Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Penyalahgunaan Kaidah Fikih untuk Melegitimasi Security Tidak Salat Jumat

Kamis, 12 September 2024 | 08:43 WIB Last Updated 2024-09-18T15:29:22Z

Tintasiyasi.ID -- Ahli Fikih Islam K.H. M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si. menjelaskan bahwa terkait hukum security yang meninggalkan salat Jumat dengan menggunakan dua dalil, yaitu kondisi darurat karena menjaga keamanan dan kaidah Fikih dar‘ul mafaasid muqoddamun ‘ala jalb al-mashalih, maka penggunaan kaidah-kaidah Fikih adalah batil dan tidak dapat diterima.

“Penggunaan dalil terkait hukum security meninggalkan salat Jumat, yaitu kondisi darurat karena menjaga keamanan dan kaidah Fikih dar‘ul mafaasid muqoddamun ‘ala jalb al-mashalih, maka kaidah-kaidah Fikih tersebut adalah batil dan tidak dapat diterima,” bebernya kepada TintaSiyasi.ID, Kamis (12/09/2024).


Kiai Shiddiq mengatakan, mengenai alasan pertama yang mereka kemukakan, yaitu kondisi darurat karena menjaga keamanan, sungguh tidak dapat diterima, karena definisi darurat yang sahih adalah kondisi terancamnya jiwa, atau yang mendekati itu, misalnya kehilangan anggota tubuh, misalnya mata menjadi buta, kaki lumpuh, dsb. Apakah security (satpam) tersebut menghadapi kondisi terancamnya jiwa ketika bertugas sehingga security (satpam) tersebut lalu meninggalkan salat Jumat demi menyelamatkan nyawanya? Tidak, bukan?” tuturnya retoris.


Kondisi maksimal yang mungkin dibayangkan adalah kondisi khawatir akan hilangnya harta, bukan hilangnya nyawa. Padahal kekhawatiran hilangnya harta, tidak termasuk kondisi darurat, menurut definisi yang sahih atau rājih dari istilah darurat, seperti yang akan kami uraikan,” urainya.


“Berikut ini kami bentangkan berbagai definisi darurat menurut ulama mazhab empat dan ulama kontemporer, yang terhimpun dalam kitab Al-Dharūrah wa Al-Hājah wa Atsaruhumā fī At-Tasyrī’ Al-Islāmī, karya Syekh Abdul Wahhab Ibrahim Abu Sulaiman (1994), dan kitab Nazhariyyah Al-Dharūrah Al-Syar‘iyyah, karya Syekh Wahbah az-Zuhaili (1997),” lanjutnya menjelaskan.

 

1.    Definisi Darurat Menurut Mazhab Hanafi


Imam Al-Jashshash dalam kitabnya Ahkām al-Qur’ān (I/150) ketika membahas makhmashah (kelaparan parah) mengatakan:


اَلضَّرُوْرَةُ هِيَ خَوْفُ الضَّرَرِ أَوِ الْهَلاَكِ عَلىَ النَّفْسِ أَوْ بَعْضِ اْلأَعْضاَءِ بِتَرْكِ اْلأَكْلِ


“Darurat adalah rasa takut akan ditimpa bahaya (dharar) atau kehancuran terhadap jiwa (khawatir terjadi kematian) atau kerusakan sebagian anggota tubuh jika tidak makan.”


Imam Al-Bazdawi dalam Kasyf Al-Asrār (IV/1518) menyebutkan definisi serupa, yaitu:


مَعنىَ اَلضَّرُوْرَةِ فِي الْمَخْمَصَةِ أَنَّهُ لَو امْتَنَعَ عَنِ التَّناَوُلِ يُخاَفُ تَلَفُ النَّفْسِ أَوِ الْعُضْوِ


“Makna darurat, dalam makhmashah (kelaparan parah), ialah jika seseorang tidak mau makan, dikhawatirkan ia akan kehilangan jiwa atau kehilangan anggota badannya.”


