Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Menyikapi Sikap Represif Aparat terhadap Demonstran, Aktivis: Pelajar Punya Hak Berpolitik

Sabtu, 07 September 2024 | 02:50 WIB Last Updated 2024-09-06T19:51:19Z

TintaSiyasi.id -- Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) meminta aparat penegak hukum untuk tidak melakukan kekerasan terhadap massa demo terutama yang di bawah umur seperti para pelajar. Sebagaimana diketahui bersama bahwa adanya unjuk rasa yang dilakukan masyarakat Indonesia sebagai bentuk protes atas tindakan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) yang berupaya merevisi Undang-Undang Pilkada. 

Mengenai hal tersebut, pemerhati pendidikan dan dunia remaja Diansyah Novi Susanti, S.Pt. mengatakan, pelajar memiliki hak berpolitik, tidak sepatutnya disikapi secara represif seperti penggunaan gas air mata, meriam air, dan penangkapan. "Pelajar punya hak berpolitik, seharusnya tidak disikapi dengan represif. Para pelajar mempunyai sikap berani membela negaranya ketika ada ancaman. Tinggal kita arahkan dengan memberikan informasi yang benar dan bagaimana bersikap agar tepat dan tidak salah langkah," ujarnya kepada Tintasiyasi.com, Senin (3-9-2024). 

Ia mengatakan, memang harus jeli dan teliti dalam melihat peristiwa ini. Informasi tentang adanya alarm “peringatan darurat”, ungkapnya, yang tayang secara serempak di media sosial (22-8-2024) tidak dimungkiri sampai di kalangan pelajar. "Meskipun belum semuanya bisa memahami dengan benar apa yang sebenarnya sedang terjadi, hal ini tentunya harus disikapi dengan bijak," tuturnya. 

Respons dari pelajar, ungkapnya, ketika mendapatkan informasi untuk ikut unjuk rasa sebagai bentuk kepedulian pada bangsa ini perlu kita apresiasi dan perlu diarahkan. "Berikan pemahaman bahwa para pelajar juga mempunyai kewajiban berpolitik. Makna politik di sini bukan hanya sekadar mendapatkan kekuasaan, memilih pemimpin, ikut dalam demonstrasi, tetapi makna politik di dalam Islam (as-siyasah al-islamiah) bermakna pengaturan urusan umat dengan aturan-aturan Islam, baik di dalam maupun di luar negeri," jelasnya. 

Aktivitas Politik

Ia menjelaskan, aktivitas politik dilakukan oleh pemerintah (negara) dan rakyat (umat). Pemerintah atau negara, menurutnya, merupakan lembaga yang mengatur urusan rakyat secara praktis. Sementara, imbuhnya, umat mengontrol sekaligus mengoreksi (muhasabah) pemerintah dalam melaksanakan tugasnya.

"Dengan demikian pelajar adalah bagian dari rakyat (umat), maka mempunyai ruang dan kesempatan yang sama dengan rakyat yang lain dalam menjalankan aktivitas politiknya. Jadi, ketika ada pelajar yang menyampaikan pendapat dan mengoreksi pemerintah atau penguasa, semestinya dilindungi oleh negara dan diberikan keamanan, bukan ditangkap apalagi sampai dipukul atau terkena tindak kekerasan oleh aparat keamanan," jelasnya.

Muhasabah

Dalam jalannya pemerintahan suatu negara, menurut Diansyah, tidak menutup kemungkinan kepala negara, penguasa, dan pemerintah melakukan kesalahan dalam menjalankan amanahnya. "Oleh karena itu, di dalam Islam kaum Muslim memilihi hak syura yaitu menyampaikan pendapat dan kewajiban muhasabah lil hukam, yakni mengontrol serta mengoreksi tugas-tugas dan kebijakan penguasa dan pejabat pemerintahan," urainya. 
 
Ia mengutip hadis dari Imam Muslim yang telah meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa Rasulullaah SAW pernah bersabda: “Akan ada penguasa. Lalu di antara kalian ada yang mengetahui kemungkarannya dan ada pula yang mengingkarinya. Siapa saja yang mengetahui kemungkarannya dan tidak membenarkannya maka dia tidak berdosa. Siapa saja yang mengingkari kemungkarannya dan berusaha meluruskannya maka dia akan selamat. Namun, siapa saja yang meridai dan mengikuti kemungkarannya maka dia berdosa”. Para sahabat bertanya, “Apakah kita tidak memerangi saja mereka?” Nabi SAW menjawab, “Tidak, selama mereka menegakkan salat (hukum-hukum Islam).” 

