Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Leadership ala Nabi SAW: Role Model Terbaik Atasi Krisis Kepemimpinan Negeri Ini

Senin, 16 September 2024 | 18:32 WIB Last Updated 2024-09-16T11:33:30Z
TintaSiyasi.id -- Ya Nabi salam alaika. Ya Rasul salam alaika. Ya Habib salam alaika. Sholawatullah alaika. Setiap memasuki bulan Rabiul Awwal, suasana kerinduan umat Islam kepada sosok Baginda Nabi SAW kian terasa. Maulid Nabi diperingati. Shalawat atas beliau bergema di penjuru negeri. Tabligh akbar digelar. Semua itu karena kecintaan umat sekaligus mengingatkan mereka akan keteladanan Nabi SAW. 

Di antara keteladanan yang wajib ditiru ialah kepemimpinan Nabi SAW atas umat manusia. Namun beliau bukan sekadar pemimpin spiritual tetapi kepala negara Islam pertama. Rasulullah SAW juga dikenal sebagai pemimpin luar biasa dengan karakter menonjol; amanah, shiddiq, fathonah, dan tabligh. Sebuah karakter kepemimpinan yang langka dimiliki para punggawa negeri ini. Meski mayoritas penguasa Muslim tapi amat jauh dari karakter kepemimpinan islami. 

Alih-alih amanah melayani, yang nampak perselingkuhan eksekutif-legislatif mengkhianati rakyat. Tidak berlaku shiddiq, penguasa justru sering membohongi rakyat dengan janji palsu dan kebijakan semu. Nyaris tak ada sosok fathonah, karena penguasanya ruwaibidhah. Dan jangankan tabligh (syiar Islam), mereka malah membenci Islam dan menghalangi penerapannya dalam politik pemerintahan. 

Bak jauh panggang dari api. Konsep dan pola kepemimpinan yang dipraktikkan di negeri mayoritas Muslim ini amat jauh dari kepemimpinan ala Nabi SAW. Bukan kepemimpinan islami. Tapi kepemimpinan sekularistik liberal. Bila realitasnya demikian, akankah bangsa ini terus bermimpi menjadi  baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur?

Konsep Kepemimpinan Penentu Wajah Pemerintahan

Kepemimpinan merupakan perkara pokok dalam hidup berjamaah, bahkan merupakan salah satu dari qiwam (penopang) suatu masyarakat. Seorang penyair jahiliyah bernama Afwah al-Audi pun mengakui hal itu. Sebagaimana dikutip oleh Imam Ibn Qutaibah ad-Dainuri (w. 276 H), "Tidak akan baik suatu kaum itu hidup tercerai-berai tanpa memiliki pemimpin dan tidak terhitung memiliki pemimpin jika orang-orang bodoh di kalangan mereka yang menjadi pemimpin" (Asy-Syi’r wa asy-Syu’ara‘, 1/217).

Secara paradigmatis, kekuasaan (pemerintahan) dan kepemimpinan itu ada karena Islam dan untuk tegaknya Islam. Kepemimpinan itu ada karena Islam memerintahkan agar mengangkat pemimpin meskipun hanya ada tiga orang di muka bumi. Kekuasaan (pemerintahan) itu ada karena Islam menjadikan hak bagi pemimpin untuk ditaati sekaligus kewajiban untuk menerapkan Islam. 

Allah SWT berfirman, "Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka" (QS. Al Maidah: 49).

Dalam Islam, konsep kepemimpinan adalah untuk mengatur urusan (kemaslahatan) umat berdasarkan agama. Maka atas dasar inilah pemerintahan dijalankan. Dan bukanlah sekadar pemerintahan (kekuasaan). Namun kekuasaan  yang menolong (shultanan nashiiran) (QS. Al Isra’: 80). Imam Ibnu Katsir mengutip Qatadah (w. 117 H), saat menjelaskan frase “kekuasaan yang menolong” mengatakan, “… untuk membela Kitabullah, menerapkan hukum-hukum Allah, melaksanakan hal-hal yang difardlukan Allah dan untuk menegakkan agama Allah.”