Sedangkan dalam kitab Durar Al-Ahkām Syarah Majallat Al-Ahkām  (I/34), Syekh Ali Haidar mengatakan:


اَلضَّرُوْرَةُ هِيَ  الْحاَلَةُ الْمُلْجِئَةُ لِتَناَوُلِ الْمَمْنُوْعِ شَرْعاً


“Darurat adalah keadaan yang memaksa [seseorang] untuk memakan sesuatu yang dilarang oleh syariat (al-hālah al-mulji’ah li tanāwul al-mamnū‘ syar‘an).”


2.    Definisi Darurat Menurut Mazhab Maliki


Imam Ibnu Jizzi al-Gharnati dalam Al-Qawānīn Al-Fiqhiyyah (hlm. 194) mengatakan:


أَماَّ الضَّرُوْرَةُ فَهِيَ خَوْفُ الْمَوْتِ


“Adapun darurat, artinya adalah kekhawatiran akan kematian.”


Demikian juga Imam Ad-Dardir dalam Al-Syarh Al-Kabīr (II/115) mengatakan:


الضَّرُوْرَةُ هِيَ الْخَوْفُ عَلىَ النَّفْسِ مِنَ الْهَلاَكِ عِلْماً أَوْ ظَناًّ


“Darurat ialah kekhawatiran akan mengalami kematian, baik kekhawatiran itu bersifat pasti maupun bersifat dugaan (zan).”

 

3.    Definisi Darurat Menurut Mazhab Syafi‘i


Imam Al-Suyuthi, dalam Al-Asybāh wa an-Nazhā’ir (hlm. 61), mengatakan bahwa:


الضَّرُوْرَةُ  بُلُوْغُهُ حَدّاً إِنْ لَمْ يَتَناَوَلِ الْمَمْنُوْعَ هَلَكَ أَوْ قاَرَبَ


“Darurat adalah sampainya (seseorang) pada batas ketika ia tidak memakan yang dilarang, ia akan binasa (mati) atau mendekati mati (kehilangan anggota tubuh, seperti buta, lumpuh, dsb).”


Imam Muhammad Al-Khathib Al-Syarbaini dalam Mughni al-Muhtāj (IV/306) menyatakan:


مَنْ خاَفَ مِنْ عَدَمِ اْلأَكْلِ عَلىَ نَفْسِهِ مَوْتاً أَوْ مَرَضاً مُخَوِّفاً أَوْ زِياَدَتَهُ أَوْ طُوْلَ مُدَّتِهِ... وَلَمْ يَجِدْ حَلاَلاً يَأْكُلُهُ وَوَجَدَ مُحَرَّماً لَزِمَهُ أَكْلَهُ


“Darurat adalah rasa khawatir karena tidak makan yang dapat menimbulkan kematian atau sakit yang menakutkan atau mengakibatkan semakin parahnya penyakit ataupun semakin lamanya sakit…, sementara ia tidak mendapatkan yang halal untuk dimakan, dan dia hanya mendapat yang diharamkan, maka saat itu ia mesti makan yang haram itu.”

 

4.    Definisi Darurat Menurut Mazhab Hanbali


Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughnī (VIII/595) menyatakan:


اَلضَّرُوْرَةُ الْمُبِيْحَةُ هَيَ التَّيِ يُخاَفُ التَّلَفُ بِهاَ إِنْ تَرَكَ اْلأَكْلَ


“Darurat yang membolehkan seseorang makan yang haram (al-dharūrah al-mubīhah) adalah darurat yang dikhawatirkan akan membuat seseorang binasa (mati) jika ia tidak memakan (yang haram).”

