Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Perang Hastag: Indonesia Darurat vs Indonesia Baik-Baik Saja

Senin, 02 September 2024 | 11:19 WIB Last Updated 2024-09-02T04:20:12Z
TintaSiyasi.id -- Seru! Perang hastag menyeruak di dunia maya. Sebelumnya ramai hashtag Indonesia Darurat hingga Garuda Biru di berbagai platform media sosial. Ada juga 
 #KawalPutusanMK yang trending di Twitter. Semua itu demi merespons akrobat DPR yang merevisi UU Pilkada hanya dalam waktu 24 jam setelah diketoknya putusan Mahkamah Konstitusi (MK). 

Setelah aksi unjuk rasa (demo) yang digelar di berbagai kota, hastag Indonesia Baik-Baik Saja membanjiri jagat medsos. Diduga sebagai  tandingan hastag Indonesia Darurat dan demi mengalihkan isu politik yang tengah viral. Tagar Indonesia Baik-Baik Saja bukanlah fenomena spontan. Ia bagian dari strategi pencitraan yang digerakkan oleh buzzer pro rezim. 

Melihat pola buzzer selama ini, mereka bertugas mengarahkan opini publik ke arah yang diinginkan oleh pihak tertentu. Dalam isu ini, mereka berperan untuk membentuk persepsi publik bahwa Indonesia berada dalam kondisi baik, aman, dan terkendali. Meski fakta berbicara sebaliknya. Fenomena ini menunjukkan betapa mudahnya publik dipengaruhi oleh narasi yang dikendalikan. Lalu tanpa disadari, mereka menerima informasi yang sedang dimanipulasi.

*Penyebab Muncul Hastag Indonesia Baik-Baik Saja di Tengah Darurat Negeri*

Menyusul gelombang massa menolak revisi UU Pilkada oleh DPR, kontra narasi berbunyi “Indonesia Baik-Baik Saja” mencuat dari akun-akun yang diduga buzzer seperti @rcyberprojo14 dan @benpro.tv. Sementara itu, akun X @siimpersons meyakinkan publik bahwa unggahan kontra narasi merupakan aksi buzzer. Ia mengunggah tangkapan layar pesan WhatsApp yang memperlihatkan bayaran beragam untuk kampanye kontra narasi tersebut. Untuk unggahan di Instagram, seorang buzzer akan dibayar Rp10 juta. Sementara di Tiktok senilai Rp15 juta.

Sebelumnya, sejumlah akun X bercentang biru seperti @jawafess dan @neohistoria_id juga mengungkap tawaran untuk turut menggaungkan kontra narasi terhadap “Peringatan Darurat”. Salah satunya mengaku ditawarkan nominal rupiah cukup besar untuk 10 cuitan pemecah dukungan aksi menolak pengesahan RUU Pilkada (prindonesia.co, 23/8/2024). 

Munculnya hastag Indonesia Baik-Baik Saja tentu menjadi anomali di tengah kondisi bangsa yang nampak tidak baik-baik saja. Apakah negara sedang baik-baik saja, bila DPR justru membegal konstitusi, tidak tunduk pada putusan MK hingga merevisi UU Pilkada diduga demi meloloskan anak presiden maju pencalonan Pilkada dengan usia mudanya saat ini? Apakah bangsa sedang baik-baik saja, bila demo mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat terjadi di berbagai kota dengan anarkisme aparat di dalamnya? 

Apakah Indonesia betul baik-baik saja, bila kekuasaan hari ini didominasi para Peng-Peng (Penguasa-pengusaha/oligarki) tanpa peduli kemaslahatan rakyat? Apakah masih baik-baik saja, sementara realitasnya negeri ini dikungkung aneka masalah; utang tinggi, kemiskinan, korupsi pejabat, legalisasi miras hingga judi, kriminalitas remaja, kekerasan anak dan perempuan, dan sebagainya? 

Jelas bahwa hastag Indonesia Baik-Baik saja hanyalah propaganda untuk menggiring opini publik demi tujuan mereka, dan tidak hendak menjelaskan realitas. Penggunaan buzzer (pendengung) dan influencer (pemengaruh) yang diduga dilakukan rezim, bukanlah hal baru. Kemunculan buzzer dan influencer politik kemudian populer disebut Buzzer Rp mulai populer di Indonesia sejak Pilkada DKI tahun 2012. Lantas, mengapa hastag Indonesia Baik-Baik Saja beberapa waktu lalu membanjiri dunia maya di tengah kondisi darurat bangsa ini? Berikut analisisnya. 

Pertama, sebagai kontra narasi dari hastag Indonesia Darurat dan Peringatan Darurat. Nampak jelas inilah yang terjadi. Hastag kedua dibuat sebagai pembanding atas hastag sebelumnya. Dengan menampilkan narasi yang vis a vis. Satunya darurat, yang satu baik-baik saja. 

