TintaSiyasi.id -- Merespons polemik skema power wheeling yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Energi Terbarukan (EBET), Ekonom Ichsanuddin Noorsy menilai isu ini sesungguhnya pemaksaan agar Indonesia betul-betul liberal di seluruh lini.
"Jadi, power wheeling ini bukan isu sekarang, ini isu bagaimana sesungguhnya pemaksaan agar Indonesia betul-betul liberal di seluruh lini," tuturnya di kanal YouTube Rasil TV: 'Ichsanuddin Noorsy: Kedaulatan Rakyat Diambil oleh Partai Politik', Selasa, (17/9/2024).
Seperti diketahui, power wheeling merupakan skema yang memungkinkan pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) untuk menjual listrik secara langsung kepada konsumen. Dalam skema ini, pihak swasta dapat menggunakan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN.
Menurut Noorsy, usulan skema power wheeling ini menjadi upaya korporasi agar terjadi juga privatisasi jaringan transmisi yang saat ini dikuasai Perusahaan Listrik Negara (PLN). Ia menerangkan, langkah ini adalah bentuk ketidakpuasan korporasi dalam mendikte masyarakat dan negara lewat sektor-sektor hajat hidup orang banyak.
Dalam sektor listrik, imbuhnya, negara yang lewat PLN telah dikte lewat take or pay contract (kesepakatan antara PLN dan pembangkit swasta yang memproduksi listrik, yang jika PLN tidak menyerap listrik yang sudah disepakati dalam kontrak, perusahaan akan terkena denda), dengan skema yang diusulkan tersebut korporasi meminta jaringan transmisi juga diprivatisasi dengan alasan agar tidak ada monopoli.
"Nah, PLN yang belum liberal, belum diprivatisasi itu cuma tinggal transmisinya," ungkapnya.
Ia menjelaskan, liberalisasi sektor kelistrikan bermula dari Letter of Intent (LoI) Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF) yang menyatakan agar Indonesia meliberalkan sektor migas, termasuk sektor kelistrikan. "Itu dituangkan dalam perjanjian antara government atau Indonesia dengan bank dunia. Sehingga kita perlu patuh pada kemauan-kemauan asing meliberalisasi sektor migas, termasuk sektor kelistrikan," bebernya.
Hasilnya, walaupun pada 24 Desember 2004 Undang-Undang Kelistrikan yang pertama dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi, sambung Ichsanuddin, lahir Undang-Undang Kelistrikan yang baru yang pada hakikatnya isinya sama.
"Ini bagian dari strategi strategi mendikte negara, mendikte masyarakat lewat regulasi. Ujungnya adalah mereka ingin mengatakan, nanti multiproducer, multi buyer. Banyak produsen, banyak pembeli. Itulah liberalisasi," tegasnya.[] Saptaningtyas