 

5.    Definisi Darurat Menurut Ulama Kontemporer


Syekh Muhamad Abu Zahrah, dalam Ushūl al-Fiqh (hlm. 43), mendefinisikan darurat sebagai berikut:


اَلضَّرُوْرَةُ هِيَ الْخَشْيَةُ عَلىَ الْحَياَةِ إِنْ لَمْ يَتَنَاوَلِ الْمَحْظُوْرَ، أَوْ يُخْشىَ ضَياَعُ مَالِهِ كُلِّهِ


“Darurat adalah kekhawatiran akan terancamnya kehidupan jika tidak memakan yang diharamkan, atau khawatir akan musnahnya seluruh harta miliknya.”


Syekh Mustafa Az-Zarqa’, dalam kitabnya Al-Madkhal Al-Fiqhī Al-‘Ām (I/991), menyatakan bahwa:


اَلضَّرُوْرَةُ هِيَ ماَ يَتَرَتَّبُ عَلىَ عِصْياَنِهاَ خَطْرٌ، كَماَ فِي اْلإِكْراَهِ الْمُلْجِئِ وَخَشْيَةِ الْهَلاَكِ جُوْعاً


“Darurat adalah sesuatu yang jika diabaikan akan berakibat bahaya, sebagaimana halnya al-ikrāh al-mulji’ [paksaan yang mengancam jiwa] dan khawatir akan binasa (mati) karena kelaparan.”

 

Syekh Wahbah Az-Zuhaili, dalam Nazhariyyah Al-Dharūrah (hlm. 67-68), mendefinisikan darurat sebagai berikut:

 

اَلضَّرُوْرَةُ هِيَ أَنْ تَطْرَأَ عَلىَ اْلإِنْساَنِ حَالَةٌ مِنَ الْخَطَرِ أَوِ المَشَقَّةِ الشَّدِيْدَةِ بِحَيْثُ يُخاَفُ حُدُوْثِ ضَرَرٍ أَوْ أَذىً بِالنَّفْسِ أَوْ بِالْعُضْوِ أَوْ بِالْعِرْضِ أَوِ بِالْماَلِ أَوْ تَوَابِعِهاَ


“Darurat adalah datangnya bahaya (khathr) bagi manusia atau kesulitan (masyaqqah) yang amat berat, yang membuat dia khawatir akan terjadinya madarat atau sesuatu yang membahayakan atas jiwanya, anggota tubuh, kehormatan, akal, harta, dan hal-hal lain yang menjadi derivat-derivatnya.”


Analisis dan Tarjih Terhadap Definisi Darurat


Kiai Shiddiq melanjutkan penjelasan, “Berbagai definisi ulama mazhab empat mempunyai pengertian yang hampir sama, yaitu kondisi terpaksa yang dikhawatirkan dapat menimbulkan kematian, atau mendekati kematian. Dengan kata lain, semuanya mengarah pada tujuan pemeliharaan jiwa (hifzh an-nafs).


“Syekh Wahbah Az-Zuhaili menilai definisi tersebut tidaklah lengkap, sebab menurutnya, definisi darurat haruslah mencakup semua yang berakibat dibolehkannya yang haram atau ditinggalkannya yang wajib. Maka dari itu, Az-Zuhaili menambahkan tujuan selain memelihara jiwa, seperti tujuan memelihara harta, akal, dan kehormatan. Syekh Abu Zahrah juga menambahkan tujuan pemeliharaan harta, sama dengan Syekh Wahbah Az-Zuhaili. Akan tetapi, apakah definisi yang lebih “lengkap” ini otomatis lebih rājih (kuat)?” tanyanya meyakinkan.

 

Ia pun menerangkan, sesungguhnya definisi darurat haruslah dikembalikan pada nas-nas yang menjadi sumber pembahasan darurat. Sebab, istilah darurat memang bersumber dari beberapa ayat Al-Qur’an, yang berkaitan dengan kondisi keterpaksaan yang mengancam jiwa karena ketiadaan makanan, yang akhirnya membolehkan seseorang memakan yang haram, seperti babi, bangkai, dan sebagainya.


