Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Fika Komara: Kita Tidak Boleh Lepas dari Politik Islam

Selasa, 03 September 2024 | 06:29 WIB Last Updated 2024-09-02T23:30:02Z
TintaSiyasi.id -- Direktur Institut Muslimah Negarawan Dr. Fika Komara mengatakan bahwa umat Islam tidak boleh lepas dari pemahaman politik Islam. "Bagi saya, kita itu sebenarnya tidak boleh lepas dari politik Islam yang memang definisinya sangat berbeda dari politik hari ini," ujarnya di kanal YouTube Institut Muslimah Negarawan, Rabu, (28/8/2024), Panggung Geopolitik Muslimah: Plot Twist Cita-cita Poros Maritim Jokowi.

Ia menjelaskan, politik dalam Islam itu adalah riayah suunil ummah (pengaturan kehidupan umat). Ia juga memakai istilah geopolitik Islam untuk membahas terkait interaksi manusia di dalam ruang kehidupan dengan menggunakan sudut pandang Islam. 

"Saya pikir penting ketika kita memasukkan pendekatan atau lensa Islam dalam mengatur keruangan apalagi ketika kita kaitkan dengan geopolitik Islam. Makna politik dalam Islam sudah saatnya kita perkenalkan terus, kita wacanakan terus, kita viralkan terus," ujarnya.

Ia membeberkan, sebab awal hilangnya konsep atau simpul pemahaman umat tentang geopolitik Islam adalah karena sejak perang dunia II dihembuskanlah arus dekolonialisasi, self determination right, nation state, perampasan tanah Palestina. Lalu sejak hari itu, tragedi demi tragedi menimpa umat Islam yang terpecah-belah hingga menjadi 50 negara bagian.

"Kita juga menemukan sebenarnya simpul-simpul Islam dalam pemahaman geopolitik itu sangat banyak ya. Terutama yang sudah hilang itu adalah konsep jihad kemudian turunannya adalah konsep perbatasan (ribat). Itu sama sekali asing bagi umat, yang kemudian umat lebih familiar dengan konsep nation state, nasionalisme," ungkapnya. 

Padahal kalau bicara sejarah, katanya, dahulu ada salah satu kesultanan, kesultanan Gowa Tallo di Makasar yang pernah menerapkan syariat Islam yakni jihad melawan Belanda, artinya ada paradigma Islam juga di kala itu. 

"Artinya negeri ini bukan ahistoris dari Islam, bukan sama sekali terputus sejarahnya dari Islam tetapi persoalannya adalah apakah kita mau kembali menerapkan Islam?" ujarnya. 

Ia kemudian mengutip pepatah melayu 'kalau nak seribu daya, kalau tak nak seribu dalih'. Jadi sebenarnya, menurut bukan tidak mampu tetapi mau atau tidak mau umat melirik alternatif lain yang sebenarnya bisa diupayakan di kalangan intelektual untuk diterjemahkan dalam konteks pembangunan Indonesia.

Namun, memang harus disadari, deislamisasi didunia pendidikan itu nyata yang paradigmanya bersumber dari Barat. "Karena ini mungkin bagian dari sekularisme didunia pendidikan. Seolah-olah agama itu hanya di pojok-pojok private, termarginalkan, hanya untuk pelepas keresahan/ketenangan batin, tidak untuk menjawab isu-isu publik," ungkapnya. 

Ia memandang, sejak dulu hingga hari ini Barat memang berupaya serius untuk mengamputasi otoritas Islam secara otoritatif dalam panggung geopolitik dunia.

"Ditambah dengan adanya tragedi keruntuhan Daulah Ustmani tahun 1924, ini merupakan simpul besar menurut saya. Ketika kita tidak pernah mendiskusikan ini, tidak pernah menurunkannya menjadi konsep-konsep yang lebih aksiologis, yang lebih tekhnis, yang lebih solutif secara real maka dia akan sekedar menjadi teks di dalam kitab-kitab para ulama atau bahkan seru-seruan yang ada dalam Al-Qur'an dan As-sunnah," pungkasnya. []Tenira

Opini

×
Berita Terbaru Update