Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Menkeu Usul Anggaran Pendidikan Berbasis Pendapatan Negara, PAKTA: Miskin Terobosan

Minggu, 15 September 2024 | 08:50 WIB Last Updated 2024-09-15T01:51:22Z
TintaSiyasi.id -- Menanggapi usulan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati agar anggaran wajib atau mandatory spending untuk dana pendidikan sebesar 20 persen bukan lagi berasal dari belanja negara, tetapi dialokasikan sesuai pendapatan negara, Direktur Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Dr. Erwin Permana menilainya miskin terobosan.

“Saya melihat bahwa pemerintah ini miskin terobosan dalam mengelola dan mencari sumber-sumber pendapatan negara. Yang ada adalah mengotak-atik terhadap sumber pendapatan yang ada aja. Selama ini alokasi anggaran pendidikan itu 20 persen menurut undang-undang (itu) dari APBN, sekarang Sri Mulyani mencoba mengotak-atik dari pendapatan,” ungkapnya kepada Tintasiyasi.id, Kamis, 12 September 2024. 

Ia menilai, langkah Menkeu itu menunjukkan bahwa selama ini anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) Indonesia lebih besar pasak daripada tiang, lebih besar pengeluaran dibandingkan pemasukannya. Tanpa ada upaya untuk mencari sumber-sumber pendapatan negara yang lain, Erwin melihat pengalokasian anggaran bukan berbasis pada belanja akan berpotensi mengurangi anggaran pendidikan hingga 100 triliun.

“Kalau anggaran pendidikan itu berbasis pada pemasukan negara, maka potensi pengurangan anggaran pendidikan akan terjadi. Nah, itu besar pengurangan anggaran pendidikan itu nanti menjadi sangat besar. Itu bisa sangat besar. Menurut hemat saya, paling enggak itu bisa sekitar 100 triliunan. Jadi besar sekali pengurangannya,” ujarnya.

Dampak

Alih-alih mewujudkan pendidikan gratis, menurut Erwin, wacana Sri Mulyani justru akan membuat biaya pendidikan makin melejit hingga bisa berdampak meningkatkan angka putus sekolah. “Dengan anggaran pendidikan yang ada aja, selama ini masih banyak, kok, orang tidak kuliah, tidak menempuh pendidikan menengah, pendidikan atas. Itu banyak yang putus sekolah. Kenapa? Karena memang anggaran itu sangat-sangat kurang sekali. Apalagi kemudian konsep Sri Mulyani ini akan dijalankan, makin banyak nanti manusia Indonesia itu yang enggak menempuh pendidikan,” ungkapnya.

Padahal, imbuhnya, undang-undang dasar menyebutkan bahwa pemerintah wajib mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itu, di tengah upaya untuk membangun pendidikan Indonesia, usulan Sri Mulyani yang berpotensi pada pengurangan anggaran pendidikan itu dinilai Erwin sebagai bentuk inkonsistensi dan berpotensi melanggar konstitusi.

“Jelas, itu akan melanggar konstitusi. Ya, tadi, yang pasti dilanggar itu ya UUD ‘45. Belum lagi berkaitan dengan kewajiban negara menyelenggarakan minimum 20%. Itu mandatory, itu dari undang-undang, 20 persen APBN itu untuk anggaran pendidikan,” tegasnya.

Di balik usulan Menkeu ini ia mengingatkan akan bahaya ketika negara menganggap pendidikan sebagai beban, maka akan ada upaya menggeser kewajiban negara kepada swasta. Dampaknya, pendidikan makin mahal. 

“Jadi ketika pendidikan itu dianggap sebagai sebuah beban, bukan kewajiban, ya akhirnya ini bagian juga dari upaya untuk menggeser kewajiban dari negara kepada swasta. Gitu. Harus begitu orang melihat. Jadi, ketika misalnya itu dilepaskan tanggungan beban pendidikan dari negara, siapa yang masuk ke sektor pendidikan nanti? Ya swasta, gitu kan?” ujarnya.

“Apalagi kalau kemudian wacana ini akan dijalankan, makin nanti pendidikan itu makin mahal, makin melejit. Ya udah aja, makin enggak boleh manusia Indonesia itu menempuh pendidikan. Yang boleh sekolah itu orang-orang yang kaya aja, orang miskin enggak usah pinter. Akhirnya begitu. Ya, miskin lagi mereka,” imbuhnya.

Dalam Islam

Erwin menerangkan, jika berbasis pada Islam, Islam memandang bahwa pendidikan itu wajib, merupakan perintah Allah dan Rasulullah. Karenanya, negara harusnya menyediakan fasilitas pendidikan gratis, menyelenggarakan pendidikan gratis kepada masyarakat. Maka, lanjutnya, harus ada sumber-sumber pendapatan sehingga mampu untuk merealisasikan pendidikan gratis itu. 

“Karena itu merupakan perintah Allah SWT., maka yang punya kewajiban menjalankan itu siapa? Ya negara. Jadi, perintah itu datang pada siapa? Ya, negara. Karena yang punya uang untuk mengelola, menyelenggarakan pendidikan itu negara. Masyarakat enggak punya uang kan?” ujarnya.

Lebih lanjut ia menerangkan, jika negara berbasis pada Islam, akan mampu menyelenggarakan pendidikan gratis kepada masyarakat karena ada sumber-sumber pendapatan, di antaranya dari sumber daya alam yang banyak.

“Untuk merealisasikan pendidikan gratis itu, kan Allah telah menyiapkan sumber daya yang banyak. Batu bara, minyak bumi, emas. Ke mana itu semuanya? Enggak ada, dikeruk oleh swasta. Yang kaya itu individu, negaranya miskin, masyarakat akhirnya miskin juga. Ya, padahal itu sumber daya Allah siapkan untuk semuanya, bukan untuk orang-orang tertentu saja,” sesalnya.

Menurutnya, jika batu bara, minyak, nikel, hutan, dan segala macam kekayaan Indonesia itu tidak dikuasai individu, dikelola oleh negara kemudian dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk masyarakat, pendidikan gratis berkualitas itu bisa dilaksanakan.

“Karena negaranya kaya untuk membiayai itu, masyarakatnya tetap mendapatkan pendidikan secara gratis. Nah, jadi mendapatkan pendidikan gratis, tetapi bermutu tinggi. Siapa yang membiayai? Ya negara, bukan masyarakat yang bayarin,” pungkasnya.[] Saptaningtyas

Opini

×
Berita Terbaru Update