Lanjut dikatakan, ayat-ayat Al-Qur`an tersebut terdapat misalnya dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 173; Q.S. Al-Mā`idah [5]: 3; Q.S. Al-An‘ām [6]: 119; Q.S. Al-An‘ām [6]: 145; dan Q.S. An-Nahl [16]: 115. (Asjmuni Abdurrahman, Qawā‘id Fiqhiyyah: Arti, Sejarah, dan Beberapa Qa’idah Kulliyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2003, hlm. 42-43).


Sebagai contoh, kita perhatikan firman Allah Swt. dalam Q.S. Al-Baqarah 173 berikut ini:


اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ بِهٖ لِغَيْرِ اللّٰهِۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ


Sesungguhnya Dia (Allah) hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa saja yang terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Baqarah [2] : 173).


Ayat-ayat seperti ini, intinya menerangkan bahwa kondisi darurat itu hanyalah karena terancamnya jiwa jika tidak memakan yang haram, seperti bangkai, darah, daging babi. Jadi, kunci persoalannya bukanlah pada lengkap tidaknya definisi darurat, melainkan pada makna dalil-dalil syariat yang mendasari definisi darurat itu sendiri,” tegasnya.

 

Berdasarkan ayat-ayat itulah, lanjutnya, Imam Taqiyuddin an-Nabhani, dalam Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyyah (III/486) mendefinisikan darurat sebagai berikut:


اَلضَّرُوْرَةُ هِيَ اْلإِكْراَهُ الْمُلْجِئُ الَّذِيْ يُخْشىَ مِنْهُ الْهَلاَكُ


“Darurat adalah keterpaksaan yang sangat mendesak yang dikhawatirkan akan dapat menimbulkan kebinasaan/kematian (al-idhthirār al-mulji’ alladzī yukhsyā minhu al-halāk).”


Inilah definisi darurat yang sahih dan rājih, yaitu kondisi terpaksa yang mengancam jiwa, yang membolehkan yang haram, sebagaimana termaktub dalam kaidah Fikih yang masyhur yang berbunyi: Ad-dharūrat tubîh al-mahzhūrat (Kondisi darurat membolehkan yang diharamkan) (Abdul Hamid Hakim, As-Sulam, hlm. 59),” terangnya.


Definisi Imam Taqiyuddin an-Nabhani untuk istilah darurat tersebut dekat dengan definisi Syekh Mustafa az-Zarqa‘ dan kurang lebih sama maknanya dengan definisi darurat menurut ulama mazhab yang empat. Adapun definisi Syekh Wahbah Zuhaili dan Syekh Abu Zahrah, yang menambahkan makna-makna lain di luar terancamnya jiwa untuk istilah darurat, adalah definisi yang marjūh (lemah), dan tidak sesuai dengan nas-nas syariat yang mendasari definisi darurat.


“Berdasarkan uraian yang panjang lebar mengenai definisi darurat di atas, kesimpulan ringkasnya, kondisi darurat adalah kondisi terancamnya jiwa, yaitu ada kekhawatiran akan timbulnya kematian, bukan yang lain. Jadi kalau ada kekhawatiran hilangnya harta, misalnya, maka menurut definisi yang kami rajih-kan di atas, tidaklah termasuk ke dalam kondisi darurat,” simpulnya.


Dengan demikian, penggunaan kaidah Fikih mengenai darurat yang berbunyi Ad-dharūrat tubîh al-mahzhūrat (kondisi darurat membolehkan yang diharamkan), untuk menggugurkan kewajiban salat Jumat bagi seorang security (satpam) adalah batil dan tidak dapat diterima, karena kondisi daruratnya sendiri itu sebenarnya tidak ada.


“Adapun penggunaan kaidah kaidah Fikih Dar‘ul Mafāsid Muqoddamun ‘ala jalb al-Mashālih (menolak kerusakan itu lebih didahulukan daripada mendapatkan kemaslahatan) untuk melegitimasi security (satpam) meninggalkan salat Jumat, nasibnya juga sama dengan penyalahgunaan kaidah Fikih seputar darurat yang sudah kami jelaskan di atas,” tandasnya.


