Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Pengamat Beberkan Dua Problem di Balik Polemik Anggaran Pendidikan

Senin, 16 September 2024 | 20:04 WIB Last Updated 2024-09-16T13:05:33Z
TintaSiyasi.id -- Menenggapi polemik anggaran pendidikan yang mencuat seusai Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan agar acuan belanja wajib untuk anggaran pendidikan diambil dari pendapatan negara, bukan belanja negara, Pengamat Ekonomi Nida Sa’adah membeberkan dua problem di balik hal ini.

“Sebetulnya kalau mau dianalisis. Ada persoalan yang bersifat fundamental. Ada persoalan yang bersifat teknis,” ujarnya kepada Tintasiyasi.id, Jumat, (13/9/2024).

Dari sisi problem yang bersifat fundamental, ia menerangkan, ruwetnya pemerintah mengatur masalah anggaran pendidikan disebabkan karena sistem pendidikan di negeri ini dan negeri-negeri Muslim lainnya dipaksa meratifikasi kebijakan internasional, termasuk dalam mengatur sistem keuangan.

“Dipaksa untuk meratifikasi berbagai kebijakan yang disahkan di dunia internasional, meratifikasi regulasi Unicef, meratifikasi kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga, oleh PBB dan lain-lain, sehingga sistem pendidikannya itu memang berubah-ubah sesuai dengan apa yang diminta oleh negara-negara besar itu terhadap pendidikan di dunia muslim, termasuk dalam mengatur sistem keuangan untuk pembiayaan pendidikannya,” terangnya.

Keterpaksaan mengikuti permintaan negara-negara besar itulah menurut Nida yang membuat pemerintah kesulitan. “Bayangkan, kalau ibarat satu rumah, kemudian keuangannya itu didikte oleh orang yang ada di luar rumah, harus begini, begitu, ya, tentu kan repot sekali,” ujarnya.

Sebelumnya diketahui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Rabu (4/9) menyarankan agar anggaran wajib (mandatory spending) untuk anggaran pendidikan sebesar 20 persen diambil dari pendapatan negara. Karena jika diambil dari belanja negara, pemerintah akan kesulitan mencari anggaran dalam kondisi dunia yang sangat dinamis, di samping dalam belanja itu banyak ketidakpastian sehingga anggaran pendidikan bisa jadi naik-turun.

Sementara itu, pada problem kedua, secara teknis, Nida menilai pemerintah terkesan sulit mengatur anggaran pendidikan karena kurang menguasai realitas kebutuhan karena mengandalkan pelaporan, tanpa menguasai realitas di daerah. Karena itu, lanjutnya, dibutuhkan pemerintahan dengan kapabilitas yang sangat baik dan regulasi yang sempurna untuk mengatur negara.

“Dari pusat sampai ke daerah sampai di ujung terluar dari wilayah Indonesia itu, ada berapa jumlah anak yang harus diurus, ada berapa jumlah sistem pendidikan yang harus dibiayai, ada berapa jumlah sekolah yang memang harus segera direnovasi, ada berapa anggaran guru yang belum dibayarkan? Itu semua mengandalkan ke sistem pelaporan. Jadi sistemnya bottom up (dari bawah ke atas),” sesalnya.

Karena itu ia menilai, dengan regulasi yang sempurna dan tidak didikte mengikuti arahan Barat, negeri ini akan mampu memenuhi kebutuhan pendidikan rakyatnya dengan baik. “Sebenarnya problemnya itu di situ. Fundamental didikte oleh asing. Kemudian yang kedua, secara teknis memang tidak menguasai secara detail, mulai dari pusat sampai ke ujung, pusat ibukota sampai ujung terluar dari negeri ini, berapa sebetulnya pembiayaan pendidikan realistisnya yang dibutuhkan jika tadi berbasis kepada sistem yang fix,” ungkapnya.

Bukan untuk Rakyat

Di sisi lain Nida menyayangkan, utak-atik anggaran yang dilakukan oleh Sri Mulyani bukan dalam rangkan mewujudkan pendidikan yang terjangkau oleh rakyat. Ia menerangkan, selama ini biaya terhadap sektor pendidikan menggunakan konsep belanja negara. Artinya sudah ada jumlah yang dialokasikan (dianggarkan), lalu didistribusikan ke sektor pendidikan di berbagai jenis item pengeluaran, sehingga ada peluang anggaran tidak terserap (dari jumlah yang sudah dianggarkan tadi tidak ada alokasi belanja terhadap jumlah tersebut) yang kemudian menjadi pertimbangan untuk memangkas belanja pada periode selanjutnya.

Adanya anggaran yang tidak terserap inilah menurutnya yang membuat Menkeu mengusulkan agar skema anggaran dikaji ulang untuk diubah menjadi berdasarkan pendapatan. “Tujuannya tadi adalah bagaimana supaya pengaturan yang belanja tadi, yang sudah dianggarkan enggak terserap itu biar enggak ada kejadian enggak terserap lagi, terus dipakai untuk macam-macam. Ya sudah, diambilkan saja dengan sistem pendapatan berapa yang dibutuhkan nanti baru dikeluarkan uangnya. Dalam rangka itu saja. Jadi bukan dalam rangka mewujudkan pendidikan yang terjangkau. Bukan untuk itu. Tapi lebih ke pengaturan di APBN-nya,” terangnya.

