Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Refleksi Hari Kelahiran Nabi

Rabu, 18 September 2024 | 10:32 WIB Last Updated 2024-09-18T03:32:55Z

TintaSiyasi.id -- Hari itu adalah hari bersejarah yang dinantikan oleh seluruh alam semesta. Langit terlihat cerah, angin ikut berhembus merayakan dengan kesejukannya. Pada hari itu api abadi majusi yang telah berkobar selama 1000 tahun tiba-tiba padam. Bertepatan dengan itu lahirlah satu sosok mulia yang akan mengubah warna dunia melalui risalah yang dibawa olehnya. Sosok itu Bernama Muhammad bin Abdullah, yang lahir pada 12 Rabiul awwal tahun 571 masehi atau disebut juga tahun gajah. Pada usianya yang ke 40 beliau diangkat menjadi Rasul yang menyebarkan risalah islam kaffah sekaligus menjadi teladan pemimpin bagi kaum Mukmin.
 
Sosoknya begitu dicintai para sahabat dan umatnya, bahkan yang belum pernah bertemu dengannya. Sungguh ini suatu hal yang begitu luar biasa, karena biasanya perasaan cinta itu baru akan muncul ketika kita bertemu dan melihat sosoknya. Tapi tidak dengan Rasulullah. Rasa cinta itu muncul melalui pembelajaran sirahnya. Rasa rindu kepada sosoknya membuat umat Islam bershalawat atasnya, berusaha menghidupkan sunahnya bahkan waktu kelahirannya pun dijadikan momen penting dan istimewa yang disambut dengan penuh suka cita oleh umat Muslim.
 
Deklarasi cinta kepada Rasulullah memang butuh pembuktian. Melakukan shalawat, mempelajari sirahnya, mengikuti sunahnya menjadi bagian dari pembuktian tersebut. Tapi apakah cukup dengan melakukan hal-hal tersebut? Harus sejauh mana pembuktian cinta kepada Rasulullah?
 
Rasulullah diutus untuk menebarkan rahmat Islam yang mulia keseluruh penjuru dunia melalui dakwah. Bersama para sahabat beliau berhasil menguatkan pijakan Islam di Jazirah Arab hingga akhirnya Islam menjelma menjadi satu kekuatan baru dalam melawan segala kemungkaran. Di bawah kepemimpinannya umat Islam bergerak menuju gemerlap cahaya kebangkitan. Beliau bukan hanya sekadar pemuka agama yang taat luar biasa tapi juga sosok pemimpin negara yang ideal. Rasulullah menjadi contoh sosok pemimpin yang menjalankan fungsinya sebagai pelindung umat dari berbagai kerusakan dan kezaliman, juga bertanggung jawab terhadap kemaslahatan umat melalui tegaknya hukum-hukum yang diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
 
Beliaulah yang melayani umat dan tidak minta dilayani, beliau mendahulukan kepentingan umatnya tanpa memikirkan kepentingan pribadinya. Pemimpin mana yang rela terjun langsung mengeruk parit bersama umatnya hingga badannya berlumuran tanah? Pemimpin mana yang ikut merasakan kelaparan seperti umatnya hingga mengikat dua buah batu diperutnya untuk meredakan rasa lapar tersebut? Beliau rela menanggung yang terberat demi Allah dan demi umatnya, karena Rasulullah begitu mencintai umatnya dan beliau memahami konsekuensi dari amanah ini yaitu pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah SWT.
 
Model kepemimpinan seperti inilah yang dirindukan oleh umat. Sosok pemimpin yang amanah dan melayani inilah yang hilang saat ini. Setelah Rasulullah wafat, teladan kepemimpinannya diteruskan melalui kepemimpinan para khalifah hingga 13 abad lamanya. Namun, setelah kekhilafahan terakhir runtuh di Turki pada tahun 1924 silam, umat Islam tidak lagi memiliki sosok pemimpin yang menjadi pelindung. Tidak ada lagi sosok yang memastikan keamanan hidup umat. Tidak ada lagi sistem Islam yang menjamin keberkahan Ilahi. Yang ada hanyalah sosok-sosok yang diangkat untuk menjadi pelayan pemilik cuan, bahkan tidak jarang umatpun dikorbankan.
 
Semua perjuangan yang Rasulullah lakukan untuk menegakkan Islam beberapa abad silam seakan hilang tanpa jejak, tertutup oleh gelapnya kerusakan yang terjadi karena sistem sekuler yang diterapkan. Gelar umat terbaik yang disematkan kepada kaum Muslim digantikan oleh bayang-bayang kebodohan. Jati diri sebagai orang yang beriman digadaikan oleh gengsi, hanyut dalam budaya hedonisme. Kekuatan ukhuwah yang dibanggakan olehnya mulai melemah karena ditembakkannya peluru ashabiyah. Lalu coba tanyakan lagi kepada diri sendiri, benarkah kita sudah benar-benar mencintai Rasulullah? Padahal risalahnya banyak yang dicampakkan. Apakah kita sudah benar-benar meneladaninya dalam segala aspek, bukan hanya aspek individual saja?
 
Maka perlu rasanya kita sebagai umat Islam merenungi kembali makna peringatan maulid Nabi dan juga makna cinta kepadanya. Jangan sampai peringatan hari kelahiran Sang Nabi hanya sebatas seremoni meriah yang kosong makna. Jadikan momen ini sebagai titik tolak untuk benar-benar meneladani Rasulullah di segala aspek, termasuk mengusahakan hadirnya sosok pemimpin yang ideal, yang tidak tunduk pada hawa nafsu dunia, yang memperjuangkan tegaknya islam kaffah melalui dakwah. []


Oleh: Phihaniar Insaniputri
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update