“Haram hukumnya seorang Muslim menjual
segala bentuk peralatan atau sarana ibadah bagi penganut agama lain
(non-Muslim),” tuturnya kepada TintaSiyasi.ID, Senin (30/09/2024).
“Misal, Muslim menjual pohon cemara untuk dijadikan pohon
Natal bagi kaum Nasrani; atau Muslim menjual buah-buahan, bunga, makanan, atau
minuman yang akan dijadikan sesajen di pura bagi kaum Hindu; atau menjual hio
atau dupa untuk untuk upacara keagamaan di klenteng bagi kaum Konghucu,” terang
Kiai menambahkan.
Banyak kasus-kasus lain yang serupa, lanjutnya,
termasuk menjual
material bangunan seperti semen, pasir, dan sebagainya untuk membangun tempat
ibadah non-Muslim, seperti gereja, sinagog, pura, klenteng, dsb.
Ia pun
menjelaskan dalil
keharamannya ada 3 (tiga) dalil syar’I, yaitu sebagai berikut:
Pertama, keumuman ayat yang melarang Muslim untuk memberikan bantuan (al-i’ānah)
kepada pihak lain dalam perkara-perkara dosa (al-itsm) dan permusuhan (al-’udwān),
yaitu firman Allah Swt.:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan
ketakwaan, tetapi janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
permusuhan. (QS
Al-Mā’idah [5]: 2).
Ayat tersebut merupakan dalil haramnya memberi
pertolongan kepada pihak lain dalam melakukan kemaksiatan, termasuk berjual
beli material bangunan kepada non-Muslim untuk membangun tempat ibadah mereka (non-Muslim). (Ramādhan Hāfizh
‘Abdurrahmān, Buhūts Muqāranah fī Al-Syarīah Al-Islāmiyyah ‘An Al-Buyū’
Al-Dhārrah, Kairo: Darus Salam, 2006, hlm. 235).
Kedua, terdapat kaidah fikih (al-qawā’id al-fiqhiyyah) yang berlaku
umum yang mengharamkan segala sarana/perantaraan (al-wasīlah) yang
terdapat dugaan kuat (ghalabat al-zhann) akan menuju atau mengantarkan
kepada yang haram, yang berbunyi:
اَلْوَسِيْلَةُ اِلىَ الْحَراَمِ
مُحَرَّمَةٌ
Al-wasīlah ilā al-harām muharramah. Artinya, segala sarana atau
perantaraan menuju yang haram, hukumnya diharamkan. (Muhammad Shidqī
Al-Burnu, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, VIII/775).
Berdasarkan kaidah fikih tersebut, haram hukumnya seorang Muslim
menjual segala sesuatu termasuk sarana atau peralatan ibadah kepada non-Muslim, termasuk material bangunan
untuk membangun tempat ibadah mereka (non-Muslim).
Ketiga, terdapat kaidah fikih khusus (al-dhawābith al-fiqhiyyah)
yang mengharamkan setiap jual beli yang membantu terjadinya kemaksiatan, yang
berbunyi:
كُلُّ بَيْعٍ أَعاَنَ عَلىَ
مَعْصِيَةٍ مُحَرَّمَةٌ
Kullu bai’in a’āna ‘ala ma’shiyatin muharramatun. Artinya, setiap-tiap jual beli yang
membantu terjadinya suatu kemaksiatan, hukumnya haram. (Imam Syaukani, Nailul
Authār, Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000, hlm. 1035; Walīd bin Rāsyid
Al-Sa’īdāni, Qawā’id Al-Buyū’ wa Farā`id Al-Furū’, hlm. 111).
“Berdasarkan kaidah fikih tersebut, haram hukumnya seorang Muslim
menjual segala sesuatu yang membantu terjadinya kemaksiatan (lawan dari
ketaatan), yaitu: melakukan yang haram, atau meninggalkan yang wajib, termasuk
menjual material bangunan yang diperlukan untuk membangun tempat ibadah non-Muslim,”
terangnya.
Ia menyatakan, “Berdasarkan tiga dalil syar’i di atas,
jelaslah bahwa haram hukumnya seorang Muslim menjual segala bentuk peralatan
atau sarana ibadah bagi penganut agama lain, termasuk yang ditanyakan, yaitu
haram hukumnya bagi seorang Muslim menjual material bangunan untuk membangun
tempat ibadah non-Muslim, seperti gereja, pura, klenteng, sinagog, dsb.”
Kiai pun menambahkan beberapa pendapat (fatwa) para ulama
yang mengharamkan akad jual beli (al-bai’) atau akad ijārah (sewa/bekerja)
yang membantu terjadinya kemaksiatan, khususnya membangun tempat ibadah non-Muslim.
Pertama, pendapat Ulama Hanafiyah.