Menurutnya, hal itu terjadi karena skema yang dipakai mengikuti cara pandang Barat yang menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan jasa yang harus dijangkau dengan membayar harganya. Menurutnya, inilah konsep yang didapat dari Barat. “Memang filosofinya tidak bertujuan memberikan pendidikan yang gratis di semua levelnya. Memang bukan itu, tapi sesuai dengan kemampuan keuangan negara,” katanya.

Perspektif Islam

Padahal, lanjutnya, menurut perspektif Islam sebagaimana ditetapkan Nabi SAW., pendidikan itu hukumnya wajib sehingga harus ada sistem yang membuat semua orang bisa mendapatkan pendidikan. 

“Kalau wajib itu enggak ada choice, enggak ada pilihan. Harus mendapatkan. Menempuh jenjang pendidikan, mendapatkan ilmu, itu adalah hak setiap orang. Kemudian, negara berkewajiban untuk memastikan hak itu didapatkan oleh semua orang. Apalagi hak ini menurut fikihnya diwajibkan menurut Islam. Jadi, orang harus belajar harus bisa mengakses ilmu,” terangnya.

Karena itu, negara menyiapkan regulasi formalnya dalam rangka memastikan semua orang memenuhi kewajibannya untuk menuntut ilmu, baik bagi rakyat yang Muslim maupun non-Muslim. 

“Kalau kita baca dalam hadis, dalam hadis sangat panjangnya, Rasul itu menggambarkan ilmu itu ‘kal ghoits’, sebagaimana air hujan. Jadi, enggak ada perbedaan mau muslim, mau non-muslim, mau kaya miskin, semua bisa mendapatkan air hujan. Sebagaimana itulah gambaran ilmu itu. Nah, dalam hal ini berarti mulai dari jenjang dini, dasar, menengah, atas, sampai dengan pendidikan tinggi. Tidak ada istilah tersier education. Semuanya ini adalah primary education. Adalah kebutuhan primer,” ujarnya.

Untuk memenuhi kebutuhan anggaran pendidikan yang besar itu, lanjut Nida, pembiayaan pendidikan dibebankan kepada keuangan negara menurut sistem keuangan negara yang disebut dengan Baitul Mal. Aspek pembiayaan pendidikan, lanjutnya, dijalankan dengan filosofi bahwa pendidikan adalah kewajiban, sehingga semua orang dipastikan mendapatkan akses pendidikan secara bebas biaya agar bisa melaksanakan kewajibannya, menuntut ilmu.

Sementara itu, alokasi anggarannya, menurutnya sudah jelas masing-masing pos anggarannya sesuai syariat dan yang berwenang mengaturnya adalah kepala negara (khalifah). Ia menerangkan, ada dua pos yaitu milkiyah daulah (kepemilikan negara) dan pos kepemilikan umum yang salah satu alokasi pengeluarannya untuk pendidikan, sedangkan pada pos zakat, tidak boleh dialokasikan untuk pendidikan.
 
“Kalau pada masa pemerintahan negara Islam, khalifah pada masa pemerintahan sepeninggal Rasulullah, beliau itu adalah orang yang diberikan wewenang untuk mengatur alokasi dari masing-masing pos yang ada di Baitul Mal. Nah, pengaturannya begitu. Jadi masing-masing pos itu sudah punya peruntukan sendiri-sendiri. Jadi tidak bisa dikorupsi,” ujarnya.

Ia menilai, format seperti ini lebih mudah. Khalifah dibantu oleh pembantunya (muawin) beserta staf ahli terdekat yang kapabel tinggal berpikir cara mengatur pendapatan untuk memenuhi semua kebutuhan rakyat. 

“Jadi formatnya itu berbeda antara sistem Baitul Mal dengan APBN hari ini. Kalau APBN hari ini itu karena pemerintahan itu dengan menggunakan demokrasi, itu dibagi-bagi. Nah itu juga bikin kondisi tambah ruwet ya, sehingga nanti ada komisi anggaran, ada eksekutif, ada legislatif yang merumuskan, mengajukan, mengesahkan, pe-raitai-annya terlalu rumit dan pada akhirnya banyak bocornya,” ujar Nida.

“Secara teknis, kepala negara dituntut mengetahui dengan jelas berapa banyak rakyat yang harus dia urus, harus dipenuhi kebutuhannya, berapa banyak sekolah yang harus dia bangun di masing-masing area, berapa banyak fasilitas yang harus dia adakan di masing-masing area, dengan basis tadi, itu semua diadakan bebas biaya,” imbuhnya. 

Di samping itu, lanjutnya, Islam juga punya regulasi untuk memacu umatnya berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khoirot) yang membuka ruang bagi orang kaya untuk berkontribusi memberikan hartanya untuk pendidikan. 

“Jadi berbeda sekali antara sistem mengatur keuangan negara untuk pendidikan ala baitul mal dalam negara khilafah Islam dengan ala demokrasi yang ujung-ujungnya banyak bocornya, banyak tidak terserapnya, banyak yang juga jatuhnya tidak tepat sasaran. Dan sebetulnya semua itu tidak perlu terjadi andai negeri ini mau menggunakan syariah Islam secara kaffah yang sudah jelas-jelas memberikan regulasi yang sempurna,” pungkasnya.[] Saptaningtyas

Opini

×
Berita Terbaru Update