Diansyah melanjutkan, Rasulullah SAW dalam khotbah haji wadaknya yang diriwayatkan oleh Jabir bin Muth’im r.a. berkata: “Rasulullah SAW berdiri di kaki Bukit Mina seraya bersabda: ”Tiga perkara yang hati orang beriman tidak akan berkhianat kepadanya, yakni mengikhlaskan perbuatannya hanya karena Allah, memberi nasihat kepada penguasa dan kaum muslim, dan bergabung dengan jemaah (kelompok) mereka. Ini karena doa mereka akan selalu menyelimuti (meliputi) di belakang mereka.”

Diansyah menjelaskan, dalam sistem demokrasi kapitalis, tidak mengherankan jika menyampaikan aspirasi atau kritik terhadap penguasa atau pemerintah akan dianggap tidak patuh pada negara. 

"Anehnya, ketika rakyat menyampaikan kritikannya, justru dianggap mencemarkan nama baik atau disikapi secara represif, seperti penangkapan. Tidak aneh juga unjuk rasa yang dilakukan sebagai bentuk koreksi berbuntut kerusuhan," jelasnya. 

Majelis Umat

Dalam pandangan Islam, jelas Diansyah, ada yang disebut majelis umat. Majelis umat, lanjutnya, merupakan majelis atau dewan yang terdiri dari orang-orang yang telah dipilih umat dan perwakilan umat untuk meminta pertanggungjawaban dan mengoreksi penguasa dalam menerapkan Islam. 

"Selain itu, tugas majelis umat adalah memberikan arahan atau masukkan pada penguasa dari apa yang dianggapnya baik bagi kaum Muslim. Setiap orang yang memiliki hak kewarganegaraan Islam boleh menjadi anggota majelis umat selama ia berakal, balig, dan merdeka," tambahnya. 

Hal itu, katanya, pernah dicontohkan oleh Rasulullaah SAW ketika meminta kaum Muslim memilih 14 orang pemimpin dari kalangan Anshar dan Muhajirin untuk menjadi tempat meminta masukan dalam berbagai persoalan.

Berikut wewenang utama majelis umat yang diuraikan Diansyah. Pertama, memberikan pendapat kepada khalifah dalam setiap urusan dalam negeri seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sebagainya. 

Kedua, mengoreksi khalifah dan para penguasa tentang berbagai hal yang dianggap oleh mereka sebagai kekeliruan.

Ketiga, menampakkan ketidaksukaan terhadap para wali atau para muawin dan Khalifah harus memberhentikan mereka yang diadukan. 

Keempat, memberikan pandangan dalam undang-undang yang akan ditetapkan dan membatasi kandidat khalifah.

Dengan demikian, tutur Diansyah, ketika khalifah dan para penguasa akan menetapkan sebuah hukum atau kebijakan, maka akan meminta nasihat terlebih dahulu kepada majelis umat, dan jika ada aduan dari rakyat, maka rakyat akan mengadukan melalui majelis umat dan disampaikan kepada khalifah sebagai bentuk muhasabah (mengoreksi). 

"Semua ini dijalankan atas ketaatan kepada Allah SWT, bukan dari peraturan yang muncul dari hawa nafsu manusia yang serakah akan kedudukan dan jabatan sehingga menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya," paparnya.

Berbagai fakta kerusakan sistem demokrasi, ungkapnya, sudah terang benderang ditampakkan dan sudah waktunya dicampakkan. "Begitu pun kemuliaan Islam sudah sangat jelas dan nyata, bahkan selama 13 abad mampu menaungi dunia, saatnya umat tersadarkan, terbuka hati, dan pikirannya untuk menerima Islam secara menyeluruh sebagai sebuah aturan yang sempurna dalam mengatur kehidupan yang diterapkan dalam tingkat negara," pungkasnya. [] Ika Mawarningtyas

Opini

×
Berita Terbaru Update