Imam Al Mawardi (w. 450H), merinci sepuluh tugas dan tanggung jawab pemerintahan yaitu;  menjaga Islam agar senantiasa berada di atas pondasinya dan apa yg telah disepakati oleh generasi terdahulu dari umat ini, menerapkan hukum di antara yang berselisih, melerai permusuhan di antara yang bersengketa, melindungi kesucian dan kehormatan, menerapkan hudud (hukum-hukum Allah) untuk menjaga larangan-larangan Allah dari penodaan, menjaga hak-hak hamba-Nya dari kerusakan dan eksploitasi, membentengi perbatasan, serta memerangi siapa saja yang menentang Islam setelah dakwah sampai kepada mereka hingga mereka mau berislam atau masuk dalam dzimmah.

Kepemimpinan dan kekuasaan (pemerintahan) jika dipisahkan dari Islam akan membahayakan pemangkunya dan merusak rakyat yang dipimpin. Penguasa akan terhina karena mengkhianati amanah Allah untuk mengatur kekuasaan dengan Islam. Rakyat pun akan menjadi korban penerapan aturan yang merusak.

Jika kekuasaan berpisah dari Islam maka seorang Muslim hendaknya lebih memilih bersama Islam. Muadz bin Jabal ra. menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Ketahuilah sesungguhnya Al-Qur'an dan kekuasaan akan terpisah, maka janganlah kalian terpisah dari Al-Qur'an."

Dengan demikian, konsep kepemimpinan itu sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bila konsepnya berdasarkan Islam, maka corak pemerintahan islami sebagaimana praktik di masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, dan khalifah-khalifah berikutnya. Jika konsep kepemimpinan sekuler (tidak berdasarkan agama), maka pemerintahannya pun sekuler. Persis sebagaimana wajah rezim di Indonesia hari ini. 

Dan dalam Islam, kepemimpinan tidak sekadar mendudukkan seorang Muslim di panggung kekuasaan. Yang lebih penting adalah bagaimana kekuasaan digunakan untuk menjaga, menerapkan, dan mendakwahkan Islam serta bertanggung jawab dunia akhirat dalam mengurus rakyat dengan hukum-hukum Islam. Khalifah ‘Umar ra. pernah berkata, “Andai seekor domba mati di pinggiran sungai Eufrat dalam kondisi terbuang (tersia-sia), sungguh aku berpikir bahwa Allah akan meminta pertanggungjawabanku tentang itu pada Hari Kiamat.”

Dampak Kepemimpinan Buruk terhadap Kesejahteraan Rakyat di Dunia dan Akhirat

Negara mana pun di dunia pasti memiliki tujuan. Salah satunya adalah mementingkan urusan rakyat hingga memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka. 

Lebih spesifik, dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat, tujuan berdirinya negara Republik Indonesia yaitu; 
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 

Terkait dengan tujuan memajukan kesejahteraan umum, bila kepemimpinan penguasa buruk maka dampaknya terhadap kesejahteraan rakyat adalah; 

Pertama, tujuan negara mewujudkan kesejahteraan hanyalah deretan teks tanpa makna. Diajarkan pada rakyat tapi sang pemimpin tak mampu meraihnya. Bahkan perilaku penyelenggara negara kontraproduktif terhadap pencapaian tujuan tersebut. Alih-alih disejahterakan, rakyat justru disengsarakan. 

Kedua, kepentingan rakyat bukan prioritas. Kepemimpinan yang buruk biasanya mendahulukan kepentingan diri sendiri, keluarga, dan sirkelnya. Ia menempatkan diri bukan sebagai pelayan rakyat tapi justru meminta rakyat melayaninya.

Ketiga, hukum dan aturan diutak-atik sesuai syahwat kekuasaan. Segala cara ditempuh oleh pemimpin yang buruk demi mempertahankan atau memperluas gurita kekuasaan. Termasuk mengubah aturan sebagai legalisasi tindakannya. Jadilah hukum ditikung di bawah ketiak kekuasaan.

Keempat, distrust rakyat kepada pemimpin. Ketika teladan tak didapatkan, rakyat kian tak percaya pada pemimpinnya. Selanjutnya, bagaimana pemimpin mampu menggerakkan rakyat untuk bersama meraih kesejahteraan rakyat? 

Kelima, pembangkangan publik. Apalagi bila rakyat diliputi kebencian pada sang penguasa, ini akan membuat mereka apatis bahkan membangkang terhadap kebijakan negara (penguasa).

Demikian dampak buruk dari kepemimpinan yang buruk. Akumulasi dampak ini tidak akan mengantarkan pada kesejahteraan rakyat di dunia apalagi di akhirat.