Kedua, membungkam suara kritis yang mempersoalkan revisi UU Pilkada oleh DPR. Tagar manipulatif ini diduga diharapkan bisa membekap suara para pendemo dan elemen masyarakat lainnya yang mengkritisi soal pembegalan konstitusi dan huru-hara jelas kontestasi Pilkada. 

Ketiga, membentuk opini publik bahwa keadaan Indonesia aman dan terkendali. Lebih tepatnya terjadi pembohongan publik agar masyarakat merasa bangsa dalam keadaan baik sehingga tidak perlu melakukan kritik, demo, dan aksi penentangan lainnya. 

Keempat, agar citra positif rezim terus terbangun. Terlebih rezim sekarang pada Oktober 2024 mendatang sudah purna tugas. Sehingga penting untuk mengakhiri masa jabatan dengan kesan baik. Meski upaya ini tak sepenuhnya berhasil untuk menutup bopeng politik akibat ulah rakus mereka. 

Demikianlah beberapa penyebab maraknya hastag Indonesia Baik-Baik Saja di tengah realitas karut-marutnya kondisi bangsa hari ini. Sejatinya, penggunaan buzzer untuk menopang eksistensi rezim adalah bentuk inferioritas rezim hingga butuh tangan-tangan buzzer demi membeli dan memborong pencitraan yang kian buram di tengah publik.

*Dampak Hastag Indonesia Baik-Baik Saja terhadap Sense of Crisis di Indonesia*

Analis media sosial Drone Emprit and Kernels Indonesia, Ismail Fahmi, mengungkapkan bahwa buzzer bekerja berdasar pesanan isu dari public relation, partai politik, perusahaan produk tertentu, pemerintah, atau pihak lainnya. Buzzer cenderung mengamplifikasi isu yang telah ada, tidak membuat isu sendiri. Adapun influencer adalah sosok terkenal yang berpengaruh di bidangnya masing-masing. Pihak bermisi yang menggulirkan isu via medsos, merekrut influencer lantaran pengaruh besarnya. 

Karena bermanfaat dalam membentuk opini publik dan citra positif,  pemerintah tak segan meminta buzzer dan influencer menjadi partner. Ada beberapa alasan pemerintah menggunakan jasa keduanya yaitu; butuh tangan ketiga sebagai penyokong kebijakan, punya uang untuk memborong pencitraan, produk politik (hukum)nya kian tak laku, dan lebih efektif daripada menggunakan media mainstream. 

Terkait banjir hastag Indonesia Baik-Baik Saja, potensi dampak yang bisa muncul terhadap sense of crisis di Indonesia antara lain;

Pertama, masyarakat mudah terkecoh oleh tagar manipulatif ini. Propaganda buzzer bisa begitu efektif karena masih rendahnya kesadaran politik masyarakat. Sebagian masyarakat juga cenderung menerima informasi apa adanya tanpa menyaring kebenarannya. 

Kedua, masyarakat hidup dalam kebohongan dan manipulasi informasi. Digiring oleh propaganda semu hingga tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Tak lagi bisa membedakan mana yang benar dan salah. 

Ketiga, polarisasi masyarakat. Perang hastag meniscayakan terjadinya perpecahan antarkelompok masyarakat. Terjadi pro kontra terhadap rezim berkuasa. Minimal perdebatan sengit di medsos. 

Keempat, sensitivitas pemerintah terhadap kritik publik memudar. Pabrikasi percakapan, perang tagar serta disinformasi yang diproduksi buzzer politik dapat menimbulkan distorsi di ruang publik, mengaburkan batas antara aspirasi publik yang otentik dengan aspirasi manipulatif. Ini menunjukkan rezim tak memiliki sense of crisis dan tak mau dikritik.  

Demikian dampak hastag Indonesia Baik-Baik Saja terhadap sense of crisis publik. Di satu sisi, akan melemahkan daya sensitivitas masyarakat terhadap problem-problem kebangsaan. Di sisi lain, penguasa kian arogan dan nyaris tak tersentuh kritik.

*Strategi Keluar dari Darurat Sistem Pemerintahan Menuju Pengelolaan Negara Secara Benar*

Perubahan adalah keniscayaan. Bahkan wajib bagi manusia untuk mengubah apa-apa yang buruk di sekitarnya agar menjadi kebaikan. Sebagaimana firman Allah SWT, "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri" (QS. Ar Ra'du: 11).

Untuk mengeluarkan Indonesia dari keadaan darurat, cobalah menengok konsep Islam sebagai ajaran mayoritas penduduk negeri ini. Setidaknya ada empat transformasi yang ditawarkan Islam agar manusia (juga bangsa) mampu berhijrah dari kegelapan menuju cahaya terang kehidupan sejati.

Pertama, mengubah pandangan hidup manusia. Dari pemikiran yang dangkal ke pemikiran yang mendalam. Hal ini tercermin dalam akidah Islam yaitu pemikiran menyeluruh tentang alam dari sebelum dan sesudah kehidupan. 

