menunjukkan bahwa angka survei yang didapatkan tidak mewakili kepuasan masyarakat secara keseluruhan. Hasil survei tersebut seolah bagian dari pencitraan yang ingin menutupi banyaknya persoalan yang dihadapi masyarakat. Bahkan sangat mungkin untuk mengelabui rakyat. 

Rakyat harusnya memahami bahwa buruknya kehidupan dari berbagai aspek yang dijalani saat ini adalah buah dari penerapan sistem kapitalisme sekularisme dengan sistem politik demokrasinya. Sistem ini telah melahirkan kepemimpinan sekuler yang hanya berorientasi pada materi atau keuntungan. Keuntungan yang dimaksud tentu saja tidak dinikmati seluruh rakyat, tetapi segelintir orang, yakni elit oligarki. 

Oleh karena itu, selama sistem ini diterapkan, maka rakyat tidak akan pernah dijadikan sebagai objek yang wajib dilayani oleh negara dan menjadi tanggung jawab negara. Tidak ada kemuliaan hidup di bawah aturan yang bersumber dari akal manusia sebagaimana kapitalisme sekularisme. Keberkahan dan kebaikan hidup hanya akan terwujud di bawah dibawah kepemimpinan Islam, yaitu Daulah Khilafah Islamiah.

Oleh: Nabila Zidane
Jurnalis

Opini

×
Berita Terbaru Update