TintaSiyasi.id -- Menanggapi meningkatnya kriminalitas terkait seksual hingga pembunuhan di kalangan pelajar dan remaja, Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) mengatakan hal ini mestinya menjadi coreng yang sangat besar dan harus diajukan protes keras kepada institusi yang menangani pendidikan.
"Mesti juga dipertanyakan, sejauh mana peran sekolah ini di dalam membina akhlak, membina cara berpikir, cara bertindak anak-anak kita. Ini juga sekaligus harus diajukan protes sangat keras kepada institusi yang menangani pendidikan. Ini harusnya menjadi coreng yang sangat besar," tegasnya di kanal YouTube UIY Official: 'Pelajar Memperkosa dan Membunuh Bareng, Menteri Pendidikan kok Diam?', Rabu (25/9/2024).
Walaupun tidak berarti kejahatan di kalangan manusia dewasa bisa memaklumi, tetapi ia menilai maraknya kasus anak-anak menjadi pelaku tindak kejahatan sebagai realitas yang menyedihkan dan mengerikan karena pada galibnya dunia anak adalah dunia bermain yang penuh dengan keceriaan, kegembiraan, dan pertemanan.
"Luar biasanya, ini dilakukan bukan sendiri, tapi bersama-sama. Itu artinya kan sudah merupakan satu kesepakatan kolektif itu. Bukan hanya membunuh, tetapi kemudian memperkosa," ungkapnya miris.
Anehnya, kata UIY, negara tidak menampakkan keprihatinan, padahal mestinya hal ini dipandang sebagai bagian dari persoalan pendidikan.
"Sudah tahu banyak persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini, termasuk oleh anak-anak muda atau generasi mudanya, tetapi sikap dari para pemimpinnya itu seperti seolah tidak terjadi apa-apa. Ini adalah pengabaian yang menurut saya bentuk dari rasa tidak tanggung jawab dan tidak amanah," sesalnya.
Kritik keras menurutnya mesti disampaikan karena di satu sisi, ketika ada keinginan untuk menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada pelajar dan mahasiswa, saat ini justru dicurigai sebagai usaha radikalisasi.
"Mereka katakan sebagai radikalisasi di kalangan pelajar. Rohis dipersoalkan. Sementara di saat yang sama, mereka tidak bisa menjawab persoalan-persoalan ini. Ini kan konyol," ujarnya.
Di samping itu, menurutnya diperlukan peran negara dalam menata budaya, utamanya budaya literasi, Kementerian Komunikasi dan Informasi mesti melakukan perang besar mengatasi pornografi. Sebab jika tidak, persoalan ini bukan korban yang pertama dan terakhir. Sayangnya, di tengah situasi semacam ini, ia menyesalkan pemimpin tidak tahu ke mana sebenarnya bangsa dan negara ini harus dihela.
"Di situ semua adalah peran negara. Negara harus firm (tegas). Ini soalnya adalah ketika negara itu tak lagi tahu ke mana dia harus menghela negara, pemerintah, pemimpin itu tidak tahu. Yang dia pikirkan itu hanyalah pertumbuhan ekonomi. Yang dia pikirkan hanya infrastruktur. Yang dia pikirkan hanyalah bisnisnya," ungkapnya.
Hilangnya Moralitas
UIY menjelaskan, munculnya fenomena remaja memperkosa dan membunuh akhir-akhir ini akibat hilangnya sensitivitas terhadap moralitas hingga hilang pula pengendali diri. Ibarat kain putih yang sudah lama dicelup dengan air kotor, ketika dalam kesehariannya anak menonton pornografi dan tayangan kekerasan, maka menurutnya sensitivitas terhadap moralitasnya hilang, penilaiannya terhadap sesuatu yang tidak pantas dilakukan, kehalusan akhlak budi, penghargaan terhadap jiwa manusia juga hilang.
"Jadi ini yang saya sebut sebagai lumrahisasi kejahatan, lumrahisasi kekerasan. Lumrahisasi kejahatan yang itu membuat seperti seolah-olah entah itu di dalam sadar atau di bawah sadarnya terjadi. Ibarat kendaraan, itu sudah blong remnya itu. Alat pengendalinya itu sudah blong. Jadi sudah dipenuhi oleh muyul (kecenderungan) yang sangat buruk," terangnya.
Ia menambahkan, fenomena ini mesti diwaspadai. "Saya kira ini satu fenomena yang amat sangat harus kita waspadai dan harus kita khawatirkan betapa pada usia yang sangat muda, itu bisa begitu. Jadi kita harus sangat ekstra hati-hati bahwa ternyata pengaruh dari konten kekerasan dan pornografi itu bisa sedemikian merusaknya," sambungnya.
Lebih lanjut ia menerangkan, sekalipun orang tua menjadi pihak yang pertama yang patut disalahkan karena paling bertanggung jawab mendidik anak, tetapi menyalahkan orang tua saja tentu tidak bisa di era saat ini. Sebab menurutnya, realitas ini juga menjadi cermin dari betapa rapuhnya lingkungan masyarakat, keluarga, dan sekolah yang terjadi tidak mungkin karena faktor tunggal melainkan faktor kumulatif yang saling mempengaruhi.
Karena itu, menurutnya, diperlukan sistem dengan tatanan yang benar, yaitu syariat Islam.
"Di situlah relevansi yang sangat jelas dari seruan kita selama ini, 'Selamatkan Indonesia dengan syariah.' Syariah itulah yang akan membawa keluarga itu menjadi keluarga yang bertanggung jawab, keluarga yang islami yang menjadi tempat persemaian generasi yang baik. Kemudian sekolah juga begitu. Dengan Islam sekolah akan menjadi sekolah yang menjadi tempat pendidikan bagi tumbuhnya generasi bukan hanya penguasaan teknologi tetapi juga tsaqafahnya dan syakhsiyahnya. Pun demikian dengan masyarakat. Lalu penegakan hukum yang jelas, yang memberi efek jera," pungkasnya.[] Saptaningtyas