Strategi Kepemimpinan ala Rasulullah Sejahterakan Rakyat Dunia Akhirat

Rasulullah SAW adalah sebaik-baik manusia (khairul anam) bahkan sebaik-baik makhluk Allah (khayr khalqillah). Dialah pemimpin para Nabi dan Rasul, penghulu seluruh umat manusia, dan pemberi syafaat agung di hari akhir. Demikian mulianya pribadi Rasulullah SAW hingga syariat menetapkan sebagai uswatun hasanah (contoh panutan yang utama bagi seluruh umat manusia pada akhir zaman).

"Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah" (QS. Al Ahzab: 21).

Dengan demikian, wajib menjadikan Rasulullah SAW sebagai suri teladan secara totalitas, baik dalam aspek individu, keluarga maupun negara, termasuk soal kepemimpinan. Berikut strategi kepemimpinan ala Rasulullah SAW yang menyejahterakan rakyat baik di dunia maupun di akhirat. 

Pertama, menjalankan kepemimpinan tidak sekadar spiritual tapi sekaligus pemimpin politik. Allah SWT berfirman, "Demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim (pemutus perkara) atas apa yang mereka perselisihkan..." (QS. An-Nisa: 65). Dalam praktiknya, apa yang disebutkan ayat tersebut tertuang dalam Piagam Madinah, "Bilamana kalian berselisih dalam suatu perkara, tempat kembali (keputusan)nya adalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan Muhammad SAW…" 

Kedua, menerapkan syariat Islam secara menyeluruh. Terlebih beliau adalah shahib asy-syari’ah yang seluruh gerak-gerik beliau (ucapan, perbuatan dan taqrir) menjadi salah satu dasar syariat bagi umat. Termasuk kebijakan-kebijakan beliau dalam mengurus urusan rakyat.

Ketiga, sangat gigih dan tegas dalam menerapkan syariah Islam. Misalnya, saat beliau dirayu untuk tidak menerapkan hukuman secara syar’i dalam kasus pencurian oleh seorang wanita terpandang dari Quraisy. Pun saat beliau dirayu dengan tebusan yang tidak syar’i (seratus kambing dan seorang budak) oleh seorang bapak, agar putranya yang tersangkut kasus zina dibebaskan dari hukuman syar’i. Ini menunjukkan beliau hanya menjadikan Islam sebagai dasar menjalankan roda pemerintahan. Dan tidak tergiur harta duniawi.

Keempat, menyatukan masyarakat dengan ikatan kokoh yakni ikatan akidah Islam yang termanifestasikan dalam bentuk ukhuwwah islamiyyah. Beliau melenyapkan ikatan ‘ashabiyyah jahiliyah seperti ikatan kesukuan dan kebangsaan. KH. Hasyim Asy’ari menggambarkan, "Lalu hilanglah perbedaan-perbedaan kebangsaan, kesukuan, bahasa, mazhab dan nasionalisme yang selama ini menjadi penyebab permusuhan, kebencian dan kezaliman. Masyarakat pun–atas nikmat Allah–berubah menjadi bersaudara. Jadilah orang Arab, orang Persia, orang Romawi, orang India, orang Turki, orang Eropa dan orang Indonesia semuanya berperan saling menopang satu sama lain sebagai saudara yang saling mencintai karena Allah..."

Kelima, menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Sehingga penerapan Islam secara totalitas merambah ke berbagai negeri menebarkan rahmat di setiap jengkalnya. Karena Rasulullah SAW memang diutus oleh Allah untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan laa ilaaha illaallaah. Misi inilah yang dilanjutkan oleh para pengganti (khulafa) sepeninggal beliau. Hasilnya, kekuasaan Islam mencapai apa yang belum pernah dicapai oleh imperium raksasa mana pun dalam sejarah manusia.

Demikian strategi kepemimpinan yang dijalankan oleh Rasulullah SAW dalam meri'ayah kaum Muslimin. Terbukti dengan pola leadership ini kesejahteraan rakyat di dunia terwujud. Insya Allah menjadi sarana tercapainya kebaikan di akhirat juga. Bila manusia hari ini mau menerapkan kepemimpinan ala Rasulullah ini, maka krisis kepemimpinan akan teratasi. Sekaligus mengakhiri buruknya sistem hidup yang selama ini diterapkan. Hanya saja, semua itu butuh perjuangan dan upaya serius oleh umat Islam. Mari berjuang! []


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati

Opini

×
Berita Terbaru Update