Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Yang harus Dikritisi Bukan hanya Politik Dinasti, tetapi Lebih Mendasar yaitu Demokrasi

Senin, 16 September 2024 | 18:18 WIB Last Updated 2024-09-16T11:18:48Z
TintaSiyasi.Id -- Menyikapi hebohnya politik dinasti yang semakin terang-terangan, Aktivis Muslimah Ustazah Iffah Ainur Rochmah mengatakan justru yang dikritisi bukanlah praktik politik dinasti, tapi sistem demokrasi.

"Justru yang harusnya dikritisi bukanlah praktik politik dinastinya belaka, tetapi semestinya lebih mendasar, lebih fundamental dari itu, yakni bagaimana mengkritisi sistem demokrasinya," ujarnya di kanal YouTube Muslimah Media Hub: Dinasti Politik, Wajah Asli Demokrasi| Word View, Sabtu, (14/9/2024).

Ia mengajak, agar semua masyarakat tidak hanya marah atau geram pada praktik buruk politik demokrasi. Tetapi rakyat harus membuka lebar-lebar kacamata atau pandangan bahwa dalam demokrasi justru praktik politik dinasti maupun praktik-praktik buruk lainnya untuk memenangkan kepentingan kelompoknya sendiri dan mengabaikan rakyat justru menjadi memiliki legitimasi, mempunyai pembenar karena bisa disahkan sebagai undang-undang.

"Nah, kalau sudah disahkan sebagai undang-undang, maka menjadi legal dan harus dianggap benar. Karenanya, di Amerika dengan begitu lugasnya dipertontonkan bahwa ada keluarga-keluarga tertentu yang memang langganan menjadi penyelenggara negara, mulai jadi kepala negara atau presidennya, menjadi jaksa agungnya, menjadi pejabat-pejabat penting negara dan rakyat tidak bisa menyebut itu sebagai keburukan, kenapa? Karena tidak ada undang-undang yang dilanggar," ungkapnya.

Menurutnya yang menjadi masalah, ketika tidak ada undang-undangnya, maka kemudian akan dirumuskan undang-undang yang baru agar kepentingan pemilik modal bisa berjalan mulus. Hal tersebut tentu saja membuat rakyat menjadi geram,  menjadi marah karena nampak secara vulgar, secara terang-terangan memanipulasi aspirasi rakyat dan memenangkan kepentingannya dengan menggunakan atribut atau dengan menggunakan instrumen undang-undang untuk melegitimasi.

"Nah, kita bisa melihat sebenarnya  yang fundamental menjadi kesalahan demokrasi adalah andaikan di dalam demokrasi itu ada sekian banyak persyaratan-persyaratan, sebenarnya apa landasannya? Misalnya, kalau ada undang-undang yang mensyaratkan usia tertentu baru bisa menjadi calon kepala negara, mungkin juga ada persyaratan berupa asal suku, warna kulit sebagai syarat pemimpin, apa coba landasan yang dipakai di dalam sistem demokrasi? Nyatanya hanya kesepakatan dan kesepakatan itu di atas kertas. Artinya tidak ada yang kemudian menentang," jelasnya.

Tetapi lanjutnya, dibalik kesepakatan tersebut kemudian rakyat bisa menyaksikan dan merasakan adalah bahwa pertimbangan kepentingan-kepentingan, pertimbangan kemaslahatan-kemaslahatan hasilnya justru berpihak kepada kemaslahatan yang merumuskan aturan tersebut atau diduga lebih mempertimbangan adanya pesan dari pihak tertentu yang ikut memodali mereka untuk sampai ke kursi kekuasaan bukan untuk kepentingan rakyat.

"Jadi, regulasi undang-undang atau mungkin secara spesifik syarat-syarat untuk memilih pemimpin misalnya semuanya bisa diubah asal melalui jalur atau sesuai dengan rule of game nya yang disepakati, yakni kemudian undang-undang yang baru ini harus diajukan baik oleh eksekutif ataupun legislatif dan kemudian disetujui, diketok palu oleh eksekutif atau legislatif," bebernya.

Ia menjelaskan bahwa antara legislatif dan eksekutif tersebut dua-duanya harus kompak. Namun sayangnya, kekompakan tersebut bukan karena satu patokan yang baku, misalnya karena aturan baru adalah aturan yang benar, tidak ada. Karena semuanya serba kekuatan manusia, kompromistis dan semuanya serta relatif.

"Ya boleh jadi, karena memang kedua-duanya bersepakat karena itu akan memenangkan kepentingan kedua belah pihak atau karena keduanya saling tersandera karena ada aib atau ada sebuah kesalahan yang ingin ditutupi atau bahkan kedua-duanya sudah bersepakat karena sama-sama ingin memenangkan kepentingan pihak yang memodali mereka sampai ke kursi kekuasaan," paparnya.

Ia meyakinkan bahwa di negara manapun demokrasi berjalan, yang paling penting bukan kepentingan rakyat, tetapi kepentingan mereka sendiri, yaitu kepentingan mereka yang memiliki kesempatan menjadi para penyelenggara negara. Mereka pun lebih banyak disupport oleh pihak pemodal dan pihak pemodal tersebutlah yang nanti akan mengendalikan kebijakan-kebijakan mereka manakala mereka meneken satu keputusan.

"Jadi, gimana pandangan Montesque tadi yang mengatakan bahwa dengan trias politika akan ada keseimbangan, kekuasaan tidak mengumpul kepada sepihak, justru kebalikannya kekuasaan benar-benar bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk berbagai pihak bukan untuk kepentingan rakyat," pungkasnya.[] Nabila Zidane

Opini

×
Berita Terbaru Update