Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Sejarawan Kritisi Logika Berfikir Guru Gembul, Tak Paham Histografi Tradisional

Minggu, 29 September 2024 | 06:20 WIB Last Updated 2024-09-28T23:20:10Z


TintaSiyasi.id -- Sejarawan Moeflich Hasbulah mengkritisi logika berfikir Gus Wafi bahwa  Guru Gembul (Gus Wafi) tidak paham histografi tradisional. 

“Guru Gembul tuh enggak ngerti apa itu historiografi tradisional. Padahal, itu adalah tradisi Barat dalam mengukur kredibilitas sebuah sumber yang harus ada rujukannya dan sumbernya,” jelasnya dalam kanal Youtube  Moeflich H. Hart bertema Kritik atas Tradisi Ilmiah barat Guru Gembul, Jumat (13/9/2024).

Sedangkan menurutnya, para ulama, para pujangga, para sastrawan di Asia Tenggara abad ke-17 kebelakang itu belum ada tradisi ilmiah seperti itu, maka mereka menulis berdasarkan pengetahuannya. Berdasarkan tradisi lisan, apa yang mereka dengar, mereka belajar pada seseorang, pada gurunya dan sebagainya. Lalu dituliskan menjadi  naskah-naskah kuno, menjadi naskah-naskah, menjadi kitab-kitab menjadi buku-buku klasik. 

“Namun, itu bukan berarti tidak ilmiah karena begitulah ilmiah saat itu. Pengertiannya enggak bisa diukur oleh tradisi akademik Barat modern atau tradisi ilmiah modern yang harus selalu mensyaratkan kutipan rujukan dan sumber itu,” bebernya.

Jadi menurutnya, itu sebetulnya bukan hanya salah, tetapi sudah melecehkan para ulama yang dulu menulis ribuan kitab  di dunia Islam. Lalu oleh Guru Gembul disebut sebagai historografi tradisional yang tidak akademis, .yang tidak ilmiah.

“Salah sekali, itu fatal. Itu menyatakan bahwa kitab-kitab para ulama yang ditulis ribuan tahun dalam tradisi ilmiah dan keemasan dunia Islam yang tradisi keilmuan Islam itu, menginspirasikan tradisi akademik Barat disebut kemudian tidak ilmiah atau tidak akademik. Ini gara-gara Guru Gembul di pikirannya yang tahunya hanya tradisi ilmiah Barat, akhirnya dangkal dalam memahami ilmiah atau tradisi ilmiah,” katanya.

Kemudian ia menuturkan, ketika ditanya pengertian ilmiah menurut Gus Wafi sudah bagus dari perspektif  Islam. Gus Wafi mengutip kitab Lawamiul Anwar karangan seorang ulama, namanya Imam Farini. Yang menarik adalah di situ dijelaskan tiga derajat ilmu, tiga derajat kebenaran atau tradisi ilmiah itu. 

“Yang pertama adalah Alhawasus Salimah, panca indera yang sehat, yang normal, yang menyaksikan sebuah peristiwa, lalu dikabarkan kepada orang lain berdasarkan pengamatan panca indera itu. Yang kedua adalah kebenaran Khobarun Nabi Almayyad Bil Mukjizat,  kebenaran yang disampaikan oleh Nabi dengan mukjizat,” jelasnya.

Menurut Moeflich, kalau sudah nabi yang menyampaikan, tidak perlu diperkuat oleh mukjizat. Jadi makna yang lebih tepatnya adalah kalau kebenaran dari nabi atau kabar dari nabi, apalagi yang dibuktikan dengan mukjizat? 

“Karena kita sangat beriman kepada kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah, sehingga apa pun yang beliau sampaikan, kita percaya sebagai umatnya, apalagi dibuktikan dengan mukjizat yang biasanya ditunjukkan kepada orang-orang kafir. Yang ketiga adalah Khubarul Aqli,  kebenaran akal yang logis rasional dan masuk akal,” imbuhnya.

Ia mengatakan, yang menarik adalah hal tersebut sebenarnya definisi ilmiah yang sangat kuat, yang sangat logis rasional, sekaligus betul-betul dari tradisi Islam, dimana kebenaran itu dimasukkan ukuran kebenaran itu. Di situ ada khabar dari nabinya, kalau yang tadi Hawasiah Indrawi.

“Kemudian ilmiah itu di dunia Barat dengan dunia Islam sama, tetapi ada kriteria kebenaran dari Nabi kabar dari Nabi kita yakini kebenarannya apalagi dikuatkan dengan mukjizat. Nah itu adalah kebenaran versi Islamnya,” tambahnya.

Ia menerangkan, tradisi penulisan kitab di kalangan para ulama Islam tidak begitu, bukan historiografi tradisional. Para ulama Islam dulu menulis selalu mengutip para ulama sebelumnya, apalagi pada zaman keemasan Islam. Di mana tradisi ilmiah tradisi ilmu sangat hidup berkembang, bahkan menginspirasi dunia Barat, modernitas Barat sekarang. Apalagi dalam ilmu hadis.

Kemudian ia menunjukkan bagaimana keketatan menguji kredibilitas sumber informasi, sumber ilmu melalui Matan dan Sanan yang panjang itu. Para perawi itu diuji kredibilitasnya, kejujurannya suka bohong atau tidak, suka berdusta atau tidak, bahkan penampilannya sehari-hari kalau tidak menunjukkan seorang yang kredibel misalnya, berpakaian compang-camping, seadanya. Atau bahkan diceritakan dalam ilmu Hadis bila memakai sendal itu beda warna dalam bahasa Sundanya Singsirangan.

“Itu sudah menurunkan derajat hadis yang diriwayatkannya, artinya kredibilitasnya rendah, apalagi misalnya makan sambil berdiri apalagi pernah mencuri, pernah berdusta berbohong sudah itu gugur. Itu riwayatnya. Nah, itu kualitas mengukur sumber sejarah, sumber informasinya begitu. Makanya, hadis-hadis Bukhari itu sangat ketat pemeriksaan hadisnya, sehingga banyak ribuan yang terbuang, kemudian yang terkumpul hanya sekitar 2.500 hadis yang teruji betul-betul sahih gitu,” tandasnya.[]Sri Nova Sagita

Opini

×
Berita Terbaru Update