Penyalahgunaan kaidah Fikih itu sesungguhnya juga adalah batil dan tidak dapat diterima sama sekali untuk menggugurkan kewajiban salat Jumat bagi security (satpam). Hal ini karena ada 2 (dua) alasan sebagai berikut :


Pertama, kaidah Fikih itu secara umum tidak dapat digunakan untuk menggugurkan suatu kewajiban yang sudah pasti, seperti kewajiban salat Jumat, yang kewajibnya ditetapkan berdasarkan nas Al-Qur`an (sumber hukum pertama dalam Islam) dan As-Sunah (sumber hukum kedua dalam Islam). Sedangkan kaidah Fikih itu, levelnya hanyalah setara dengan qiyas (sumber hukum keempat dalam Islam). Bagaimana mungkin, suatu kewajiban yang ditetapkan oleh Al-Qur`an dan As-Sunah, dapat dibatalkan dengan dalil qiyas? Tidak mungkin, bukan?” ujarnya.


Kewajiban salat Jumat, didasarkan pada firman Allah Swt.:


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ وَذَرُوا الْبَيْعَۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ


Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Q.S. Al-Jumu’ah : 9).


Selain dalil Al-Qur`an itu, wajibnya salat Jumat juga didasarkan dalil As-Sunah sbb.:


اَلْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلىَ كُلِّ مُسْلِمٍ فِيْ جَماَعَةٍ إلاَّ أَرْبَعَةٌ :عَبْدٌ مَمَلُوْكٌ أوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيْضٌ


“Salat Jumat adalah wajib hukumnya bagi setiap-tiap muslim dengan berjemaah kecuali empat golongan, yaitu; hamba sahaya (budak), wanita, anak kecil, dan orang sakit.” (HR. Abu Dawud no. 1067, dinilai sebagai hadis sahih oleh Syekh Nasiruddin Al-Albani dalam Sahih Abu Dawud),” bebernya.


Lalu bagaimana mungkin, kewajiban salat Jumat yang terbukti (tsābit) berdasarkan dalil Al-Qur`an dan As-Sunah itu, dibatalkan atau dikalahkan dengan kaidah Fikih yang berbunyi:


دَرْءُ الْمَفاَسِدِ مُقَدَّمٌ عَلىَ جَلْبِ الْمَصاَلِحِ


Dar‘ul Mafāsid Muqoddamun ‘ala jalb al-Mashālih” (menolak kerusakan itu lebih didahulukan daripada mendapatkan kemaslahatan).


Sambungnya lagi, jadi perlu diketahui bahwa penggunaan kaidah Fikih itu ada aturan mainnya (dhawābit)-nya, di antara adalah kita harus tahu positioning (kedudukan) dari kaidah Fikih itu dalam tartib dalil-dalil syar’i (urutan kekuatan dalil-dalil syar’i/sumber-sumber hukum). “Imam Taqiyuddīn An-Nabhānī, rahimahullāh, menjelaskan bahwa kaidah Fikih, atau istilah Arabnya qawā’id kulliyyah (qawā’id fiqhiyyah) itu diamalkan sebagaimana pengamalan qiyas. (Taqiyuddīn An-Nabhānī, Al-Syakhṣiyyah Al-Islāmiyyah, III/452),” ungkapnya.