قاَلَ الْحَنَفِيَّةُ : إِنِ اشْتَرَوْا دُوْراً فِيْ مِصْرٍ مِنْ
أَمْصاَرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَأَرَادُوْا أَنْ يَتَّخِذُوْا داَراً مِنْهاَ
كَنِيْسَةً أَوْ بِيْعَةً أَوْ بَيْتَ ناَرٍ فِيِ ذَلِكَ لِصَلَوَاتِهِمْ
مُنِعُوْا عَنْ ذَلِكَ
Ulama Hanafiyah berkata, ”Jika mereka (orang non-Muslim)
membeli rumah-rumah di satu kota dari kota-kota kaum Muslim, lalu mereka
berkehendak untuk menjadikan satu rumah darinya sebagai gereja, atau sinagog,
atau rumah api (tempat ibadah Majusi) di tempat tersebut untuk ibadah-ibadah
mereka, maka mereka harus dilarang melakukan yang demikian itu (membeli rumah
untuk dijadikan tempat ibadah mereka).” (Syaikh Nizhāmuddīn Al-Balkhī,
Al-Fatāwā Al-Hindiyyah, 2/252). (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah
Al-Kuwaitiyyah, Juz Ke-38, hlm. 157).
Kedua, pendapat ulama Malikiyyah.
وَقاَلَ الْماَلِكِيَّةُ : يُمْنَعُ أَيْ يُحْرَمُ بَيْعُ أَرْضٍ
لِتُتَّخَذُ كَنِيٍسَةً وَأُجْبَرُ الْمُشْتَرِيْ مِنْ غَيْرِ فَسْخٍ لِلْبَيِعِ
عَلىَ إِخْراَجِهِ مِنْ مِلْكِهِ بِبَيْعٍ أَوْ نَحْوِهِ .
Ulama Malikiyyah berkata, ”Dilarang, yakni diharamkan,
menjual tanah untuk dijadikan gereja, dan (jika terjadi) maka pembelinya
dipaksa (tanpa fasakh jual beli) untuk mengeluarkan tanah itu
dari hak miliknya dengan jual beli atau akad semisalnya.” (Al-Tāj wa
Al-Iklīl ‘Alā Hāmisy Al-Hithāb, 5/424; Hāsyiyah Al-Dasūqī,
3/7). (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz Ke-38, hlm.
157).
Ketiga, pendapat Ulama Syafi’iyyah.
وَقاَلَ الشَّافِعِيَّةُ : قاَلَ اْلإِماَمُ الشَّافِعِيُّ فِي
اْلأُمِّ : أَكْرَهُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَعْمَلَ بِنَاءً أَوْ نِجَارَةً
أَوْ غَيْرَهُ فِيْ كَنَائِسِهِمْ الَّتِي لِصَلَوَاتِهِمْ.
Ulama Syafi’iyyah berkata, ”Imam Syāfi’i dalam kitabnya Al-Umm berkata,
‘Saya membenci [tidak memperbolehkan] seorang Muslim bekerja sebagai tukang
bangunan, atau tukang kayu, atau tukang lainnya, untuk membangun gereja-gereja
yang digunakan beribadah bagi mereka (orang-oran Nasrani).’.” (Imam
Syāfi’i, Al-Umm, IV/225).
Keempat, pendapat ulama Hanabilah.
وَقاَلَ الْحَناَبِلَةُ : وَعَنْ أَبِي الْحاَرِثِ أَنَّ أَباَ عَبْدِ
اللّهِ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يَبِيْعُ دَارَهُ وَقَدْ جاَءَ نَصْراَنِيٌّ
فَأْرْغَبَهُ وَزاَدَهُ فَيِ ثَمَنِ الدَّارِ… قاَلَ : وَلاَ أَرَى أَنْ
يَبِيْعَ داَرَهُ مِنْ كاَفِرٍ يُكَفِّرُ فِيْهاَ باِللّهِ تَعاَلىَ .
Ulama Hanabilah berkata, ”Dari Abul Harits, bahwa Abu
Abdillah (Imam Ahmad) pernah ditanya mengenai seorang laki-laki yang akan
menjual rumahnya, lalu datanglah seorang Kristen yang ingin membeli rumah itu
dan berani menambah harganya… Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata, ‘Saya
berpendapat tidak boleh dia menjual rumahnya kepada seorang kafir yang akan
menggunakan rumah itu untuk berbuat kafir kepada Allah Ta’ala,’.” (Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah, Ahkām Ahli Al-Dzimmah, 2/284, 287). (Al-Mausū’ah
Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz Ke-38, hlm. 157).
Kesimpulan
Haram hukumnya seorang Muslim menjual segala bentuk peralatan
atau sarana ibadah bagi penganut agama lain, termasuk kasus yang ditanyakan,
yaitu haram hukumnya bagi seorang Muslim menjual material bangunan seperti
semen, pasir, dan sebagainya untuk membangun tempat-tempat ibadah non-Muslim,
seperti gereja, pura, klenteng, sinagog, dsb.[] Rere