Semula orang hanya tahu hidup itu sekadar: kerja, cari duit, cari makan, dan lain-lain. Islam datang dengan mengubah pemahaman tentang kehidupan. Hidup ini hanya jembatan kehidupan yang setelahnya ada pertanggungjawaban. Dunia sementara, sebentar tapi sangat menentukan baik buruknya akhirat yang kekal selama-lamanya. Tidak ada tempat kembali.

Kedua, Islam mengubah standar perbuatan manusia, yang semula hanya untuk kenikmatan diri sendiri dan serba jasmani (hedonistik) menjadi berstandar halal atau haram.

Semula makan sekadar untuk kenikmatan, lalu berubah menjadi standar halal atau haram. Tak sekadar nafsu tetapi ada pertimbangan halal atau haram. Dalam perkara makan pun Muslim punya visi akhirat. Jadi orang Islam itu orang yg cerdas, tidak dungu (a-vidya) karena mampu mengendalikan dirinya. Perbuatan atau nafsunya dikendalikan dan visinya jangka panjang setelah kematian. 

Kalau manusia paham dan bervisi jangka panjang, ia tidak akan korupsi. Ingatlah, Bangsa Arab semula tidak dipandang dunia tapi ketika memiliki standar hidup, bahkan baru 10 tahun saja, bangsa ini bisa berhadapan tegak dengan bangsa Persia dan Romawi.

Ketiga, mengubah pemahaman tentang bahagia. Apa itu bahagia? Bahagia sebelum Islam dimaknai sebagai pemuasan nafsu dan keinginan terpenuhi. Setelah Islam datang, bahagia itu adalah ketika mendapat ridha Allah SWT. 

Salman Al Farisi itu miskin tetapi merasa bahagia. Abdurrahman bin Auf dengan uangnya diinfaqkan di jalan Allah. Itu bahagia. Umar bin khattab yang semula gagah berani dan bangga patriotis, ia jadi pembela Islam tangguh karena untuk mencapai kebahagiaan sebagai umat yang satu tidak tersekat dinding chauvinisme.

Keempat, mengubah pola interaksi manusia, semula hanya mengejar manfaat dan diikat sukuisme, nasionalisme, dan atau negeri menjadi ikatan akidah. 

Allah SWT berfirman, "Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat." (QS. Al Hujurat: 10)

Orang Islam itu merasa bersaudara dengan tidak peduli dari asal bangsanya. Ummatan wahidah. Negeri Madinah itu sejak awal terdiri dari dua suku bangsa yakni Aus dan Khazraj konflik lebih dari 200 tahun. Dengan datangnya Islam mereka bersatu dalam akidah. Perbedaan tidak mesti harus berhadap-hadapan untuk dipertentangkan dan bermusuhan.

Dengan demikian, transformasi hakiki itu berlandaskan pada ideologi (akidah) yang memancarkan sistem pengaturan urusan manusia. Pun kebangkitan yang sahih  berdasar pada akidah sahih yaitu akidah Islam.

Selanjutnya, untuk mewujudkan kebangkitan dibutuhkan langkah-langkah sebagai berikut: 

Pertama, merumuskan konsepsi syariat untuk mewujudkan kebangkitan (akidah, sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem sosial, sistem pendidikan, sanksi hukum, hukum pembuktian, politik luar negeri, dan sebagainya) dengan matang dan mendalam. 

Kedua, menghimpun umat  berlandaskan konsepsi di atas. Harus ada orang-orang yang secara terorganisir melakukan kontak dinamis dengan umat untuk mensosialisasikan fikrah (konsepsi syariat) secara berpengaruh sehingga fikrah tersebut menjadi fikrah mereka. Hingga muncul kesadaran ideologis akan urgensi dan wajibnya fikrah tersebut diwujudkan pada tataran riil.

Ketiga, membentuk kesadaran politik di tengah umat hingga terbentuk dukungan kuat. Dengan begitu mereka tahu ancaman terhadap Islam, umat, negara, masyarakat dan diri mereka.

Keempat, menggalang dukungan politik umat. Setelah mayoritas komponen umat Islam menerima dan mendukung, maka dukungan politik terhadap fikrah tersebut akan menguat. Dukungan inilah sarana paling efektif untuk mewujudkan kebangkitan hakiki dan benar (Islam).

Diharapkan, selanjutnya terjadi perubahan dengan pondasi fikrah yang kokoh yaitu akidah dan syariat Islam. Itulah perubahan yang dicontohkan Nabi SAW. Beliau membangun pemerintahan Islam di Madinah berlandaskan akidah Islam (laa ilaaha illa Allaah Muhammad Rasulullaah) dan sistem yang terpancar darinya. 

Oleha karena itu, bila ingin Indonesia bangkit, maka himpunlah umat Islam di Indonesia dengan fikrah (akidah dan syariat) Islam, mengarahkan hidup mereka pada fikrah Islam, dan membangun pemerintahan berdasarkan fikrah Islam tersebut.

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media )

Opini

×
Berita Terbaru Update