Imam Taqiyuddīn An-Nabhānī selengkapnya berkata:


فَالْقَوَاعِدُ الْكُلِّيَّةُ تُعَامَلُ مُعَامَلَةَ الْقِيَاسِ ، فَكُلُّ مَا انْطَبَقَتْ عَلَيْهِ الْقَاعِدَةُ يَأْخُذُ حُكْمَهَا ، إلَّا أَنْ يَرِدَ نَصٌّ شَرْعِيٌّ عَلَى خِلَافِ مَا فِي الْقَاعِدَةِ ، فَيُعْمَلُ بِالنَّصّ، وَتُلْغَى الْقَاعِدَةُ كَمَا هِيَ الْحَالُ فِي الْقِيَاسِ


"Jadi, qawā’id kulliyyah (qawā’id fiqhiyyah) itu diamalkan sebagaimana pengamalan qiyas, maka segala kasus yang dapat dihukumi dengan kaidah Fikih,  maka kasus itu dapatlah dihukumi dengan kaidah Fikih tersebut, kecuali terdapat suatu nas syar’i (nas Al-Qur`an atau nas As-Sunah) yang menyalahi hukum yang terdapat di dalam kaidah Fikih itu. Dalam kondisi demikian, yang diamalkan adalah nas, sedangkan kaidah Fikihnya dibatalkan, sebagaimana ketentuan yang berlaku dalam pengamalan qiyas.” (Taqiyuddīn An-Nabhānī, Al-Syakhṣiyyah Al-Islāmiyyah, III/452).


“Dengan demikian jelaslah, bahwa kaidah Fikih Dar‘ul Mafāsid Muqoddamun ‘ala jalb al-Mashālih tidak boleh digunakan untuk melegitimasi seorang security (satpam) tidak salat Jumat, karena wajibnya salat Jumat itu telah ditetapkan berdasarkan dalil Al-Qur`an dan As-Sunah, yang jelas lebih kuat dan kokoh dibandingkan dengan kaidah Fikih yang hanya sederajat dengan qiyas,” tegasnya.


Kedua, alasan kedua mengapa penggunaan kaidah Fikih Dar‘ul Mafāsid Muqoddamun ‘ala jalb al-Mashālih tidak boleh digunakan untuk melegitimasi seorang security (satpam) tidak salat Jumat, karena kaidah Fikih tersebut, secara khusus hanya dapat diamalkan untuk hal-hal yang hukumnya mubah (diperbolehkan syariah), yang ternyata dapat menimbulkan kontradiksi antara manfaat dan madarat dari sesuatu yang mubah itu. Maka dalam kondisi seperti ini, yang diutamakan adalah menolak madarat, bukan mencari manfaatnya.


“Hal itu dapat disimpulkan dari contoh-contoh penerapan kaidah Fikih tersebut, yang diberikan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka, khususnya kitab mengenai kaidah-kaidah Fikih. Kita akan mengambil contoh-contoh berikut ini dari kitab Syarah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Mushthofa Ahmad Az-Zarqa, halaman 205-206, dan dari kitab Syekh Muhammad Mushthofa Az-Zuhaili, Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah wa Tathbīqātuhā fī Al-Madzāhib Al-Arba’ah, Damaskus : Darul Fikr, Cetakan I, 1427 H/2006 M, halaman 238-239,” urainya.


Syekh Mushthofa Ahmad Az-Zarqa dan Syekh Muhammad Mushthofa Az-Zuhaili memberikan beberapa contoh penerapan kaidah Fikih Dar‘ul Mafasid Muqoddamun ‘ala jalb al-Mashalih, sebagai berikut:


Pertama, ada seorang laki-laki yang mempunyai jendela rumah yang jika dibuka, akan dapat melihat wanita tetangganya yang bukan mahram. Dalam kondisi demikian, manakah yang lebih diutamakan, apakah yang lebih utama adalah menutup jendela itu, ataukah membukanya. Bagi pemilik rumah itu (laki-laki), dia berhak (boleh) membuka jendela rumahnya, dan berhak pula menutup jendela rumahnya. Tetapi jika dia membuka jendela rumahnya itu, ternyata mengakibatkan dia dapat melihat wanita tetangganya yang bukan mahramnya. Ini adalah haram (mafsadah). Maka dalam kondisi ini, terjadi kontradiksi antara manfaat dan madarat. Dalam kondisi seperti inilah, menolak madarat, yakni menutup jendela, lebih diutamakan daripada membukanya, untuk mendapat manfaat terbukanya jendela, misalnya mencari angin segar, mendapat pemandangan alam, dsb.


