TintaSiyasi.id -- Topik susu ikan sedang ramai dibicarakan di media sosial. Hal ini bermula saat susu ikan disebut-sebut sebagai alternatif susu sapi untuk program makan bergizi gratis dari presiden terpilih Prabowo Subianto. Epi Taufik, Ahli Ilmu dan Teknologi Susu, Dosen Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB) menuturkan, susu ikan seharusnya berasal dari jenis ikan mamalia (mammae). Sementara itu, susu ikan yang dikenalkan sebagai alternatif susu sapi merupakan produk ekstraksi protein ikan, bukan hasil perah ikan. (Kompas.com, 11/9/2024)
Kebijakan ini pun menuai sorotan dari media asing. Salah satu nya adalah surat kabar asal Australia, The Sydney Morning Herald, mewartakan dalam artikelnya berjudul 'An Election Promise of Free Food May End Up with Fish Milk on the Menu', koran Negeri Kanguru itu menyoroti rencana mengganti menu susu sapi dengan susu ikan demi menekan anggaran yang bengkak. Namun, media tersebut juga mempertanyakan soal dampak kesehatan dari susu ikan dan apakah bisa tetap mempertahankan nilai gizi dan nutrisi yang terkandung dalam susu sapi. (cnnindonesia.com, 13/9/2024)
Berangkat dari isu stunting dan isu ketahanan pangan yang merupakan isu global, akhirnya mengambil solusi dengan wacana program makan siang gratis, susu gratis, dan susu ikan gratis. Kebijakan ini seolah untuk rakyat, padahal di balik itu ada peluang usaha yang cukup besar kepada banyak korporasi dan oligarki. Dalam hal ini tentunya akan ada proyek-proyek industri untuk memproduksi makanan atau minuman apa saja yang akan diberikan dalam program makan siang gratis. Rakyat tentu senang saja mendapatkan makan siang gratis. Namun, apakah makan siang gratis menjadi solusi bagi problem stunting dan ketahanan pangan?
Tentu saja solusi makan siang gratis belum cukup untuk menyelesaikan problem tersebut. Sebab, problem gizi buruk disebabkan oleh faktor sistemik yaitu kemiskinan yang di alami keluarga sehingga berdampak pada kurangnya pemenuhan asupan gizi keluarga. Ini semua terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme sekularisme dalam kehidupan kita yang mengakibatkan seluruh aspek kehidupan masyarakat rusak. Apalagi jika dikaitkan dengan watak rezim sekuler demokrasi yang setengah hati dalam melayani dan mustahil dapat mensejahterakan rakyat. Maka, kebijakan makan siang gratis hanyalah cara yang dibuat oleh negara dengan menunggangi isu generasi untuk mensukseskan proyek industrialisasi para korporasi.
Dalam sistem kapitalisme, penguasa hanyalah berperan sebagai regulator dan fasilitator para pemilik modal. Antara penguasa dan para pemilik modal akan bergandengan tangan untuk memperoleh manfaat sekalipun harus mengorbankan rakyatnya. Makan siang gratis hanya sebuah proyek yang akan menguntungkan pihak tertentu.
Jauh berbeda dengan kepemimpinan Islam yang ikhlas melayani rakyat dan punya perhatian khusus pada jaminan kualitas generasi. Memenuhi hak dasar mereka dengan pemenuhan yg maksimal dan berkualitas. Semua ini akan terwujud dalam penerapan Islam secara kaffah yakni khilafah. Khilafah akan menjamin terpenuhi nya kebutuhan dasar individu rakyat mulai dari sandang, pangan dan papan secara layak. Penerapan khilafah akan mewujudkan semua itu sebab aspek ekonomi juga akan menerapkan ekonomi Islam.
Gizi buruk terjadi sebab rendah nya pendapat individu sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan secara layak. Rendahnya pendapatan disebabkan karena sulitnya lapangan pekerjaan yang diperoleh masyarakat. Maka jelas, ini semua adalah tanggungjawab penguasa.
Sebagaimana hadist Rasulullah SAW, "Imam/Khalifah itu tak lain] lakna perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Khilafah juga akan menjaga keberlangsungan peradaban yg ditopang oleh generasi kuat fisik dan kepribadian. Khilafah akan mensejahterakan rakyat dengan konsep baitulmal yang kuat dari pemasukan negara khilafah. Dengan konsep baitulmal inilah negara akan membiaya kebutuhan dasar setiap individu rakyat.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Eva Susiani
Aktivis Muslimah