Kedua, ada seseorang yang mempunyai tempat sampah di halaman rumahnya, yang ternyata menimbulkan madarat bagi tetangganya, misalnya bau yang tidak sedap, dsb. Maka dalam kondisi ini, terjadi kontradiksi antara manfaat dan madarat. Dalam kondisi seperti inilah, menolak madarat, yakni menutup tempat sampah, atau menghilangkan dampak-dampak buruknya, lebih diutamakan daripada membuka tempat sampah itu apa adanya, untuk mendapat manfaat penampungan sampah bagi pemiliknya. Dalam kasus seperti ini, tetangga orang itu berhak meminta pemilik tempat sampah untuk menutup tempat sampah itu, atau minimal mengurangi dampak-dampak negatif dari penumpukan sampah yang ada.


Ketiga, mengenai seseorang yang mempunyai pabrik yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi rumah-rumah sekitarnya, misalnya dapat melemahkan konstruksi bangunan rumah-rumah tetangganya, atau dapat menimbulkan polusi udara berupa bau yang mengganggu atau asap yang mengotori udara. Dalam hal ini, membangun pabrik itu adalah suatu hak (boleh hukumnya) bagi seseorang. Tetapi jika pabrik ini didirikan di tengah pemukiman, dan tidak ada perlakuan khusus untuk menetralkan dampak-dampaknya, ternyata dapat menimbulkan madarat bagi masyarakat sekitarnya. Dalam kondisi seperti inilah, menolak madarat, yakni menutup pabrik lebih diutamakan daripada membukanya, untuk mendapat manfaat bagi pemilik pabrik berupa keuntungan bisnisnya.


(Lihat : Mushthofa Ahmad Az-Zarqa, Syarah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, Damaskus: Darul Qalam, Cetakan II, 1409 H/1989 M, hlm. 205-206; Muhammad Mushthofa Az-Zuhaili, Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah wa Tathbīqātuhā fī Al-Madzāhib Al-Arba’ah, Damaskus: Darul Fikr, Cetakan I, 1427 H/2006 M, hlm. 238-239; Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah¸ Beirut: Mu`assasah Al-Risalah, 1416 H/1996 M, 4/315).   


“Dari contoh-contoh yang diberikan para ulama di atas, dapat disimpulkan penggunaan kaidah Fikih Dar‘ul Mafāsid Muqoddamun ‘ala jalb al-Mashālih, secara khusus hanya dapat diamalkan untuk hal-hal yang hukumnya mubah (diperbolehkan syariat), yang ternyata dapat menimbulkan kontradiksi antara manfaat dan madarat dari sesuatu yang mubah itu. Maka dalam kondisi seperti ini, yang diutamakan adalah menolak madarat, bukan mencari manfaatnya” lugasnya.


“Maka dari itu, penerapan kaidah Dar‘ul Mafāsid Muqoddamun ‘ala jalb al-Mashālih untuk hal-hal yang sifatnya wajib, seperti salat Jumat, bukan pada hal-hal yang mubah, apalagi mengakibatkan pengguguran kewajiban salat Jumat itu, sungguh adalah penerapan kaidah Fikih yang batil dan sama sekali tidak dapat diterima karena sudah melampaui batas dari cakupan penerapan kaidah Fikih yang dibenarkan syariah,” ujarnya.


Kesimpulan


“Dari seluruh uraian kami di atas, kesimpulannya adalah penggunaan dua kaidah Fikih di atas untuk menggugurkan kewajiban salat Jumat bagi seorang security (satpam) adalah batil dan tidak dapat diterima. Wallāhu a’lam,” pungkasnya.[] Rere

Opini

×
Berita Terbaru Update